Four: Roller Coaster

769 156 104
                                    

I know that loving him is like riding a roller coaster. I can both scream every time there's a bump or I can throw up my hands and enjoy the ride. You know what I choose? Yes, the second ones.Raina




Raina




Kadang, ada hal-hal di dunia ini yang sudah sangat kita harapkan bahkan sampai kita doakan mati-matian untuk terjadi, malah nggak kejadian. Tapi, ada juga hal-hal yang sekadar kita harapkan, lalu akhirnya kita lupakan karena itu mungkin nggak bisa terjadi, malah kejadian.

Gue, waktu di kelas sebelas dulu, pernah berharap sangat sangat sangat—sampai tiga kali—untuk bisa pergi nonton atau sekadar jalan-jalan sama Rion. Gue ngiri, tentu aja, sama pasangan-pasangan lain—terutama Mine dan Iyan as always—yang bisa pergi nonton setiap weekend, atau sekadar jalan-jalan cari tempat makan, atau nongkrong-nongkrong nggak jelas di cafe. Rion selalu bilang katanya itu nggak jelas. Iya, memang nggak jelas. Tapi justru dari ketidakjelasan itu sebenarnya bisa bikin kita jadi tambah dekat. Sayangnya, Rion nggak berpikir sampai sana karena gue tahu, kalau sejak awal jadian dulu, gue nggak pernah sekalipun jadi prioritasnya.


Tapi, hari ini rasanya keajaiban datang tanpa henti. Setelah tadi Rion bilang dia sengaja bawa helm demi gue—bahkan helm itu sengaja dia beli untuk gue—terus tadi di jalan, diam-diam tangan kirinya narik tangan gue biar pegangan lebih erat. Alasannya sih gini, "Aku bukan tukang ojeg kamu. Jangan pegangan ke pundak." Duh, kadang gue suka gemas sendiri kalau ngelihat tingkah Rion yang nggak sinkron antara otak dan mulutnya. Bilang aja lo khawatir kan Yon?

Dan, keajaiban lainnya, hari ini Rion mau nonton. Gila, bayangin dong for the first time gue bisa duduk sebelahan di dalam bioskop, memperhatikan lekuk wajahnya yang kelewat ganteng dan sempurna itu secara dekat di ruang yang redup. Gue nggak bisa fokus nonton sejak tadi karena lebih enak memperhatikan wajah Rion ketimbang harus nonton Justice League yang sama sekali nggak gue ngerti. Rion malah senang dan fokus banget nontonnya.


"Nonton yang bener."

Gue yang lagi sibuk memperhatikan wajah Rion langsung terkejut karena pukulan pelan dari sebelah kiri. Udah bisa gue tebak siapa, orang yang paling demen bikin darah gue naik drastis.

"Bodo ih ganggu mulu."

"Liatin muka Rion bisa di sekolah."

"Berisik anjir." Seru gue kesal, lalu memilih menggandeng tangan kiri Rion dan gelendotan di bahunya. Awalnya gue sedikit cemas sih kalau dia bakalan protes, seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, udah lima detik berlalu dan dia nggak merasa terganggu sama sekali. Jadi gue semakin bersandar di sana, merasakan kehangatan yang jarang sekali gue rasakan setelah 2 tahun pacaran sama Rion.

Gue nggak pernah tau rasanya kalau bersandar di bahunya Rion bisa senyaman ini. Gue juga nggak pernah tau bahwa kalau berada sedekat ini sama Rion, jantung gue bisa berpacu cepat banget. Gue bahkan nggak pernah tau kalau parfum Rion kayaknya udah ganti dari terakhir kali yang pernah gue cium wanginya.

"Kamu ganti parfum?"

"Hm."

"Jadi apa? Enak, wangi."

"Ssssttt."

Oke, sepertinya gue memang salah ajak dia ngobrol pas dia lagi asik kayak gini. Nggak komik, nggak film, nggak buku pelajaran. Pokoknya kalau Rion lagi sibuk sama tiga hal itu mending gue memilih diam sampai dia selesai dengan sendirinya.

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang