Don't fall in love with someone who says the right thing.
Fall in love with someone who does the right thing.
Raina
Iyon itu nerd, Iyon itu cupu. Iyon itu nggak bisa bergaul. Tapi sialnya, iyon itu ganteng pake bangsat. Dia adalah tipe cowok cool yang keliatannya kaku, dan sekalinya ngomong, kelar idup lo.
Itu yang gue rasain waktu pertama kali ngomong sama cowok paling nerd satu sekolah. Hampir semua cewek—bahkan gue juga—selalu ngatain dia adalah cowok nerd yang berengsek karena ketampanannya yang berada di atas level rata-rata. Kulit putih, tatapan tajam, rahang tegas, bibir tipis, hidung bangir, tubuh jangkung sedikit kurus, rambut cepak, nunjukin bentuk oval wajahnya yang semakin terlihat sempurna. Udah gitu, badannya selalu wangi pula. Sayang, ada deket dia selalu bikin orang-orang takut sama aura gelapnya.
Tapi hari itu, gue ngeliat sisi lain dari Iyon yang biasanya. Iyon yang berbeda dari semenjak 2 bulan gue kenal dia sebagai sesama murid baru. Ya, waktu itu kita masih di kelas 10.
Waktu itu hujan, sekolah udah sepi dan gue masih belum dijemput. Beberapa siswa lain memutuskan untuk berlari menembus hujan, bahkan ada juga yang udah dijemput. Setelah setengah jam nunggu, gue masih juga belum dijemput. Jadi, gue hanya bisa duduk bengong di deretan bangku-bangku semen di depan kelas sambil nunggu reda. Sesekali gue cek HP, kalau-kalau supir ngabarin udah di depan sekolah. Tapi sayangnya, belum
Lima belas menit kemudian, baru lah supir telepon udah di depan. Ngg... gue udah agak cemas karena hujan masih belum reda, sementara fisik gue ini lemah banget. Kena air hujan dikit aja, besoknya bisa demam. Tapi dalam hidup, ada saatnya kita nggak punya pilihan lain, kan? Kayak kondisi gue sekarang. Jadi gue langsung berdiri dan siap-siap untuk berlari ke gerbang depan.
Tapi, tiba-tiba seseorang nahan bahu gue cukup keras, bikin gue menoleh. Eh, agak sedikit dongak karena tingginya jauh di atas gue.
"Nih, pake payung gue." dia menyodorkan payungnya gitu aja.
"Terus lo?" tanya gue bingung sambil ambil payung dia.
"Udah, pake aja." Dia mulai memasangkan topi hoodie-nya yang kebesaran dan memasukkan kedua tangan ke sakunya. "Jangan lupa besok balikin."
Dan dalam gerak cepat, cowok tinggi itu udah berlari menembus hujan, membuat cipratan-cipratan kecil dengan sepatu Nike-nya, mengabaikan gemericik hujan yang gue pikir sih masih cukup deras, dan akhirnya dia menghilang setelah melewati gerbang sekolah.
Nggak tau kenapa, hati gue saat itu langsung menghangat. Ketika sejak pertama masuk gue langsung diteror chat sama banyak cowok—bahkan Iyo dan Iyan pun sama, suka usilin gue—Iyon hanya satu yang gak peduli. Ketika di kelas pun, Iyon lebih sering baca buku, denger lagu, atau hal-hal yang menurutnya asik dinikmati sendiri. Tapi saat itu, gue ngerasa kalau Iyon beda dari cowok-cowok kebanyakan. Ketika cowok-cowok lain sibuk nge-bullshit sama ucapannya, Iyon justru will do everything.
Buktinya, waktu gue bingung gimana harus nembus hujan, cowok-cowok yang suka chat gue nggak jelas itu nggak ada, kan? Malah Iyon satu-satunya orang yang rela hujan-hujanan dan minjemin payungnya biar gue nggak kehujanan.
Keesokan harinya, gue langsung nyamperin bangku Iyon. Bangku paling depan dan di tengah. Tepat banget di depan papan tulis.
"Ini Ri, makasih payungnya." Waktu itu, gue masih manggil dia Rion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remorseful [SKY]
Teen FictionKalau ada satu kesempatan untuk mengulang masa lalu, satu-satunya masa yang pengin gue ulang adalah masa putih abu-abu. Masa saat gue menyia-nyiakan cinta seseorang, mengabaikan perhatiannya yang berlebihan, dan bahkan meninggalkannya tanpa perasaan...