Entah sudah berapa malam telah hadir dihidupku dengan ribuan bintang bersamanya. Dan entah sudah ke berapa kali aku lagi-lagi menatapnya dengan tatapan yang selalu sama seperti malam-malam yang lalu.
Di tengah suasana ramai seperti ini, aku merasa sepi. Sepi yang kurasakan setiap saat hidupku. Sepi yang merasuk jauh kedalam hatiku hingga merasuk kedalam setiap aliran darahku.
Di depanku, berdiri menjulang tugu selamat datang. Aku menatap tulisan yang tertera disana, " Selamat Datang Dunia Bermain" lalu tatapan ku beralih ke orang-orang yang masuk dengan pasangan atau keluarga mereka.
Tak ada satu pun dari mereka yang menampakkan raut kesedihan.
Aku memutuskan untuk masuk ke Dunia Bermain. Langkah demi langkah ku pastikan dari kedua kakiku. Masih dengan seragam SMA yang kututup dengan jaket tipis berwarna abu-abu dan Tas putih yang bertengger di pundak kananku.
Aku menatap sekeliling yang di penuhi ratusan orang yang berseliweran, lalu mataku beralih menatap kincir angin yang menjulang tinggi, kira-kira lima meteran dan setiap baling-baling dari kincir angin itu terdapat keranjang yang didalamnya dapat di masuki orang dan kincir angin itu berputar pelan.
Seperti de javu, aku merasakan aku pernah datang kesini sebelumnya, tapi aku tak ingat kapan. Suasana tempat ini begitu mampu membuatku merasakan ada sesuatu dari hatiku yang seakan membucah di dalam sana.
Aku melihat bangku kosong dibawah pohon beringin yang daun-daunnya berhias lampu timberland warna-warni, aku memutuskan untuk duduk disana. Berada disini membuatku seperti seseorang yang kebingungan, aku merasa semua ini begitu ku kenal tapi aku sendiri tak yakin.
Aku menyandarkan punggungku, pandanganku lurus kedepan dengan tangan kutaruh diatas pahaku. Bintang sedang menyaksikanku di atas sana.
"Aduuuhhhh, sakit.. Hikks.,"
Spontan aku menoleh ke sumber suara, aku melihat seorang anak perempuan sedang duduk sambil menangis. Aku menghampirinya dan jongkok di depannya.
"Kenapa kamu menangis?" Aku berusaha ramah padanya, satu tanganku terulur menyentuh pundak mungilnya. "Lutut kamu berdarah, Mau kakak obati nggak?"
Entah kalimat yang kugunakan ini cocok untuknya atau tidak, sungguh aku tidak begitu menyukai anak kecil.Ia mengangguk. Aku tersenyum, "Kalau begitu jangan nangis lagi dong. Sini Kakak bantu kamu berdiri, nanti Kakak obati di bangku yang ada di sana. Oke," Aku mengarahkan jempolku padanya dan disambut senyum manis olehnya.
Aku menuntunnya perlahan. "Kamu duduk di sini ya," Ia menuruti ku dan duduk di tempat yang tadi ku duduki.
Aku jongkok di depannya, satu tanganku mencari hansaplast dari tasku. Anak kecil itu hanya mengamati setiap gerak yang kulakukan, "Ketemu," Aku sedikit teriak saat hansaplast yang dari tadi kucari akhirnya ketemu. Anak kecil itu tersenyum melihat tingkahku.
Sambil ku tiup lukanya, aku mulai memasangkan hansaplastnya secara perlahan.
"Kakak namanya siapa?"
Aku menatap anak kecil itu, lagi-lagi bibirku membentuk senyum manis untuknya. Tangan kananku menunjuk ke arah langit, anak kecil itu mengikuti arah telunjukku, "Kamu tahu itu apa?"
"Bintang."
"Itu nama Kakak. Kalau nama kamu siapa?" Aku mengambil posisi untuk duduk disampingnya.
"Namaku Rachel Kumala Wijoyo. Kak Bintang bisa panggil aku Rachel."
"Rachel, nama yang bagus. Salam kenal Rachel. "
Aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan padanya. Rachel menerima jabatan tanganku dengan senyum lebar dibibirnya. "Kamu kesini sama siapa?"
"Aku kesini sama Ayah, tapi Ayah tahu-tahu menghilang jadi aku bingung mencarinya."
Aku mengangguk-angguk mengerti. "Kak Bintang disini aja ya, temenin aku."
Aku melihat Rachel memasang ekspresi memelas. Harus bagaimana aku sekarang? Apa aku tiba-tiba lari meninggalkannya saja, eh jangan, walaupun aku seperti ini, aku juga masih punya rasa kasihan.
Tapi duduk berdua dengan anak kecil yang ku perkirakan masih berumur 5 tahunan, sikap seperti apa yang harus ku tunjukkan padanya? Apa sikap cuek yang pura-pura nggak denger saat ia mengajak bicara, atau sikap ramah yang selalu bertanya seluk beluk tentangnya. Itu bukan aku sekali.
Aku melirik ke arahnya lalu kembali menatap ke depan sambil menghela nafas perlahan dan kukeluarkan perlahan juga. Aku memposisikan dudukku untuk menghadapnya.
"Rachel tahu alamat rumah Rachel?" Ia menggeleng.
Bintang! Kamu sungguh bodoh. Mana ada anak kecil seperti dia yang hafal tempat tinggalnya.
"Ehmm., Ciri-ciri Ayah Rachel seperti apa? Siapa tahu Kakak bisa bantu Rachel mencari Ayah Rachel?"
Rachel mengetuk-ngetukkan telunjuknya di keningnya, ia melirik ke arahku sambil tersenyum, "Kakak nungguin ya jawaban dari ku ya," lalu ia tertawa sambil menutupi mulutnya.
Aku hanya bisa bengong mendengar jawaban anak kecil seperti dia. Kok bisa gitu?
"Kakak mau tahu Ayah aku itu seperti apa?" Aku sudah tidak peduli ia mau bicara apa, cukup sekali aku di kerjain anak kecil sekecil dia. "Ayah aku itu tinggi, ganteng, rambutnya hitam, kulitnya putih, hidungnya mancung,"
Mataku menatap sekeliling, mencocokkan satu persatu orang dewasa laki-laki yang ada di sekitarku.
"Itu bukan?" Rachel menggeleng.
"Itu bukan?" Rachel menggeleng. "Kalau yang itu?" Rachel kembali menggeleng.Sabar Bintang.
Dan ini adalah kandidat terakhir orang yang mirip dengan ciri-ciri Ayah Rachel, "Yang itu bukan?" Rachel lagi-lagi menggeleng. "Terus yang mana dong?"
"Yang itu," lalu ia berlari ke arah orang yang berdiri jauh dari tempat dudukku.
Aku melihat Rachel yang berlari lincah ka arah Ayahnya yang berdiri memunggunginya.
Senyum terukir dibibirku, Akhirnya Anak kecil yang resek itu menemukan Ayahnya.
Aku beranjak dari dudukku. Sedikit berlari, aku keluar dari Dunia Bermain sambil sesekali melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 8 kurang 10 menit dan jarak yang harus ku tempuh untuk sampai ke halte bus sekitar 5 menitan.
Aku semakin mempercepat lariku.
Sesampainya di tikungan dekat halte, Aku melihat bus telah berhenti didepan sana.
Aku semakin mempercepat langkahku hingga tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai, aku melihat bus itu mulai berjalan perlahan.
Aku berlari lagi sambil mencoba meraih gagang pintu bus dan akhirnya dapat kuraih. Aku masuk melalui pintu belakang bus. Nafasku terengah-engah sesampainya di dalam bus.
Mataku mencari tempat duduk yang kosong dan seperti tempo hari, aku kembali mendapatkan tempat duduk nomor dua dari depan. Aku langsung menghampiri tempat duduk itu dan duduk di dekat jendela.
Satu tanganku menghapus peluh di dahiku, capek juga ternyata. Mungkin ini efeknya karena aku jarang olah raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibawah Bintang (TAMAT)
RomanceBintang di antara kegelapan malam dengan kerlap kerlipnya, yang saling menyebar di antara gelap malam. Menatapnya dengan angin yang membelai rambut dan kulit tubuh yang tak tertutup kain. Sepi, sunyi dan hampa, teman akrabku setiap kali aku berdiri...