=> 33

258 22 0
                                    

Aku menatap barisan hujan yang membasahi tanah kering dari balik jendela. Angin meniup riuh daun daun di taman luar sana. Sejuk sekali hawa kurasakan kali ini. Aku mempererat jaketku lalu berbalik menghampiri Mama.

Ku genggam tangannya agar ia tak merasakan dingin. Aku menatap lekat matanya yang masih saja tak terbuka.

Pintu kamar terbuka dan menampakkan Mas Fahmi yang masih lengkap dengan setelan kerjanya. Aku menghampirinya lalu memberinya handuk.

"Kehujanan?"

"Lumayan."

Aku kembali duduk disamping Mama dan kembali menggenggam tangannya.

"Kapan ya Mama sadar?"

Mas Fahmi menyentuh pundakku, aku mendongak menatapnya dan ia tersenyum ke arahku. Aku kembali menatap Mama, bersamaan saat itu Mama menggerakkan jari tangannya dan kelopak matanya.

"Mas, Mama sadar," ucapku senang kepada Mas Fahmi.

"Saya panggilkan dokter," ia langsung keluar dan berteriak memanggil dokter.

Tak lama dokter datang dan memeriksa keadaan Mama.

Aku berharap keadaan Mama semakin baik dan bisa seperti sedia kala.

Aku terus menggenggam tangan Mama selama Mama di periksa.

Kemudian Dokter memberi isyarat padaku untuk keluar mengikutinya.

"Keadaannya mulai stabil. Tapi saya belum berani menyimpulkan keadaannya akan membaik,"

"Maksudnya dok?" Aku menyela omongan dokter.

"Pasien bisa saja drop kapan saja karena kemampuan kerja syaraf diotaknya belum pulih sepenuhnya."

"Saya harus bagaimana?"

"Jangan dulu membicarakan atau mengingatkan pasien dengan masalah atau pembicaraan yang membuat otaknya bekerja keras jika semua yang saya katakan tadi terjadi, akan membuat keadaan pasien menjadi buruk,"

Aku mengangguk mengerti bersamaan dengan dokter berjalan menjauh dari tempatku berdiri.
Aku duduk di kursi samping ranjang Mama dan Mas Fahmi berdiri disampingku. Aku tersenyum ke arah Mama dan Mama membalasnya dengan lemah.

"Bagaimana keadaan Mama? Ada yang sakit," ucapku selembut mungkin.

Mama seperti ingin bicara tapi kesulitan. "Mau minum?" Mama mengangguk lemah.

Aku mengambil gelas dari atas nakas lalu mengarahkannya ke mulut Mama. Mama mengangkat sedikit kepalanya kemudian menyeruput sedikit air putihnya.

Mama memejamkan matanya sebentar lalu kembali membukanya.

"Mama istirahat dulu saja. Bintang akan tungguin Mama disini,"

Mama mengangguk setelah itu memejamkan matanya.

Aku menatap Mas Fahmi yang entah sejak kapan sudah berpindah tempat menjadi duduk di sofa. Mataku beralih menatap keadaan luar dari balik jendela. Hujan sudah reda, tinggal sisa airnya yang menetes lewat daun melengkung diluar sana.

"Hujannya udah reda Mas. Kamu nggak pulang?" ucapku sambil menghampiri Mas Fahmi.

"Ceritanya ngusir ini?" Ucap Mas Fahmi sambil menyipitkan matanya kearahku.

"Bukan, aku cuma kasihan sama Rachel karena akhir akhir ini Mas Fahmi jarang bareng Rachel."
Mas Fahmi mengangguk samar lalu berdiri. "Iya juga ya,"

"Aku antar sampai pintu," ucapku pada Mas Fahmi.

"Nggak usah. Saya tahu jalan keluarnya kok,"
Lalu ia berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang.

"Mas Fahmi,"

Aku langsung memeluk Mas Fahmi dan Mas Fahmi membalas pelukanku sambil mengelus halus punggungku.

"Terima kasih karena Mas Fahmi ada untukku,"

"Sama-sama Bintang," Mas Fahmi melepaskan pelukannya lalu memegang pundakku, "Saya pulang dulu ya,"

Aku mengangguk dan bersamaan dengan itu, Mas Fahmi membuka lalu menutup pintu.

Dibawah Bintang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang