Twenty Nine: Bubur Kacang Hijau

646 145 137
                                    

*Play song on the media above, please:)



"I didn't leave because I stopped loving you. I left because the longer I stayed, the less I loved myself."

.

.

.

.

.

.

–Raina




Raina



Rupi Kaur dalam puisinya bilang kayak begitu. Tepat di halaman 89 dengan ilustrasi gambar cewek lagi duduk menunduk, menangkup lututnya dengan sedih. Mungkin gitulah kondisi gue sehari setelah putus dari Iyon. Atau lebih tepatnya, kondisi gue malam hari pasca putus beberapa jam dari Iyon. Gila, udah menyedihkan banget gue waktu itu.

Tapi memang iya, sih. Sampai sekarang gue masih sayang banget sama Iyon. Kalau gue nggak waras, pasti detik ini gue masih berstatus pacarnya Orion Pratama dan menjadi seorang bucin yang rela menyakiti hatinya sendiri dan mengorbankan kebahagiaannya demi bertahan sama cowok yang jelas-jelas nggak menyayangi dia. Bodoh, katakanlah gue begitu.

Untungnya gue masih waras. Untungnya gue masih sadar untuk nggak menyakiti hati gue terlalu lama. Karena kalau aja gue bertahan sehari lagi, atau mungkin berhari-hari lagi, gue pasti bisa masuk RSJ untuk pengobatan kejiwaan. Udah jelas-jelas nyakitin, kenapa masih dipertahanin? Dan satu-satunya alasan bodoh yang mungkin masih gue pertahankan hanya karena gue sayang dia. Gue nggak pernah sadar kalau menyayangi orang bisa bikin gue bodoh sekaligus bego.

Akhirnya saat itu gue sadar. Hari itu, entah gue dapet kesadaran dari mana kalau mungkin saat itu waktunya gue untuk berhenti. I had to leave you, Yon. Because I was tired of allowing you to make me feel anything less than whole. Because when I'm with you, gue selalu ngerasa kurang, kurang, dan kurang. Gue nggak bisa bahagia lagi. Apalagi setelah gue tau kalau selama ini lo sembunyiin itu lama. Sembunyiin tentang perasaan lo, tentang cinta pertama lo, dan tentang kebohongan lo.



"Aw." Gue ngeringis waktu sadar kepala gue ditoyor cukup keras. Pelakunya udah jelas, siapa lagi kalau bukan Alvio. Cowok tengil dan menyebalkan yang sejak tadi meluk gue dari belakang.

"Sumpah ya lo masih aja sempet-sempetnya ngelamun padahal gue lagi ngomong juga."

"Ngapain lo ke sini?" tanya gue ketus. Gue masih belum bisa maafin dia by the way.

"Mau ngajak lo ngepet."

Gue merotasi bola mata sedikit jengah, terus melanjutkan berjalan sambil meninggalkan Vio yang masih berdiri di tempatnya.

"Ra astaga, tungguin gue kenapa sih?" cowok itu akhirnya ngekor di belakang gue. Tapi gue pura-pura nggak denger, cuek aja jalan dan mengabaikan dia.

"Ra makan bubur kacang hijau yuk?" tangan Vio tiba-tiba narik tangan gue sampai bikin langkah ini terhenti. "Woy, ngelamun lagi. Lama-lama lo kesurupan hayo ngelamun mulu." Vio kembali menyadarkan gue dengan cara menyentil kening. Tangan yang tadi dia pakai untuk menggenggam tangan gue langsung terlepas karena beralih untuk menyentil.

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang