How It Starts

1.9K 243 31
                                    

I'm starting to think one day I'll tell the story of us
How I was losing my mind when I saw you here
But you held your pride like you should have held me
I'm scared to see the ending
Why are we pretending this is nothing?
I'd tell you I miss you but I don't know how
I've never heard silence quite this loud  





Raina


Seseorang mengetuk pintu dengan perlahan. Meski begitu, gue tetap mendengar jelas suara itu yang membuat gue bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri pintu. Sayangnya, gue tidak lagi mendengarkan ketukan yang kedua kalinya. Tapi itu tidak mengurungkan niat untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, mata gue melirik ke kanan dan kiri, mencari sesuatu yang mungkin meninggalkan jejak. Dan, detik itu juga gue menyadari ada sebuah box di dekat kaki. Berukuran sedang dengan warna pastel—warna favorit gue.

Tubuh gue berjongkok sebentar untuk mengambil box pastel berpita yang ada di bawah. Di atasnya ada secuil tulisan seperti ini.




Reunion invitation.

Don't need a dress code. Just come tonight to our favorite place at 8 p.m.


From your beloved. Tripdate squad.




Gue tidak mampu menahan bobot tubuh yang sedari tadi terus berjongkok untuk membaca kata pengantar di atas box. Ada sesuatu yang menggetarkan hati gue, menarik ingatan kembali ke masa putih abu-abu beberapa tahun silam. Masa-masa yang indah di tahun-tahun terakhir, karena masa itu nggak akan pernah bisa terulang meski kini gue berteriak untuk meminta. Kalaupun memang terulang kembali, pasti rasanya tak akan sama lagi.

Masa di mana gue mencintai seseorang sepenuh hati, gue mengerti arti persahabatan, gue harus berjuang untuk seseorang yang gue impikan, meski akhirnya ada hal yang harus direlakan. Bukankah hidup itu seperti labirin? Kita nggak pernah tahu kejutan apa yang ada di depan. Mungkin jalan buntu, atau bisa saja ternyata secercah harapan.

Puas menyeret pikiran ke masa lalu, gue kembali memperhatikan box yang masih tertutup dan belum ada niatan untuk membukanya. Sementara gue masih duduk di lantai setelah menyadari kalau lutut ini mendadak lemas saat melihat undangannya.

Malam ini? Benarkah malam ini? Setelah sekian lama, 8 tahun, haruskah malam ini gue kembali bertemu mereka?

Meski ragu, pada akhirnya gue memutuskan untuk menarik tutup box persegi panjang itu sambil meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Gue membukanya perlahan dengan degup jantung yang berlawanan. Ia malah berdetak semakin cepat meski sudah gue tahan untuk tetap tenang. Lalu, setelah tutup box itu ditaruh di lantai, gue menemukan sebuah foto berukuran 8R berisikan gue dan kelima orang lainnya sedang tersenyum sambil mengalungkan tangan ke bahu orang di sampingnya, lalu tersenyum lebar. Hanya satu orang yang tersenyum tipis tanpa minat.

Dia Orion.

Satu-satunya laki-laki yang berhasil gue miliki, yang sudah ditaksir sejak gue masih duduk di kelas sepuluh, yang berhasil menguji kesabaran gue selama berada di bangku SMA, yang... ah, sudahlah.

"Na, kenapa kamu duduk di lantai?"

Kepala gue mendongak dan menemukan Mbak Kristin berdiri di ambang pintu, menoleh ke arah gue sambil mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi, tanda dia sungguh kebingungan dengan apa yang gue lakukan sekarang.

"Ah, nggak papa Mbak." Gue memutuskan untuk berdiri sambil memegang box yang kembali ditutup. Lalu kaki ini melangkah menuju kursi tempat yang tadi diduduki. Gue taruh box di atas meja, menyatu dengan buku-buku yang sudah gue tandatangani.

Mbak Kristin mengikuti di belakang sampai memilih duduk di kursi yang berhadapan dengan meja gue. "Udah selesai?"

"TInggal tujuh buku lagi." Jawab gue sambil mengambil buku yang halaman depannya masih kosong. Tangan gue sibuk membubuhkan tandatangan berukuran besar sambil menulis satu-dua kata sebagai cuap-cuap terima kasih karena ada yang mau membeli buku gue ini.

"Kamu nggak perlu serepot itu sampai pakai tambahan kata-kata loh Na." ujar Mbak Kristin yang sedang menopang dagu, memperhatikan kegiatan gue ini. "Kamu sesenang itu, ya?"

Gue menaruh satu buku yang sudah selesai ditandatangani, menaruhnya ke sebelah kanan, menyatu dengan ratusan buku yang sudah berisi tandatangan gue beserta kata-kata manisnya di halaman pertama. Gue menatap Mbak Kristin sejenak sambil menjawab, "Lebih dari itu, Mbak."

Mbak Kristin menggelengkan kepalanya sambil mengubah posisi jadi bersandar ke punggung kursi. "Aku mau lihat kali Na isi box-nya. Apa itu dari mereka? Orang yang kamu rindukan sejak lama?"

Pandangan gue teralih kembali pada box berwarna pastel itu, lalu menariknya perlahan ke hadapan. Foto itu ada di tumpukan paling atas, yang langsung gue tunjukkan pada Mbak Kristin. Senyum perempuan akhir tiga puluhan itu mengembang sempurna saat matanya selesai memperhatikan satu per satu dari wajah kami berenam.

"Jadi, kalian mau reuni malam ini?" tanyanya tenang.

"Katanya sih, Mbak. Tapi—"

"Ya udah, selesai tanda tangan buku ini, kamu boleh langsung pulang. Biar aku yang rapikan ini untuk segera di-packing. Kamu hanya perlu siap-siap karena sebentar lagi malam. Good luck ya Na!"

Hanya dalam hitungan detik, Mbak Kristin sudah melenggangkan kakinya menuju pintu dan hilang di baliknya. Meninggalkan ruang kosong di sekitar gue, yang meski kosong, namun, entah kenapa dada gue terasa sangat sesak. Terlebih saat mendapati foto kami berenam kini ada di hadapan gue.

Seulas senyum pedih tersungging menghiasi wajah gue saat ini. Dan, untuk pertama kalinya setelah perpisahan itu, gue menangis lagi sambil memeluk foto itu erat-erat.






I miss you, Yon.

I miss you all.




 ☔


What do you think about these 2 parts, guys?

Do you want me to continue or delete?

Lemme know:))

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang