HARI ke-23 (1)

24.8K 2.1K 236
                                    

Sally membuka pintu apartemen dengan hati-hati. Ia memutar kunci dengan gerakan perlahan.

Jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, sekalipun ia yakin Dendy belum bangun, ia tetap memilih untuk memasukinya dengan sembunyi-sembunyi.

Pintu terbuka dan kini ia kembali dengan gerakan jari perlahan untuk menutupnya kembali.

Berhasil.

Sally menarik napas panjang. Selanjutnya hanya tinggal berjalan memasuki kamarnya. Lagi, dengan tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Satu langkah.

Dua langkah.

"Lo tidur di mana semalam?" ucap Dendy yang sudah terduduk dengan melipat kedua tangan di dada.

"Mampus gue," gumam Sally sembari meringis takut.

Sally berbalik menghadap Dendy. "Eh, Kakak tumben udah bangun jam segini?" ujar Sally dengan cengiran groginya.

Dendy berdiri, melangkah mendekat pada Sally dengan raut wajah marahnya.

GLEK.

"Kak, gue masuk dulu ya!" Belum sempat Sally membuka pintu kamar, lengannya lebih dulu ditarik oleh Dendy.

Sally menatap kedua mata Dendy dengan jarak sangat dekat. Ia bisa melihat kilatan amarah di sana.

"Gue tanya sekali lagi. Lo semalam tidur di mana?" tanya Dendy dengan nada tinggi.

"Gue ... Gue kan kemarin sore jalan tuh sama Ricky. Terus mampir ke apartemennya, keasikan ngobrol sampe malam eh ternyata ... gue ketiduran deh di sana!" Sally berusaha tersenyum.

Rahang Dendy mengeras bahkan, cengkraman tangannya pun ikut menguat.

"Kak!" Sally meringis.

"Oh jadi itu sebabnya gue sms nhgak dibales? Gue telepon nggak diangkat?" Kini Dendy mencengkram kedua bahu Sally dan terus menatapnya tajam.

Sally hanya memilih menundukan wajahnya. Baru kali ini ia melihat Dendy semarah ini.

"Jawab!" Dendy mengguncang tubuh Sally.

"Kak, sakit!!!" rintihnya.

Dendy menegakan tubuh. Ia melepaskan cengkraman dan mengusap wajahnya kasar. "Gue nhgak habis pikir kenapa lo bisa sama Ricky? Nginep di apartemennya pula. Lo tau kan dia cowok kaya apa, hah?"

"Yang gue tau, Ricky itu baik. Dia bahkan teramat sopan untuk seorang cowok brengsek. Setidaknya, dia sekarang nggak mainin perasaan gue!!!" balas Sally.

Dendy mengerutkan kening. "Maksud lo apa?"

Sally tersenyum kecut. "Gue udahan. Hari ini gue pulang. Sorry, gue nggak akan lanjutin riset novel sialan itu lagi." Sally membuka pintu kamarnya.

Sayang, pintu tersebut tertahan oleh tangan Dendy. Sally berbalik, kini tubuhnya berada di bawah lengan Dendy yang melintang di atas kepalanya. "Kenapa udahan? waktu lo tinggal beberapa hari lagi kok," ujar Dendy yang menahan emosinya.

Sally menutup kedua mata, ia berusaha menahan rasa sakit yang ada di hatinya. "Cerita CEO macam lo itu nggak akan laku dipasaran!" Ketus Sally.

"CEO kaya apa yang lo mau?"

"CEO yang standarnya lah. Tampan, kaya raya, sombong, angkuh, dingin dan yang penting jago ena-ena." Tunjuk Sally dengan ujung jari pada dada Dendy.

Panas sudah hati Dendy. Kedua matanya menggelap. Emosi yang ia tahan sedari tadi, kini meledak. "OH JADI INI ALESAN LO MILIH RICKY???"

"IYA KENAPA?" balas Sally dengan ketus.

CEO SOMPLAK (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang