Forty Five: Would You?

554 123 213
                                    

"I wish I could spend the rest of my life with you, Na." -Orion

.

.

.

.

.

.

.



Alvio



Berulang kali gue melirik jam di layar komputer yang seolah membeku nggak bergerak. Apa cuma perasaan gue aja, yang dari tadi ngerasa bahwa jam berhenti di angka 4? Gue menoleh ke sebelah kiri kubikel dan menemukan Bian masih sibuk dengan game online-nya. Emang kurang ajar temen gue yang satu ini. Kalau sisa satu jam lagi dan memang mulai gabut di kantor, Bian sering banget menghabiskan waktu jam pulang sambil main game.

"Asik banget sih Bi." Ujar gue iseng, menggoda.

"Diem lo bangsat. Kalah nanti gue."

"Dih, biasa mau kodok zuma aja sok-sokan main game perang." Kata gue lagi yang kali ini nggak direspon Bian. Terus gue menggeser kursi mendekat ke arahnya dan memperhatikan Bian yang lagi sibuk melawan lawannya di ring tinju. Iya, Bian cuma seorang pegawai IT yang lebih demen main game online seputar perang tonjok-tonjokkan sejenis tinju, ketimbang game perang kekinian kayak PUBG.

"Awas lo jauh-jauh dari gue kampret." Meskipun mata dan tangannya nggak berhenti memperhatikan layar monitor dan menekan-nekan keyboard, tapi mulutnya nggak berhenti ngoceh.

"Gue kangen sama lo Bi. Kemarin lo cuti sampai seminggu sih." gue makin usil dan sedetik setelahnya game berakhir. Karakter Bian K.O dan jelas gue langsung kena tonjokan-tonjokan nyeri di bahu dan lengan atas. Tapi gue cuma membalas dengan kekehan ringan.

"Makanya nikah sana. Biar lo bisa cuti lama cuma buat ndusel-nduselan sama istri."

"Bangsat. Kalau ceweknya mau juga udah gue ajak nikah dari kapan tau." Jawab gue santai, tapi kayaknya terlalu ditanggapi serius oleh Bian.

Dia malah natap gue termangu, tanpa bicara. Tapi dari sorot matanya gue tau kalau dia sedikit gelisah.

"Santai, Bi. Gue lagi usaha sekarang. Doain aja."

"Lo nggak niat buat nyari di sini? Cewek di kantor kita cantik-cantik, Yo. Ya mungkin kepribadiannya nggak senyaman si penulis itu. Tapi kan..." Bian menggantungkan kalimatnya bikin gue akhirnya menghela napas panjang.


Sebelum menjawab, gue membenarkan kembali kursi ke depan kubikel gue sendiri. Terus gue noleh ke Bian. "Gue dulu memang brengsek. Gue nggak bisa serius sama cewek dan cuma menjadikan mereka partner kencan sehari. Tapi Bi, gue sadar. Kehilangan dia delapan tahun bikin perasaan gue yakin untuk nggak lagi melepaskannya."

Gue berhenti sebentar, meraup udara yang mulai habis di paru-paru. Lalu gue melanjutkan. "Jadi, gue mau terus berjuang. Gue mau terus perjuangin dia walaupun gue nggak tau sama perasaan dia gimana ke gue. Gue mau terus berjuang meskipun harus bersaing sama sahabat gue sendiri. Gue mau terus berjuang sampai akhir, sampai dia kasih keputusan untuk memilih siapa. Sampai dia menerima gue, atau menolak gue karena menerima orang lain."

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang