Aku langsung menegakkan kepalaku lalu menoleh ke arah kiri tempat dudukku. Aku melihat seorang laki-laki dewasa dengan setelan jas lengkap dengan pita kupu-kupu di bagian kerahnya. Aku menatapnya dari bawah menuju atas lalu kembali lagi ke bawah. Aneh sekali orang ini.
Orang itu menoleh ke arahku dan balas menatapku. "Jangan berpikir aneh-aneh. Kamu tadi tidur di pudakku saat aku baru saja duduk di kursi ini."
Aku mengerutkan keningku, Apa iya?
"Nggak usah sok bingung kayak gitu." ia menggerakkan pundaknya sambil kepalanya ia gerakkan kekanan dan kekiri, "Kepalamu berat juga hingga mampu membuat pundakku terasa pegal."
Seketika aku melotot ke arah orang itu.
Orang ini sungguh-sungguh membuatku kesal dengan nada sombongnya. Masih ada saja orang seperti ini di dunia, dan tugasku disini adalah memberantasnya.
"Siapa yang suruh kamu duduk di kursi kosong ini?."
Ia tak menoleh sedikit pun padaku, malah ekspresinya menunjukkan seolah-olah ia tak mendengarku.
"Hei, apa kamu tidak punya kuping? Oh ya ampun, aku hampir saja lupa. Kamu pasti sudah terkena penyakit tuli karena faktor usia."
Ia langsung menoleh ke arahku saat aku mengatakan kata usia kepadanya. Ia menatapku melotot dan hendak mengatakan sesuatu tapi langsung ku potong, "Tenang saja Om, aku mengerti, kebanyakan orang tua memang mengalami masalah pada telinganya. Jadi Om nggak usah malu soal itu." lalu aku menyunggingkan senyum mengejek pada orang itu.
Bis berhenti. Aku berdiri dan hendak keluar dari kursi yang kududuki dari tadi.
Aku melihat ke Om tadi yang memasang tampang kaku. Aku memberi isyarat padanya untuk minggir, tapi ia malah menunjukkan sikap cuek.
Aku mengerti maksud dari Om Geje ini.
Aku melirik ke arah sepatu hitam mengkilatnya. Senyum jail terukir manis dibibir ku, aku menyedekapkan kedua tanganku di depan dadaku sambil melihat ke arah Om Geje.
"Jadi Om mau membalasku. Oke, tapi jangan menyesali perbuatan Om itu ya,"
Aaaaaauuuuuuuu
Aku tersenyum puas saat Om Geje berteriak kesakitan sambil mengangkat satu kakinya yang tadi ku injak.
Matanya semakin melotot kearahku, aku hanya tersenyum puas ke arahnya lalu berjalan keluar dari tempat kursi yang kududuki tadi.
Baru beberapa langkah, aku berbalik dan menjulurkan lidahku pada Om Geje, "Jangan marah padaku Om."****
Angin semilir terus membelai anak rambutku di sepanjang perjalananku dari halte menuju rumahku yang jaraknya mungkin sekitar 10 meteran.
Jalanan lumayan sepi, hanya satu dua orang duduk-duduk di warung dengan kopi di tangan atau pun di meja mereka. Aku terus berjalan melewati mereka. Sampai di tikungan dekat rumahku yang hanya tinggal beberapa meter lagi sampai, aku menghentikan langkahku.
Di depan sana, tepatnya di depan rumahku, Aku melihat mobil mewah terparkir dan tak lama setelah itu Mama keluar dari mobil itu dengan banyak tas, sepertinya tas yang berisi belanjaan yang ia tenteng di kiri dan kanan tangannya. Aku terus melihatnya.
Entah apa yang di bicarakan Mama pada laki-laki itu sebelum laki-laki itu pergi. Aku mempercepat langkahku untuk sampai di rumah.
"Sampai kapan Mama mau seperti ini?"
Mama membalikkan badan ke arahku dan menatap bingung padaku. "Kamu tadi bilang apa? Mama nggak dengar," lalu Mama meletakkan tas-tas itu di sofa ruang tamu.
"Aku tanya, Sampai kapan Mama mau seperti ini?"
Mama mengerutkan keningnya, "Seperti ini? Maksud kamu apa sih, Mama nggak ngerti. Mama mau istirahat, Mama capek. Kamu kalau lapar, Mama sudah bawakan di tas itu. Kamu cari sendiri ya."
"Sampai kapan Mama mau jadi simpanan laki-laki hidung belang seperti itu? Apa sedikit pun Mama nggak berpikir bagaimana rasanya istri-istri mereka jika tahu Mama telah merusak rumah tangga mereka. Apa Mama nggak malu dengan apa yang Mama lakukan selama ini, Apa Mama...."
"SUDAH CUKUP."
Aku menghentikan perkataanku. Deru nafasku beradu dengan deru nafas Mama yang saat ini menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kubaca.
Lalu ia mulai melangkah perlahan ke arahku sambil menatapku dalam, kedua tangannya terulur karahku menangkup kedua pipiku.
"Sudah cukup, kamu masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya. Sekarang yang Mama mau adalah kamu cukup diam dan jangan banyak bicara, karena apa? Karena Mama melakukan semua ini demi kamu."
Kemudian Mama berbalik dan berjalan menuju kamarnya.
Aku menatap kepergian Mama dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, sedih, semua bercampur jadi satu. Lagi-lagi dia bilang "Demi aku," aku sudah tidak peduli lagi. Aku melirik ke arah tas-tas itu, tanpa pikir panjang, ku hampiri tas-tas itu dan langsung ku buang ke sembarang tempat hingga berserakan memenuhi ruang tamuku.
Aku tidak peduli lagi jika nanti Mama marah padaku dan mengusirku. Jika itu terjadi, aku akan sangat senang karena Mama mengusirku.
Hidup dengannya membuatku semakin muak setiap kali melihat perbuatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibawah Bintang (TAMAT)
RomanceBintang di antara kegelapan malam dengan kerlap kerlipnya, yang saling menyebar di antara gelap malam. Menatapnya dengan angin yang membelai rambut dan kulit tubuh yang tak tertutup kain. Sepi, sunyi dan hampa, teman akrabku setiap kali aku berdiri...