Dan disini aku berdiri sekarang. Menatap bemacam mobil dan motor yang berkejaran dibawah sana dengan angin yang membisikkan nyanyian hampa di telingaku sambil membelai lembut rambutku.
Senja telah berlalu beberapa menit yang lalu. Kegelapan mengambil alih untuk segera melaksanakan tugasnya, tak terkecuali bintang selalu mengikuti kehadirannya.
Aku menatap satu persatu bintang di atas sambil sesekali tanganku menujuk kearahnya, menghubungkan mereka satu persatu melalui jari telunjukku.
Jika aku bisa memilih, aku ingin menjadi bintang. Bintang yang selalu hadir dengan cahaya redupnya yang mampu menghiasi kegelapan sekalipun ia hanya satu.
Aku menghela nafas perlahan, sekelebat bayangan muncul di otakku. Bayangan saat hidupku masih sempurna, lalu tiba-tiba badai datang menghempas semuanya. Menjadikan kebahagiaanku porak poranda.
Mamaku tak lagi ku kenal seperti dulu dan Ayahku, yang sangat ku sayangi, harus pergi kerena kecelakaan mobilnya. Aku menganggap kematian Ayah adalah salahku karena aku tidak menurut padanya."Sudah Ayah bilang, kamu jangan pergi bersama teman-teman kamu itu. Kalau seandainya terjadi apa-apa dengan kamu di jalan, apa teman-teman kamu akan menolongmu?"
Aku menatap jengah pada Ayahku, "Ya pasti teman aku bakal nolong aku lah, Yah. Nggak mungkin mereka akan ninggalin aku sendiri jika yang Ayah takutkan itu terjadi."
Aku beranjak dari sofa sambil menenteng tasku yang sudah ku isi beberapa pakaian untuk waktu seminggu di Palangkaraya.
"Bintang tunggu, Ayah akan ikut kamu. Ayah akan menjaga kamu disana."
Aku melotot tak percaya pada omongan Ayah barusan.
"IKUT. Ayah nggak bercanda kan? Nggak usah aneh-aneh deh, Yah, aku bisa jaga diri aku sendiri, Yah,"
"Keputusan Ayah sudah bulat. Ayah IKUT kamu ke Palangkaraya bareng teman-teman kamu."
"Aku nggak mau Ayah ikut. Aku sudah besar, Yah. Umurku juga sudah 17 tahun, dan dua tahun lagi aku sudah lulus SMA. Jadi aku nggak mau Ayah ngintilin aku."
"Terserah kamu. Keputusan Ayah tetap sama."
Pundakku melorot, Apa jadinya liburanku jika Ayahku ikut? Nggak asik banget. Aku merengut kemudian berjalan melewati Ayahku untuk masuk ke kamar.
Aku membanting tasku, "Kenapa jadi begini sih,"
"Bintang?"
Aku menoleh ke arah pintu, ternyata Mama berdiri disana sambil melipat kedua tangannya di depan perutnya. Aku menatap Mama yang mulai berjalan kearahku lalu duduk disampingku.
"Mama tahu kamu nggak di ijinin sama Ayah buat liburan ke Palangkaraya kan? Maksud Ayah baik kok, Ayah cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Kamu tahu sendirikan Ayah itu sangat sayang sama kamu."
"Tapi kan Ma, aku cuma liburan seminggu aja, nanti juga pulang kalau liburannya sudah selesai."
"Setiap orang kan nggak tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Kamu sekarang boleh bilang "nanti pasti akan pulang" tapi siapa tahu kamu nggak bisa pulang seperti apa yany kamu bayangkan. Mama bilang seperti ini bukannya untuk menakut-nakuti kamu, Mama cuma ingin kamu mengerti tentang rasa khawatir yang dirasakan oleh Ayah kamu. Mama yakin kamu sudah dewasa dan sudah bisa memutuskan hal terbaik bagi kamu sendiri."
Aku merenungi kalimat Mama, sebagian hatiku mengatakan iya tapi sebagian hatiku mengatakan aku harus tetap berangkat.
Aku kembali menghela nafas perlahan, sebulir air mata menetes melewati pipiku.
Kembali ke masa sekarang, masa yang telah berubah cepat. Aku menghapus air mataku dengan satu tanganku dan satu tanganku yang lain menggenggam trali besi pembatas.
"Hai Bintang, aku tahu kamu pasti merasakan apa yang kurasakan saat ini."
Aku berbicara pada bintang di langit sambil menunjuk kearahnya. Senyum kecut terukir dibibirku.
Bodoh, kamu pikir bintang tahu apa yang kamu rasakan.
****
Jalanan Kota Jakarta sangat ramai setiap malam. Lampu-lampu menyala terang di ruko maupun resto mewah yang dibangun persis di pinggir jalan. Motor dan mobil berjejer tak rapi melintasi jalan raya.
Kota tua dengan penduduknya yang serba baru, Aku menatap sepasang kekasih yang sedang berciuman di salah satu gang kecil yang gelap. Aku berhenti sambil berpura-pura batuk, lalu kembali melanjutkan langkahku. Dasar anak sekarang, nggak takut hamil apa.
Dari kejauhan, aku melihat bus yang biasa membawaku pulang telah berhenti di halte depan. Aku mempercepat langkahku agar tak ketinggalan bus. Kurang beberapa langkah untuk sampai ke bus, ku lihat bus mulai berjalan pelan.
Aku segera berlari dan langsung masuk melalui pintu belakang bus. Untung saja pintu bus belum tertutup sempurna tadi.
Penumpang bus malam ini lumayan ramai, aku celingukan mencari tempat duduk yang kosong. Aku berjalan ke arah depan bus dan akhirnya aku menemukan tempat kosong yang letaknya di nomor dua dari depan. Aku memilih duduk di dekat jendela. Aku mulai menyandarkan punggungku di kursi bus dengan kedua tanganku ku sedekapkan ke depan, mataku melirik sekilas ke arah kursi sampingku yang kosong lalu kembali menatap jalanan yang seakan ikut berjalan.
Rasa kantuk mulai menyerangku, aku mengangkat tangan kananku untuk melihat jam berapa sekarang. Ternyata masih pukul 8 dan bus juga baru berjalan. Masih ada waktu sekitar 20 menitan untuk ku gunakan tidur. Aku sedikit menggeser tubuhku untuk mendapatkan posisi yang nyaman. Dan tak butuh waktu lama untuk mataku tertutup.
Malam, lagi-lagi hanya malam temanku selama ini. Dengan ribuan bintang bertebaran di atas sana, membentuk kerlipan-kerlipan indah yang diciptakan yang Kuasa sebagai tanda kebesaran-Nya. Bintang yang bertebaran untuk membentuk satu kesatuan saat satu garis saling menghubungkannya. Lalu terbentuk simbol dengan arti tersendiri.
Aku sedikit menggerakkan tubuhku, aku merasakan tubuhku bergoyang halus setiap kali bus melewati jalanan yang tak rata. Aku juga merasakan kepalaku nyaman sekali, seperti aku sedang bersandar di pundak seseorang.
Tunggu, seseorang, bersandar.
Aku mulai membuka perlahan mataku, hal yang pertama ku lihat adalah jalanan yang seakan ikut berjalan dari luar kaca jendela. Dan jendela itu berada di sisi kananku, sedangkan kepalaku bersandar di sisi kiriku.
Jadi kepalaku bersandar dengan apa kalau begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibawah Bintang (TAMAT)
RomanceBintang di antara kegelapan malam dengan kerlap kerlipnya, yang saling menyebar di antara gelap malam. Menatapnya dengan angin yang membelai rambut dan kulit tubuh yang tak tertutup kain. Sepi, sunyi dan hampa, teman akrabku setiap kali aku berdiri...