Sally dan Dendy berjalan di sepanjang area pertokoan. Setelah sarapan di toko roti yang tidak jauh dari apartemen, keduanya kini akan memulai misi utama. Mencari keberadaan ayah kandung Dendy. "Rame banget sih, Kak!" seru Sally yang berjalan dengan susah payah menembus kerumunan orang.
Dendy menoleh sesaat. " Namanya juga hari sabtu. Besok semua toko tutup yang buka cuma toko roti sama cafe aja. Jadi, hari sabtu biasanya mereka belanja," jelas Dendy.
Sally memandang satu persatu butik-butik yang dil ewatinya menuju halte trem terdekat. Tidak jarang, ia histeris sendiri saat melihat seniman jalanan beraksi, entah memainkan musik klasik atau bahkan berdansa.
"Hah, Sale !! " pekik Sally yang terhenti di depan sebuah butik baju ternama. "Itu kan blouse yang gue incer."
Tanpa menunggu lama lagi, Sally memasuki butik dan menarik sebuah blouse berwarna krem dengan aksen pita kecil di lehernya. "Serius ini harganya segini? kalau Summer Sale di Jerman bisa sampai jatoh banget harganya, gue bakalan minta Kak Indra sering-sering ke sini deh. Eh sama lo juga boleh, Kak!" sembari tersenyum Sally menoleh.
Tidak ada Dendy di sana. Ia menoleh ke arah lain. Masih sama. Tidak ada Dendy. Ia menyapu ke sekeliling butik, mencari sosok pria yang bersamanya beberapa menit yang lalu. "Kak ... Kak Dendy!" teriak Sally.
"Kak, nggak lucu deh. Jangan bercanda, gue lagi nggak mood." Sally menaruh baju ke rak dan kini ia mulai memutari butik. Sesekali ia, mendorong baju di depannya, berharap Dendy sedang bersembunyi. "KAK DENDY!" teriaknya lagi. Beberapa orang mulai menatap Sally.
Merasa menjadi tontonan, ia memilih untuk keluar. Lagi, ia mencari sosok Kakak ketemu gedenya itu. "KAK DENDY!" Sally mulai merasa takut. Ia menatap setiap orang yang melewatinya. Terlalu ramai. Terlalu penuh. Ia bahkan tidak bisa melihat arah depan, karena tubuhnya yang mungil.
Sally berjalan ke arah ujung pertokoan, menuju sebuah gang yang cukup sepi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengeluarkan handphone mencoba menghubungi Dendy. "Yah, gue lupa ganti nomor sini. Kak, lo di mana. Gue takut." Ucapnya yang mulai menahan tangis.
Sally memang mempunyai trauma tersesat. Saat ia berusia 10 tahun, ia pernah tersesat di Yunani. Indra dan kedua orangtuanya sedang asik menikmati sarapan, sedangkan Sally meminta izin untuk membeli sebuah gelang yang ia lihat saat berjalan menuju hotel.
Dasar Sally yang memang ingatannya sangat buruk mengenai masalah navigasi, baru saja ia membelokan langkahnya, ia sudah tersesat entah di mana. Ia hanya bisa berteriak sepanjang jalan, memanggil nama Indra. Sayang, karena suaranya yang cukup mengganggu, sepasang angsa yang sedang tidur akhirnya terbangun dan mengejarnya. Bahkan, menurut Sally ia sempat di sosor hingga pantatnya memerah.
Mulai saat itu, setiap pergi ke luar negeri. Indra selalu menemaninya kemana pun Sally berjalan-jalan. Dan selalu diingatkan untuk menggunakan aplikasi GPS di handphone miliknya. "KAK DENDY!!!" Teriaknya lagi. Cukup sudah, Sally mulai menangis. Ia bahkan memilih untuk berjongkok dan menelengkupkan kepala. Merapatkan kedua tangan untuk memeluk dirinya.
"Hallo ... alles oke?" tanya seorang pria yang menghampirinya.(Halo, apa semua baik-baik saja?)
Sally menaikan kepala menatap seorang pria di depannya.
"Kommt mit mir." Ajaknya. (ikut dengan saya).
Sally berdiri dan memundurkan tubuh. "Sorry, I can't speak German."
Pria itu menyeringai lebar, dan yang Sally tau itu bukan lah senyuman dari seseorang yang berniat baik. Pria itu memandang ke sekeliling, mengamati situasi. Ia kembali melangkah maju dan kini mencekat tangan Sally. "Kommt mit mir." Ajaknya lagi.
"Iki bule ngemeng opo sih?" ketus Sally yang berusaha menarik tangannya.
Pria itu menjadi bersemangat saat melihat Sally mulai berusaha melepaskan cekatan tangannya. Ia mendorong bahu Sally kencang dan seketika tubuh Sally terbentur dinding di belakangnya. "Aw!" pekik Sally.
Pria itu merentangkan kedua tangan, memenjarakan tubuh Sally. "He ... Help !!! " Sally berusah berteriak.
"HAI!" teriak Dendy yang berlari kearahnya. "Sie ist meine Frau." Dendy mendorong tubuh pria tersebut. (Dia istri saya). Menarik pinggang Sally dan memeluknya erat, bahkan ia mengusap kepala Sally yang berada di dadanya dengan posesif.
"Oh, Bitte, Ich weiß nicht." Pria itu mengangkat kedua tangan dan melangkah cepat. (Maaf, saya tidak tahu).
Dendy menarik kedua bahu Sally. Ditatap wajahnya lekat-lekat."LO." Dendy menahan kalimatnya. Berusaha mengatur emosi agar tidak meledak. Kangmas menarik napas dan mengusap wajahnya.
"Maaf," ucap Sally yang sudah mulai menangis.
Dendy kembali menarik bahu Sally. "Lo tau nggak gimana paniknya gue pas tau lo nggak ada di samping gue? gue kaya orang gila ke sana kemari nyariin lo. Kalau sampe lo ilang ... gue ... ihhh ini bocah." ketus bercampur gemas Kangmas, tepat di depan wajah Sally.
Sally yang menutup kedua mata saat Dendy memarahinya, kini memberanikan membuka dan menatap wajah khawatir Dendy. "Kak!" seru Sally.
"Apa?"
"Ngomongnya muncrat." Sally mengelap wajah pelan dengan jemarinya.
"Ck, ada ya cewek macam lo." Dendy menarik tangan kanan Sally. Di genggamnya erat-erat.
"Kak!" Sally menatap tangan dan Dendy bergantian.
"Mulai sekarang pegangin tangan gue terus, jangan sampai dilepas." Dendy yang mulai melangkah, menarik pelan tangan Sally.
Sally menggigit bibirnya, entah ia harus bagaimana lagi sekarang. Ia menatap tangan dan melirik Dendy di sampingnya. Sebuah raut wajah khawatir yang belum hilang.
Keduanya berjalan menuju halte trem dan menunggu. "Kak, maaf ya!" ucap Sally takut-takut.
"Hmm," balas malas Dendy.
Sally mulai memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara, berharap emosi Dendy mulai berkurang. "Oh iya tadi ngomong apa, kok tuh cowok bisa langsung kabur?"
"Awas ada anjing galak!" ketus Dendy.
"HAH?" Sally menggembungkan kedua pipi karena kesal.
Tidak lama trem nomor 5 menuju Krozinger Strasse, alamat yang dituju Dendy, tiba.
Keduanya memasuki, lalu mendudukan tubuhnya bersamaan dengan satu tangan yang masih saling menggenggam satu sama lain. "Kok nggak beli tiket, Kak?" tanya Sally.
"Gue udah beli online di aplikasi DB Navigator. Jadi, kalau ada pemeriksaan tinggal di scan aja barkot dari hape," jelas Dendy.
"Eh, iya nggak pernah liat ada petugas yang ngecek gue." Sally memandang ke sekeliling trem.
"Emang nggak ada, jarang banget di cek malah. Orang sini sekali pun tau kalau pengecekan tiket itu nyaris nggak pernah, mereka nggak pernah asal naik, terus nggak bayar. Semuanya punya kesadaran. Udah dididik untuk berlaku jujur." Tanpa sadar Dendy memindahkan genggaman tangan ke atas pangkuannya.
Sally sempat melirik sebentar dan membuang pandangannya ke arah jendela.
Udah pegangan kaya gini boleh ditambah sambil senderan di bahu nggak sih?
_Bersambung_
KAMU SEDANG MEMBACA
CEO SOMPLAK (TERBIT)
Humor#1 in newadult. AVAILABLE ON ONLINE BOOKSTORE. SEBAGIAN PARTS SUDAH DIHAPUS. ✖️✖️✖️✖️✖️ Selama 30 Hari Sally harus mengikuti bahkan tinggal satu atap dengan Dendy, seorang CEO sukses, tampan, kaya raya sayangnya berstatus Jones demi riset kepenu...