Sudah Tak Perduli, lagi.

176 12 0
                                    

Di depan jendela kamarnya, Renno sedang termenung di atas kursi rodanya. Perih rasanya, mengingat semuanya.

Sakit rasanya, menerima semua ini. Keadaan ini begitu sulit untuknya.

"Kak..."

Renno tersadar dan memutar balik kursi rodanya.

"Kakak makan dulu, ya. Lalu minum obat."

"Nggak. Kakak nggak laper. Nanti saja."
"Tapi, kak. Obat kakak harus dimakan setiap dua jam sekali. Obat ini, harus diminum setelah kakak makan. Ini harus lebih rutin diminum."

"Buat apa, kamu masih nyuruh kakak minum obat itu? Kalau pada akhirnya, obat itu nggak ada gunanya. Apa kamu pikir, dengan meminum obat itu, kakak bisa sembuh dan berjalan lagi? Nggak, Xy. Nggak semudah itu."

"Kakak nggak boleh berbicara seperti itu! Kakak pasti sembuh."

"Sudahlah, Xy. Jangan paksa kakak. Jangan, memberikan harapan palsu. Harapan palsu akan hidup yang panjang."

"Kakak pasti berumur panjang. Umur manusia, cuma Tuhan yang tahu! Kita nggak tahu siapa yang mati duluan. Bisa aku atau yang lainnya, mendahului kakak. Kita nggak pernah tahu. Masih ada harapan dan keajaiban."

"Harapan dan keajaiban? Kakak sudah muak dengan itu! Harapan yang 0,1 persen itu? Apa kamu sudah gila? Dengar, kakak sudah menyerah dan kakak nggak mau memperjuangkan hal yang pada akhirnya menjadi sia-sia. Kakak sudah terlalu lelah untuk itu!"

"Kak, please."
"Denger, Xy. I lost everything. So, please. Stop. Kamu boleh keluar dari kamar ini. Sekarang! Kakak mau istirahat."

"Keluar!" Ujarnya dengan nada tinggi.

Lexypun tertegun. Renno tak pernah membentaknya dan sekarang? Ia membentaknya. Lexy langsung meninggalkan Renno sambil terisak.

***

Sudah beberapa hari ini, Renno hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Dengan infus yang menancap pada kedua punggung tangannya.

Tak sesuap makanan masuk ke dalam tubuhnya. Karena, tubuhnya tak mampu untuk mengolah makanan yang masuk.

Wajahnya begitu pucat. Ia sudah tak perduli lagi akan hidupnya. Ia menyerah. Ia pasrah, akan semuanya.

"Kak, ayo. Kita jalan-jalan. Kita cari udara segar."

Renno hanya menggeleng. Tanpa menjawab pertanyaan Lexy. Lexy sudah kehabisan cara untuk membujuk Renno.

Ia berbalik dan menelpon seseorang melalui ponselnya.

"Tolong datang. Apapun alasannya, kamu harus datang. Please, dia sangat membutuhkanmu."

***

"Yakin, kamu mau mati dengan begitu saja? Hah? Kamu yakin, nggak mau nikah sama aku? Masih ada beberapa hari lho."

"Nggak!"

"Ya sudah, seperti biasa. Vin, Yn, Zy! Buka ikatannya dan awasi dia, jangan sampai kabur dan pastikan dia memakan semua makanan di dalam piring ini."

"Baik, boss."

"Bagus. Kalau dia sampai kabur, gue yang buat nyawa kalian kabur!"

"I--iya, boss."

"Good! Aku masih kasih kamu kesempatan. Tiga hari lagi. Ingat, pilihannya hanya dua, menikahiku atau mati. Itu tergantung pilihanmu, sayang. Bye."

Arthur mengabaikannya. Ia tak perduli. Lebih baik ia mati, daripada harus menikahi perempuan seperti Ribka.

Ketika ikatannya itu dibuka, Arthurpun langsung memakan makanan itu. Ia harus menambah dan menyimpan tenaga yang banyak untuk melawan mereka semua.

***

Orang itu mendekati tempat tidur Renno dan duduk di kursi sebelah tempat tidur Renno.

"Renn..."

Renno menatapnya dengan penuh arti.

"Mau apa kamu kesini?"

"Aku..."

***

Bersambung

Melepaskan Yang Terlalu Berharga (New Version) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang