Lala mengetuk pintu ruang kerja Dendy.
"Masuk," teriak Dendy dengan pulpen yang terselip di telinga kiri sedangkan kedua tangannya masing-masing memegang kertas dokumen.
"Pak, ada Pak Julian!" Ucap Lala yang mempersilahkan Julian memasuki ruang kerja Dendy.
"Jambu mede peyot, gaya banget loh nyuruh sekertaris nggak boleh ada yang masuk," ketus Julian yang duduk di sisi meja kerja Dendy.
Dendy meliriknya sekilas lalu memasukan dokumen ke dalam map. "Gue butuh konsenterasi, Ju."
"Konsentrasi, somplak. Puyeng lo?" Julian mengambil gelas milik Dendy yang masih berisi penuh dengan air dan meminumnya hingga abis.
"Kurang? Noh dikamar mandi banyak aer." Dendy merapikan tumpukan dokumen dan merenggangkan tubuh hingga kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi. "Ngapain lo kesini?"
"Belagu. Gue kesini kaga boleh apa?" Ketus balik Julian.
Dendy tidak membalas perkataan Julian, ia memilih untuk mengganti sepatu pantofel dengan sepatu olahraga putih kesayangannya.
"Lo tau projek yang dikasih Ricky waktu itu?" Tanya Julian yang turun dari meja dan perpindah duduk pada sofa.
Dendy menghentikan kegiatannya. Ia mengambil satu sepatu yang belum terpasang dan ikut berpindah juga ke sofa.
"Kenapa sama tuh projek?" Dendy kembali memakai sepatunya.
"Kalau gol, fulusnya hujan." Julian menggerakan ibu jari dengan telunjuk ke arah Dendy.
Dendy mengerutkan kening. "Serius?"
Julian mengangguk. "Jangan remehin tuh anak sekarang. Kekayaannya emang masih dibawah kita bertiga, tapi dia udah masuk 10 besar tahun ini."
Melihat Dendy terdiam dengan raut sedikit emosi, Julian mencoba bertanya dengan hati-hati. "Dia masih deketin Sally?"
Dendy menoleh cepat pada Julian. "Sally bilang mereka pacaran. Gue nggak tau, bener apa nggak"
"Kenapa nggak lo tanya serius ke Sally langsung aja? Plis deh jangan ada masalah missunderstanding kaya gue dulu sama Lydia." ucap Julian yang mencoba memberikan sedikit masukan pada sahabatnya itu.
Dendy menyandarkan punggung dan melipat kedua tangan. "Kalau bener mereka pacaran gimana, Ju? Telat dong gue? Gue matiin aja apa si Ricky?" Tanya Dendy putus asa.
Julian tertawa kencang. "Lo matiin Ricky, gue yang maju. Tar aja kalau projeknya gol baru deh lo mampusin tuh orang."
"Sebanyak apa sih untungnya?" Dendy menimang-nimang apa yang dikatakan oleh Julian.
"Kita bertiga, masing-masing kena lebih dari 50M." Julian menaikan kedua alisnya dan mengusap rambut halus dirahangnya.
"Anjir, mantep juga tuh. Mayan buat modal gue nikah sama Sally." Seru Dendy yang ikut mengusap rahangnya yang tidak berambut.
"Udah lo nunggu apa lagi emangnya? Tanya langsung sama Sally. Tembak aja lah, kelamaan kalau tanya segala. Kalau mereka pacaran, bikin putus. Tar gue sama Indra bantuin. Lagian, si Ricky juga masih main one night stand kok." Jelas Julian.
"Monyet. Serius? Setan tuh orang. Sampe ngapa-ngapain Sally. Gue matiin sekarang juga. Bodo amet 50M kaga dapet juga." Dendy mengepalkan tangannya.
"Bagus ... gih sana. Gue mau makan siang dulu sama Lidi. Ciao.. adiós...." Tanpa menunggu balasan dari Dendy, Julian lebih dulu keluar dari ruang kerjanya.
Dendy kembali duduk di kursi hitam besarnya. Ia mengambil handphone dan mengecek isi chatting dengan Sally. "Kok nggak ada chat yang masuk!" Dendy lekas menekan nama Sally pada buku telepon di dalam handphone-nya. Ada nada sambung di sana tapi tidak juga terhubung dengan pemilik nomor tersebut.
Tidak putus asa, ia kembali menghubungi Sally. Betapa rindu dirinya mendengar suara gadis yang sudah menggeser cintanya pada Cecilia. "Kok nggak di angkat. Ngapain sih ini Cireng. Kaga tau gue kangen apa." Dendy kembali menaruh handphone dan menarik laci kecil di sebelah kirinya.
Laci tersebut hanya berisi dua buah kotak yang sama-sama berwarna hitam dengan pita merah diatasnya. Sama dengan ukuran berbeda. Ia lebih dulu mengambil kotak persegi. Dibukanya. Sebuah gelang berbandul hati dengan sebuah berlian di tengahnya. Gelang yang dulu pernah ia berikan pada Cecilia.
Baru saja ia ingin memasukan kembali, gelang tersebut tergelincir dari tangannya. Terjatuh tepat di depan kakinya. Dendy mengambil perlahan. "Lo udah buat gue jatuh tapi masih aja ada sisa rasa disana," ucap Dendy monolog.
Dendy mengambil kotak lainnya. Kali ini, kotak hitam persegi panjang berisi sebuah pulpen dengan kristal swarovski. Dendy tersenyum. Semakin lama, senyumnya semakin lebar. "Hari ini juga gue bakalan nembak lo, Cireng. Hari ini juga. Dan lo kudu terima. Harus terima." Dendy bersiap mengambil jas dan dipakainya.
Dendy berjalan menuju lift sembari membuka aplikasi chatting.
Dendy : Lo dirumah? gue otw
Dendy : jangan kemana-mana ya
Dendy : tunggu kangmas
Baru saja lift terbuka tepat di lantai Lobby, handphone Dendy berbunyi. Ia memilih untuk keluar dan berada di Lobby sejenak untuk mengangkat panggilan teleponnya. "Halo," ucapnya sembari tersenyum dengan beberapa orang yang lewat. Menyapa sang CEO. Pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Dendy mengerutkan keningnya. "Stop. Ngomongnya jangan sambil nangis. Gue nggak paham jadinya. Ada apa? Kenapa?" Tubuh Dendy membeku terdiam. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya kencang.
Tidak ada lagi kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia menjatuhkan satu tangan yang menggenggam handphone dan menyandarkan punggung pada dinding dibelakangnya. Julian yang ternyata masih berada di Lobby, menghampiri Dendy. Diperhatikannya lekat-lekat wajah kacau Dendy. Emosi serta kesedihan bercampur disana. "Bro, lo gapapa?" tanya Julian yang menepuk bahu Dendy.
Hanya dengan tatapan nanarnya Dendy membalas pertanyaan Julian. "SHIT! Gue telepon Indra," Julian segera mengambil handphone miliknya dan menghubungi Indra untuk segera datang menghampiri dirinya serta Dendy saat ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
CEO SOMPLAK (TERBIT)
Humor#1 in newadult. AVAILABLE ON ONLINE BOOKSTORE. SEBAGIAN PARTS SUDAH DIHAPUS. ✖️✖️✖️✖️✖️ Selama 30 Hari Sally harus mengikuti bahkan tinggal satu atap dengan Dendy, seorang CEO sukses, tampan, kaya raya sayangnya berstatus Jones demi riset kepenu...