LAMARAN KEDUA

26.2K 1.7K 119
                                    

Sarah, Sally dan Mommy ikut mengantarkan beberapa tamu menuju garasi, yang dimana dijadikan area parkir sementara.

Acara empat bulanan kandungan Sarah, sudah selesai. Para pekerja pun sibuk merapikan halaman taman belakang, yang dijadikan acara sejak pagi hari.

Julian, Lydia dan Juan anaknya, ikut berpamitan lebih dahulu, karena akan menghadiri acara lainnya. Yang dimana weekend terkadang menjadi hari kondangan sedunia. Lalu, mantan jones macam Dendy selalu berharap dikondangin.

Ketiganya kembali memasuki rumah menuju ruang keluarga, Daddy ayah Sally, Dendy dan Indra yang menggendong anak pertamanya tengah asik bersantai.

Sally mendudukan tubuh tepat di samping Dendy. Dengan wajah ditekuk ia menarik lengan kiri CEO yang sudah resmi menjadi pacar, dilingkarkan lengannya, memeluk lengan tersebut layaknya sebuah guling dan merebahkan kepala di bahunya.

"Yang baru jadian beberapa hari udah asik lendotan aja. Makanya sana, ke KUA!" seru Daddy, yang duduk tidak jauh dari pasangan somplak nan omes itu. Sebenarnya, Daddy sedikit menyindir istrinya karena ia sudah jarang dilendotin seperti itu. Semoga kodenya sampai dan sang istri mendapatkan sedikit pencerahan.

Kembali ke Sally.

Sally mengacuhkan godaan Ayahnya dan masih saja menampilkan wajah kesal pada semua orang yang berada di ruang keluarga.

"Lo kenapa?" tanya Dendy yang sedikit risih dan berusaha menarik lengannya. Kalau berduaan sih jangankan lendotan, lumba-lumbaan lagi juga ayo dah!

"Pinjem sebentar sih lengannya, pelit banget lo jadi orang." Sally malah mengeratkan rangkulannya.

"Tuh bocah ada masalah sama kontrak filmnya. Lagian nggak dibaca bae-bae sih!" timpa Mommy setelah melirik suaminya yang sedang senyum-senyum mesum. Kode untuk nanti malam.

"Masalah gimana, Tante?" tanya Dendy yang mengerutkan kening bingung.

"Tuh kan, Tante lagi. Dibilang Mommy aja." Mommy mengoreksi ucapan Dendy.

"Iya, Mommy." Dendy tersenyum sembari menggaruk kepala.

"Biasa bocah. Kalau udah masalah dokumen kaya gitu males baca. Padahal dia penulis, tapi baca dokumen beberapa lembar aja nggak bener!" timpa Indra yang mengayunkan lengannya. Berusaha menina-bobokan anak pertama, yang sedang ia timang dengan penuh cinta. Aih ... papah goals.

"Kok semuanya malah nyalahin gue sih?" Sally semakin menekukan wajah. Dengan kasar, ia mengusap wajah pada lengan Dendy berkali-kali, hingga Dendy hanya bisa menahan napas. Menahan rasa menggelitik, yang hampir bisa membangunkan si Otong. Sinyal bahaya.

"Dokumennya mana? Sini biar gue baca?" pinta Dendy.

Sally melepaskan lengan pacarnya itu. Dengan langkah gontai, ia menuju kamar mengambil sebuah map berwarna coklat.

Setidaknya gue bisa napas dulu. Lendotan sih lendotan, tapi itu bukit kembar nempel banget. Buset dah, udah anget pake kenyel lagi. Dendy yang menarik napas sembari merapikan jambulnya. Stay cool. Otong plis, jangan bangun dulu.

Sally memberikan map pada pria berjambul yang sedang duduk. Lekas Dendy membacanya dengan seksama. CEO mode on. "Itu surat yang bawahnya juga baca," pinta Sally.

"Lo yang salah, kenapa nggak baca bener-bener. Ya udahlah, terima nasib aja. Laen kali, biar gue baca dulu baru lo tanda tangan ya?" ujar Dendy hati-hati.

"Tapi kan duitnya lumayan, Kak!" keluh Sally.

"Berapa sih? Gue yang gantiin deh. Lagian kalau kita udah nikah, duit gue semuanya juga buat lo. Segini sih nggak ada apa-apanya. Lo kan tau, gue CEO nomor 2 terkaya." Dendy menepuk dadanya bangga.

"Tapi kan beda. Ini duit hasil kerja gue sendiri, bukan hasil ngangkang dari suami."

"Lo ngangkang udah termasuk kerja itu juga. Sama suami lagi, malah tambah pahala," balas Dendy.

"Woy, ada anak gue ini. Buset bahasanya pada. Gue ke atas dulu," pamit Indra kesal dan diikuti oleh Sarah, istrinya. Jangan sampai semangka junior bernasib sama dengan anggota keluarga yang lain, otak mesum.

"Emangnya kalian mau kapan nikah?" tanya Daddy yang sudah berpindah duduk di samping Mommy, dengan satu tangan merangkul bahu mesra istrinya itu.

"Besok juga boleh, Dad. Kalau sekarang ada penghulu yang nganggur apa lagi, sekarang juga boleh. Gimana?" Dendy menoleh pada Sally.

"Ck, orang lagi pusing kontrak ini malah ngomongin nikah." Sally melempar map coklat ke atas meja dan melipat kedua tangan.

"Yak, adegan sepasang kekasih berantem. Kita angkat kaki, Mom. Daripada nanti jadi nyamuk disini." Daddy dan Mommy pun berlalu memasuki kamarnya. Sebenernya mereka sudah ... Errr, tidak usah diteruskan.

Dendy yang sudah melihat situasi sudah aman, mulai menggeser duduknya. Mendekati Sally yang membuang pandangan ke arah lain. "Cireng ... kok malah marah sih." Dendy mendorong bahu Sally dengan bahunya.

"Pulang gih gue udah sepet liat lo disini." Saat Sally berdiri, Dendy lebih dulu mencekal lengannya.

"Duduk sini," tepuk Dendy pada kedua paha.

Sally terdiam.

"Sini," Dendy menarik lengan Sally dan akhirnya Sally pun mendudukan dirinya di atas pangkuan Dendy. Satu lengannya melingkar di pinggang Sally, jaga-jaga kalau Sally terjatuh ke belakang. Satu lengannya lagi, ia taruh di atas pangkuan. "Marahnya kenapa? Gue paling nggak suka kalau marah lama-lama. Kalau emang kesel, ngomong aja langsung. Lagian gak boleh marahan lebih dari tiga jam tau."

"Tiga hari bukan tiga jam," koreksi Sally.

"Kalau tiga hari bisa gila gue nggak liat lo senyum. Obat hidup gue kan, cukup liat lo tersenyum tiap hari. Kalau bisa tiap detik." Benar saja Sally mulai tersenyum. Semakin lama, semakin lebar. Gemas, ia memukul dada Dendy.

"Gombal alus ya ini?"

"Nah, gitu senyum." Dendy menarik tubuh Sally. Di rebahkannya kepala Sally pada bahunya. Ia melingkarkan kedua lengan pada tubuh Sally. Mendekapnya erat.

"Lo tau nggak, gue itu bangga banget bisa sama lo. Sama bakat menulis lo. Sama karya-karya lo. Dan, yang lebih bikin gue lebih bangga lagi, gue jadi satu-satunya cowok yang lo sayang." Dendy mencium kening Sally dan menempelkan dagunya pada kepala Sally. "Gue mau lo fokus berkarya. Fokus dengan hasil dari karya lo. Bukan dengan nominal uang yang lo dapat. Ingat, semua itu hanya bonus. Gue pernah bilang kan, liat manfaat uang bukan uang yang memanfaatkan lo."

Sally bergerak, ia memeluk tubuh pacar tercintanya dan lebih menggeser kepala, menempelkan kening pada jakun seksi Dendy. "Makasi, Kak!" ujar pelan Sally.

Dendy menaruh pipinya pada kepala Sally. Menutup kedua mata, mengeratkan dekapan dan meresapi tubuh mungil Sally. Hangat dan penuh dengan cinta.

"Jangan lupa sisa duitnya di transfer besok ya. Kan katanya lo mau gantiin. Kalau bisa dua kali lipat." Sally dengan menahan senyumnya.

Dendy menarik napas. "Pantesan lo mau gue peluk-peluk gini. Ujung-ujungnya modus."

"Lah, kaya lo nggak modus aja. Itu tangan satu, ngapain ngelus-ngelus paha gue?" Sally menepuk tangan Dendy kencang.

"Eh gak sadar gue. Dia jalan sendiri ke situ."

Jeda beberapa detik.

"WADUH!!!" Seru Dendy yang tubuhnya menegang dan panik.

Sally menegakan tubuh. "Kenapa lo, Kak?"

"Berdiri cepetan!!!" Dendy mendorong tubuh Sally yang berada di pangkuannya.

Sally cepat-cepat turun dari pangkuan Dendy dan memperlihatkan raut wajah bingung kekasih hatinya yang baru saja ia modusin. "Kenapa, sih?" tanyanya lagi.

"Si Otong ke gencet, nggak enak banget!!" Dengan gerakan terburu-buru dan panik, Dendy memasukan satu tangan ke dalam celana jeansnya dan memperbaiki posisi Otong agar aman, damai, sentosa.

"Perlu gue bantuin nggak?" tanya Sally malu-malu.

CEO SOMPLAK (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang