Akankah?

155 11 0
                                    

"We lost, him. Catat waktu kematiannya.  Saya akan memberitahu pihak keluarganya."
"Tapi, dok. Tidak ada waktu lagi."
"Apa maksud kamu?"

***

"Vinth. Kamu harus berani. Mau bagaimanapun juga, kamu pernah menyakitinya."
"Tapi, aku takut. Aku terlalu pengecut untuk meminta maaf padanya. Kamu lihat 'kan, reaksi dia saat bertemu denganku?"

"Vinth, sayang. Kamu harus minta maaf sama Kak Alexandra. Kalau nggak sekarang, kapan lagi coba?"

"Kamu mau tunggu sampai dia sudah jadi kakak ipar kamu? Terus hubungan kalian nggak baik-baik aja gitu? Apa kamu nggak mau, hubungan dengan kakak-kakak ipar kamu baik saja? Hmm?"

"Ya, mau. Tapi, 'kan..."
"Huh! Katanya cowok. Tapi, nggak gentle. Minta maaf saja masih remedial."

"Enak aja, kamu."
"Terus? Kenapa kamu nggak mau minta maaf? Gini deh, kalau kamu minta maaf sama Kak Alexandra dan berhasil, aku akan kasih sesuatu yang kamu mau."

"Apapun?"
"Iya."

"Berarti kalau aku berhasil, aku bisa nikahin kamu dong?"
"Ya, lakuin aja dulu. Kalau berhasil, aku mau nikahin kamu. Kalau nggak, ya..."

"Xy!"
"Iya-iya. Maaf, sayang."

***

"Pasien bernama Renno Alvaro Pratama, kondisinya kembali melemah."
"Apa?"

"Kita harus segera selamatkan nyawanya. Soal pasien ini, biar saya yang urus. Dokter urusi saja pasien yang bernama Renno."

Reza menggangguk dan langsung bergegas masuk ke dalam Ruang ICU.

***

"Tha, come on!"
"I can't, Thur."

"Why?"
"Because..."

"Aku baik-baik saja, Tha. Please."

Agatha menatap Arthur sambil berpikir.

***

Agatha mendorong kursi roda Arthur menuju suatu ruangan.

"Kita mau kemana?"

Agatha hanya terdiam.

***

Reza mengelap peluhnya. Ia terus saja menekan dada bagian bawah Renno. Namun, masih saja tak berhasil.

***

Pintu itu terbuka. Terlihat dengan jelas, Reza sedang berusaha menyelamatkan Renno.

"Kak, Renno!"

Arthur ingin mendekati kakaknya itu, tapi tertahan oleh tangisan Alexandra.

Alexandra terus saja terisak.

"Tadi, kondisimu membaik. Kenapa sekarang, malah jadi seperti ini? Jangan tinggalin aku, Renn. Jangan." Ujarnya dengan parau.

Arthur mendekati Alexandra.

"Kak..."

Alexandrapun menatapnya.

"Arthur? Kamu?"

"Iya, kak. Aku disini. Kakak bilang, kondisi Kak Renno sempat membaik. Tapi, langsung drop. Maksud kakak?"

***

"Renn. Bangun, Renn. Jangan menyerah! Please!"

"Kita harus berhenti, dok."

"Apa maksud kamu!"

"Sudah nggak ada harapan, dok. Mau tidak mau, kita harus melepaskannya. Dengan seperti ini, kita hanya menambah kesakitannya. Kita harus ikhlas, dok."

Reza langsung terlutut sambil terisak.

***

"Tadi, jarinya sempat bergerak. Namun, setelah itu..."

Arthur masih menunggunya.

"Setelah itu, detak jantung Renno melemah secara drastis."

Arthur menatap ruangan itu. Arthur langsung melajukan kursi rodanya ke ruangan itu. Disusul oleh Alexandra.

"Baiklah, catat tanggal dan waktu..."

"Tunggu, om!"

"Arthur?"

Tanpa menjawab panggilan Reza, Arthur langsung mendekati brankar itu. Tampak wajah Renno yang begitu pucat.

"Kak! Bangun! Jangan menyerah. Kita semua, masih membutuhkanmu. Jangan pergi. Masih banyak hal yang belum kita lakukan bersama." Ujarnya sambil terisak.

"Renn, please. Aku berkali-kali hampir kehilanganmu. Tolong, jangan buat keberuntungan itu hilang. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak bisa! Don't leave me, please!"

"Kita harus ikhlas. Pasien sudah tenang. Lepaskanlah dia."

"Thur..." Ujarnya sambil menepuk pelan bahu Arthur.

"Nggak, om. Nggak!"

"Renn, bangun. Please! Kamu harus tetap bertahan!"

Wajah pucat itu....

***

Bersambung

Melepaskan Yang Terlalu Berharga (New Version) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang