Warna biru muda terbentang luas di atas sana dengan hiasan awan putih menggumpal di sela-selanya. Satu dua burung berterbangan kesana kemari dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Suara desir angin yang bergesekan dengan daun kering seakan menjadi lantunan melodi tersendiri bagiku, yang membuat suasana hatiku perlahan membaik.
Kedua tanganku menggenggam samar trali besi pembatas. Kutarik nafas perlahan, menikmati setiap detik kenyamanan yang kurasakan saat ini.Di bawah sana, suara klakson saling menyaut dengan mobil dan motor saling menyalip tak mau kalah satu sama lain.
Setiap kali aku menghadapi masalah, apapun itu, baik kecil atau besar, aku selalu datang kemari. Menatap luasnya langit dengan angin dan klakson yang menjadi temanku. Semua beban yang kurasakan seakan hilang terbawa angin yang berhembus perlahan mengisi seluruh ruang di atmosfer bumi.
Aku bersyukur bisa menemukan tempat ini. Aku bisa curhat sepuasku, aku bisa menangis dan bahkan menjerit sekuatku tanpa ada satu orangpun yang tahu atau mendengarku.
Teman? Tentu aku punya teman. Aku bukan makhluk individu yang senang hidup menyendiri tanpa mau bersosialisasi dengan orang lain. Aku bukan orang seperti itu. Sama seperti orang lain, aku punya pilihan dalam hidupku yaitu aku tidak mau terlalu dekat dengan orang lain selain keluargaku sendiri.
Bagiku walaupun mereka teman, mereka tetap saja orang lain yang berbeda dengan orang dari keluarga sendiri. Kapan saja mereka bisa menyakiti lalu pergi tanpa salah. Aku tidak mau merasakan seperti itu, keluarga adalah keluarga, teman adalah teman. Tidak akan ada TEMAN MENJADI KELUARGA.
Senja perlahan merambat menutupi warna biru. Aku berbalik dan mengambil tasku yang tadi kutaruh di sofa reyot yang sengaja di letakkan di tengah atap terbuka yang ku pijak saat ini. Aku menuruni satu persatu anak tangga yang lumayan banyak jumlahnya.
Masih dengan seragam SMA lengkap, aku menghentikan taksi yang kebetulan lewat didepanku. Taksi itu berhenti dan aku masuk, lalu setelah itu aku mengatakan alamat rumahku. Pak sopir itu mengangguk dan segera melajukan mobilnya melintasi jalanan yang sangat ramai.
Aku menyandarkan punggungku, menarik nafas dalam-dalam lalu kukeluarkan perlahan. Hanya karena masalah kecil di sekolah mampu membuatku sepert ini.
Dasar anak nggak di inginkan
Kalimat itu membuatku kembali kesal. Yuna dengan lancangnya menyebutku sebagai anak tak diinginkan. Apa haknya bilang seperti itu padaku? Apa dia tahu seluk-beluk masa lalu keluargaku, bahkan lahirnya duluan aku, bagaimana ia lebih tahu dari pada aku.Spontan aku menggebrak meja dan kujambak rambutnya hingga kepalanya tertarik ke arahku. Satu tanganku yang bebas kugunakan untuk menarik sebagian rambutnya lagi hingga ia semakin tertarik ke arah ku.
Aku tak menggubris teriakan kesakitannya, kedua tangannya memukul kencang tanganku, "Rasakan. Ini akibatnya jika kamu berkata seenaknya tentangku."
STOP,
"Bintang, hentikan."
Aku sama sekali tak memedulikan pelototan dan intruksi dari Bu Nita, bahkan aku semakin brutal menjambaki rambut Yuna.
"BINTANG, STOOP."
Aku mundur beberapa langkah saat sebuah tangan menarik paksa diriku. Nafasku memburu menahan amarah yang belum terpuaskan sepenuhnya. Aku melotot ke arah Yuna yang berbalik melotot kearahku, "Tahu rasakan," gumamku dengan jelas dan aku yakin seluruh penonton yang menyaksikanku dan Yuna dari tadi dapat mendengarnya, tak terkecuali Bu Nita, Si guru bulet.
"Bintang, kamu ikut saya ke kantor, kamu juga Yuna." Bu Nita menjauh dengan aku mengikut di belakangnya dan Yuna yang berjalan di belakangku.
"Sekarang kalian bisa ceritakan inti permasalahan kalian. Ibu beri waktu."
Bu Nita menatap wajahku lalu beralih ke Yuna.Hening, tak ada salah satu dari kita menjawab.
"Bintang, Yuna, apa kalian mau saya skors seminggu.""Masalahnya ada di dia Bu, saya hanya korban,"
"Apa kamu bilang? Korban, hei, yang korban itu aku. Kamu lihat rambutku jadi kayak gini."
"Itu salah kamu, punya mulut di jaga jangan cuma bisa di rantai aja tu gigi, gigi dirantai tapi mulut nggak di jaga."
"KAMU,..."
"SUDAH HENTIKAN!."
Aku melihat dari ekor mataku Yuna yang hendak berdiri dan mau menyerangku tapi di hentikan oleh Bu Nita. Bu Nita menatap satu persatu lalu menarik nafas panjang kemudian ia hembuskan perlahan.
"Bintang, saya tahu kamu murid berprestasi di sekolah ini dan keberadaan kamu di sini sangat di perhitungkan tapi ibu mohon padamu, tolong jaga sikap kamu. Selama ini sudah banyak ulah yang kamu lakukan selama kamu sekolah disini,"
Lalu Bu Nita beralih pada Yuna, "Dan untuk kamu, Yuna, kamu adalah anak dari Bapak Kepala Sekolah, jadi bersikaplah seperti layaknya murid yang lain. Dan untuk itu, kesalahan kalian kali ini masih bisa saya maafkan."
Aku sedikit menyunggingkan senyum, Bu Nita menatapku lalu beralih ke Yuna, "Tapi kalian tetap harus menjalani hukuman,"
"Yah, hukuman, saya nggak mau Bu." Yuna merengek pada Bu Nita.
"Kalian harus membersihkan rumput liar yang ada di taman depan dan sapu seluruh kotoran ataupun sampah yang ada di sekolah ini, saya beri kalian waktu mulai sekarang sampai bel pulang sekolah."
"Sudah sampai Mbak,"
Suara halus Pak sopir meraih paksa diriku kembali ke waktu sekarang, aku menatap sekeliling dan benar, aku sudah berada di jalan depan rumahku. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang lalu kuberikan pada Pak sopir sebelum kemudian aku turun dan masuk.
"Ah, apa? Oh jangan dong, geli ah,"
Aku mendengar suara kikikan disertai gumaman aneh dari kamar ibuku, aku berjalan ke arah kamarnya."Ah geli, udah dong. Kamu nakal banget sih, au jangan gigit yang itu."
Ternyata dia sedang bersama pacar mudanya. Aku melirik ke dalam kamar ibuku, pemandangan yang sudah sering ku lihat hampir 2 tahun terakhir ini."Oh sayang, kamu sudah pulang. Ah, tunggu dulu dong. Makanannya sudah mama siapkan di meja,"
Aku melihat jijik ke arah ibuku yang sedang bergelayut manja di pengkuan pacarnya itu dengan sesekali mendesah. Dan pacarnya yang terus saja menciumi sekitaran leher lalu pindah ke pundak ibuku.
Sungguh menjijikkan. Aku berjalan ke arah kamarku dan masuk tanpa mau melihat atau bahkan menyantap makanan itu. Pemandangan seperti itu sudah cukup membuatku mual dan ingin muntah.
Aku langsung menghempaskan tubuh ke kasur, desahan-desahan menjijikkan itu masih terdengar dari kamarku.
Sebulir air menetes dari pelupuk mataku, entah apa yang kurasakan saat ini. Semua begitu cepat bagiku hingga sedikitpun aku tak bisa mencernanya di dalam otakku.
Mama melakukan ini semua demi kamu. Jadi Mama minta kamu diam saja dengan semua yang Mama lakukan.
Aku masih tak mengerti yang Mama katakan, "Demi aku," katanya. Demi apanya?. Apa dia rasa dengan dia melakukan semua ini bisa membuatku bahagia. Jawabannya adalah TIDAK. Tidak sama sekali. Justru dengan dia seperti itu, semakin membuatku sakit setiap kali melihatnya melakukan hal menjijikkan seperti itu. Dan pemandangan-pemandangan seperti itu, itu bukan kelalakuan ibuku yang ku kenal selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibawah Bintang (TAMAT)
RomanceBintang di antara kegelapan malam dengan kerlap kerlipnya, yang saling menyebar di antara gelap malam. Menatapnya dengan angin yang membelai rambut dan kulit tubuh yang tak tertutup kain. Sepi, sunyi dan hampa, teman akrabku setiap kali aku berdiri...