>11

537 31 1
                                    

Senja datang lagi dalam hidupku. Membawa serta warna jingga penuh cerita dengan angin yang tak pernah lupa dengan tugasnya menyeret halus semua duka.

Duka yang abadi tertanam di lubuk hati paling dalam.
Aku tak tahu kenapa aku berdiri disini, dengan pemandangan yang telah menemaniku selama ini.

Pemandangan yang mengobati lukaku walau hanya sementara, dan suara klakson mobil atau motor yang saling menyaut di bawah sana menjadikannya selingan tangis setiap pilu di hatiku.

Aku lebih betah berdiam diri disini daripada harus pulang kerumah. Rumah itu telah menjadi neraka bagiku. Neraka tanpa api. Neraka yang telah membuatku merasa mati setiap saat.

Lampu jalanan mulai menyala satu persatu, dan warna jingga itu lama kelamaan telah berubah menjadi gelap tanpa bintang dan rembulan. Angin lagi-lagi membelai rambutku, aku tak mau seperti ini terus. Aku tak mau terpuruk seperti ini.

Aku memejamkan mataku, merasakan angin membelai halus pipiku. Bayangan itu kembali hadir di ingatanku. Bayangan yang membuat hidupku seperti ini.

Aku segera membuka mataku, menyaksikan keadaan saat ini yang telah jauh berbeda dengan saat itu. Aku berbalik menuju anak tangga lalu menuruninya satu persatu hingga sampai di anak tangga terakhir. Aku keluar dari gedung itu dan berjalan menuju halte.

Halte terlihat sepi, tidak seperti biasanya. Aku duduk di halte dengan satu tanganku memegangi tasku.
Lama, itu yang kurasakan saat menunggu bus datang.

Mungkin ada 2 jam aku menunggu bus itu datang sebelum akhirnya bus berwarna merah berhenti di depanku. Aku segera masuk dan memilih tempat duduk nomor dua dari depan.

Aku menyandarkan punggungku sambil menatap luar dari balik jendela. Hingga akhirnya aku tertidur lagi.

Mama

Mau

Nikah

Lagi!

Aku terbangun dari tidurku saat kalimat itu tiba-tiba terngiang di balik mimpiku. Sungguh, kalimat itu mampu membuatku seperti ini.

Aku memperhatikan keadaan sekitar, aku baru ingat kalau tadi tertidur di bus. Aku menoleh ke samping kanan, "Om Geje?"

Ia melirik ke arahku. Sejak kapan orang aneh ini duduk di sampingku?

"Kenapa?"

Aku menggeleng, lalu menatapnya dari atas turun ke bawah lalu kembali lagi ke atas.

Hari ini ia tak memakai jas dan tuxedo aneh nya itu. Hanya pakaian simple dengan celana jeans dan kemeja polos warna senada dengan jeansnya.

"Sejak kapan Om duduk disini?"

"Sejak tadi. Sejak kamu tidur."

"Oh ya?"

"Menurutmu? Kamu pikir saya ngikutin kamu."

"Siapa tahu,"

Ia kembali melirikku dan aku hanya tersenyum kearahnya. Aku menegakkan posisi dudukku, mataku kembali fokus pada jalanan yang seakan ikut berjalan diluar sana.
"Ngomong-ngomong,"

Aku menoleh ke arah Om Geje, "Terima kasih karena kamu sudah menemani Rachel kemarin siang saat saya telat jemput."

Aku mengerutkan keningku, "Oh itu. Kemarinkan Om sudah bilang."

Om Geje terkekeh pelan, "Maaf saya lupa." kemudian ia mengulurkan tangan kanannya padaku, aku menatapnya lalu berganti ke tangannya, "Nama saya Fahmi,"

Aku segera membalas jabatan tangan Om Geje, "Bintang."

"Rachel sering cerita tentang kamu. Katanya dia sangat suka sama kamu."

"Oh ya."

Ia mengangguk. "Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya,"

"Maksudnya?"

"Menyukai orang yang baru ia temui. Tapi dengan kamu, dia langsung suka."

Aku tersenyum mendengar ucapan Om Geje. Sekilas aku teringat wajah Rachel.

Anak itu membuatku semakin suka, dan sepertinya naik satu tingkat menjadi sayang.

"Kamu masih sekolah?"

Aku mengangguk, "dimana?"

"Di SMA Garuda."

Ia mengangguk sambil tersenyum samar, "Ada apa Om?"

"Tidak. Saya hanya teringat saat saya masih sekolah di SMA Garuda."

"Om alumni SMA Garuda?"

"Ya, sekitar sepuluh tahun yang lalu saya lulus dari sana. Oh ya, jangan panggil saya Om, terdengar sangat tua sekali."

Om Geje ini ternyata ramah juga, aku kira dia orang yang kaku.

Aku mengamati wajahnya, memang sih dia nggak terlihat tua. Tapi harus kupanggil dengan apa?

"Bingung mau manggil apa?" aku tersenyum canggung padanya. "Panggil saja nama saya juga nggak apa."

Bis berhenti. Aku menoleh ke arah jendela, kemudian aku berdiri dan hendak keluar. Om Geje menatapku dan aku membalas tatapannya.

Sepersekian detik ia tak mengalihkan tatapannya hingga aku memberi isyarat untuk minggir. Tahu arti isyaratku, ia menggeser sedikit kakinya dan aku keluar.

Malam yang melelahkan untukku walaupun waktuku hanya kuhabiskan dengan menatap langit.

Dibawah Bintang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang