Give me one chance

44 4 0
                                    

Tangan itu semakin dingin. Alexandra semakin terisak.

"Why you do this to us? You're dumb. You say, you never want to let me cry. But, what? You do this to me. Kamu berniat ninggalin aku. Apa namanya kalau kamu bukan seorang pengecut dan orang yang selalu buat aku sedih? Hah? Jawab aku, Renn. Kamu nggak boleh kayak gini. Kamu harus buka mata kamu! Kamu nggak boleh tinggalin aku! Buktiin sama aku kalau kamu bukan seorang pengecut. Aku akan benci sama kamu seumur hidup aku, karena kamu ninggalin aku dengan alasan yang nggak masuk akal!" Ujarnya sambil berteriak dan terisak.

"Kamu egois! Kamu egois! Kamu bilang ke semua orang untuk nggak nyakitin aku dan nggak buat aku sedih. Tapi, kenyataannya? Kamu yang buat aku sedih dan kecewa! Kamu yang bilang ke semua orang untuk mencintaiku. Tapi, bagaimana dengan cintamu itu? Kemana cinta itu pergi? Apakah masih tetap ada atau menghilang seperti dirimu?"

***

"It's not easy. I know it. I know how hard it is. I know that feel."
"Yeah."
"You must be strong. Not only you, but we."
"Gue ngerasa ikhlas kok. Kalau semisal Kak Renno ingin pergi. Gue nggak mau lihat dia terus-terusan bergantung pada alat-alat itu. Gue nggak ingin dia menyerah, tapi dia sudah cukup berjuang dan menderita selama ini. I just want to my brotha let his pain go. Walaupun gue tahu, itu akan bersama dengan nyawanya."

"Gue tahu benar, bagaimana Renno. Dia nggak mudah menyerah. Tapi, dia punya batas. Ngeliat kondisinya yang semakin kritis, gue jadi nggak tega buat bilang tetap berjuang. Karena gue tahu apa saja yang ia alami. Bahkan gue melihat sendiri bagaimana kesakitannya dia waktu chemo."
"Yeah."

***

"Apa nggak ada kesempatan lagi untuk kita? Kita untuk terus bersama? Apa nggak ada lagi canda dan tawa yang akan terselubung diantara kita? Apa itu semua akan sirna? Bangun Renn! Buka mata kamu!"

"Kamu nggak boleh pengecut kayak gini! Open your eyes. 'Cause, I don't wanna to lose you. Wake up! Buka mata kamu." Ujarnya dengan nada yang semakin lama semakin memelan.

Hening. Tak ada jawaban dan tak ada perubahan di tempat itu. Sampai...

TITTTTTTTTTTT

Garis lurus membelah layar mesin EKG itu. Disertai dengan tubuh itu yang mengejang.

"Nggak, Renn! Aku minta kamu buat bertahan dan bangun. Bukan kayak gini! Renn! Bangun, Renn. Dokter! Dokter!"

Alex dan Arthur terperanjat dengan melihat tim dokter yang berlarian masuk ke ruang rawat Renno.

"Dok..."
"Tolong anda keluar dahulu."
"Tapi, Renn..."
"Tolong ya, mba. Kalau tidak pasien tidak bisa ditangani."

Alexandra pun keluar dengan air mata yang semakin mengucur.

"Dra..." Ujar Alex mendekat.
"Kak!" Ujarnya sambil memeluk Alex.
"What's wrong?"

Alexandra terus saja terisak.

"Semuanya baik-baik saja, 'kan?"
"Renno..."
"Kak Renno kenapa?" Ujarnya panik
"Tubuh Renno kejang dan mesin EKG itu..."
"Oh, shit!"

***

"250 Joule!"

Dugh...Dugh...Dugh...

"Masih belum, dok."

"500 joule!"

Dugh...Dugh...Dugh

Suster itu menggeleng.

"Tegangan maksimal!"

Dugh...Dugh...Dugh...

Suster itu tetap menggeleng.

"Catat waktu dan tanggal kematiannya. Saya akan memberitahukannya pada keluarga pasien."

***

"Dokter!"
"Bagaimana kondisi Renno? Dia baik-baik saja 'kan?"
"Kakak saya nggak kenapa-kenapa 'kan, dok?"
"Mohon maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Renno tidak bisa kami selamatkan. Detak jantungnya sudah berhenti. Silahkan untuk menemui pasien untuk terakhir kalinya."
"Nggak! Nggak mungkin! Renno nggak mungkin meninggal!"

Alexandra langsung berlari masuk ke ruang rawat itu.

***

"Jangan. Jangan cabut alat-alat itu!"
"Tapi, pasien sudah tiada."
"Nggak! Renno masih hidup!"
"Mba, anda harus ikhlas."
"Lebih baik kamu pergi sekarang! Pergi! Sebelum saya hancurin semuanya!"
"Ba—baik." Ujar suster itu dan berlalu dari mereka.

"Renn, aku nggak pernah minta kamu kayak gini. Aku minta kamu untuk bertahan. Aku sudah menghabiskan waktuku untuk menangis. Menangisimu. Aku bahkan lupa bagaimana cara untuk tersenyum dan tertawa. Aku menghabiskan seluruh waktuku untuk menyemangatimu. Membuat kamu mau membuka mata. Apa balasanmu? Bangun, Renn! Bangun!" Ujarnya sambil memegang wajah pucat itu.

"Let him go."
"No, I'm not. What do you mean, Thur?"
"Loe pengecut, Renn. Loe pengecut! Loe pembohong besar! Loe bilang sama gue, loe akan jaga Alexandra lebih lama. Tapi, loe malah nyerah secepat ini? Loe pengecut!" Ujarnya dengan nada tinggi.
"Hidup aku nggak berarti tanpa adanya kamu, disini. Berilah waktu untukku tersenyum bahagia bersamamu, walau itu hanya sekejap."
"Jangan buat dia, menderita lebih lama lagi."

"Aku hanya minta waktu sebentar. Untuk membuatnya lebih bahagia. Aku sadar, aku bukan wanita yang berhasil membuatnya selalu tertawa. Buktinya, dia selalu menyembunyikan rahasia dariku. Aku selalu menggoreskan luka padanya. Bukan dia yang membuatku sedih. Tapi, aku. Aku yang selalu membuatnya sedih dan merasa bahwa kondisinya hanyalah menghancurkan bahagiaku. Aku akan membahagiakan dia. Aku janji. Waktu, izinkanlah aku. Sebentar saja. Kumohon." Ujarnya sambil menggenggam tangan itu.

"Dia hanya akan semakin menderita dan gue nggak mau dia kayak gini terus. Sudah cukup perjuangannya dan segala rasa sakitnya! Gue cuma nggak mau kakak gue semakin menderita! His pain is enough for him. Don't make him feel a lot of pain, again."
"Aku belum siap untuk kehilangannya."
"Siap nggak siap, kita pasti kehilangannya dan kita harus untuk siap untuk itu."

Tangan itu mulai terasa hangat. Disertai dengan suara mesin EKG yang menujukan pergerakan detak jantung.

"Dokter! Dokter! Suster!" Ujar Alex berteriak
"Terimakasih. I promise."
"It's up to you."

***

Bersambung

Melepaskan Yang Terlalu Berharga (New Version) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang