Twenty: Dufan (Part 2)

584 132 137
                                    

If I could freeze a moment, I want to freeze our quality time right now, even for a minute.

–Raina

.

.

.

.

.

Raina



Gue, Mine dan Rachel baru aja menghabiskan makan siang kita bertiga, sambil nunggu anak-anak cowok selesai sholat Jumat. Mine, seperti biasa jadi cewek yang paling telat habis makanannya. Gue karena laper banget jadi orang paling pertama habis, disusul Rachel. Mana sebenarnya, porsi gue sama Rachel itu masih banyak gue loh. Untung aja Iyon nggak di sini. Bisa-bisa ilfeel dia sama gue.

Eh, tapi biasanya juga dia liat porsi makan gue banyak kok, nggak masalah.


"Ra, seneng ya?"

"Hah? Seneng kenapa Chel?"

"Lo pasti seneng sekarang karena Rion keliatannya nggak secuek dulu lagi."

Gue cuma senyum-senyum malu—jijik juga gue bilangnya, nggak gue banget. Terus gue ngangguk bersemangat. "Gue nggak percaya aja Chel, akhirnya gue bisa ngerasain masa-masa indah di SMA kayak yang orang bilang."

"Gue sih udah ngerasain kali dari kelas sepuluh dulu..." celetuk Mine yang langsung gue pelototin, kesel mulu deh bikin ngiri aja. Terus yang jadi objek malah cengar-cengir gak jelas sambil aduk-aduk minumannya.

"Syukur lah kalo gitu, gue juga ikut seneng liatnya." Rachel mengulum senyum dan dewasa banget.

"Huhu sini sini peluk dooong." Gue merentangkan tangan ke arah Rachel yang duduk di hadapan gue, lalu Mine yang duduk di sebelah Rachel ikut-ikutan peluk. Jadilah kita berpelukan bertiga sambil sok mellow gitu. Padahal memang mellow, sih.


Soalnya, gue inget banget dari semenjak jadian sama Iyon dulu, satu-satunya kesedihan yang sering gue ceritain ke mereka ya sikap dingin dan nggak pedulinya Iyon dulu. Mereka juga tau gimana awal jadian gue dan Iyon. Kan, waktu itu mereka ada di sana juga. Kadang gue berpikir, gue jahat banget sih sama Iyon. Karena egois, karena gue terlalu sayang sama dia, gue sampai memaksa dia untuk jadi cowok gue. Bahkan selang beberapa minggu setelah jadian—secara paksa itu—gue langsung ajak Iyon ke acara arisan keluarga yang kebetulan diadakan di rumah gue. Gue tau, raut Iyon saat itu udah nggak bagus banget. Tapi, cuma itu satu-satunya cara biar gue semakin mengikat dia dengan kuat. Gue bahkan sering ajak Iyon ke rumah buat ngobrol sama Mama, biar ngerasa dekat. Gue juga sering banget minta main ke rumah dia, gue mengakrabkan diri sama keluarganya dan berharap bisa diterima.

Sampai akhirnya Iyon memang nggak bisa apa-apa lagi. Gue tau saat itu dia nggak sayang sama gue. Tapi, dia juga nggak sampai hati buat minta putus karena hubungan kita yang udah terlalu dekat.


Kalau inget itu, gue rasanya pengin peluk Iyon sambil bilang maaf berkali-kali. Maaf karena udah sangat egois, maaf karena udah buat dia harus mengubur perasaan buat orang yang dia cintai demi keegoisan gue sendiri, maaf karena gue terlalu jahat.

Iya, gue memang jahat. Gue..., brengsek.

Gue nggak tau diri, sok-sok jadi orang paling tersakiti dan menderita di hubungan ini, tanpa sadar kalau sebenarnya gue sendiri yang bikin diri gue jadi kayak gini. Dari awal gue tau, Iyon nggak pernah sayang sama gue. Tapi, gue selalu punya keyakinan mungkin hari ini enggak sayang. Siapa tau besok. Besoknya saat gue sadar Iyon masih belum sayang sama gue, gue masih berharap mungkin lusa. Dan begitu terus sampai tanpa sadar 2 tahun berlalu sangat cepat.

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang