Twenty Eight: Being Alone

626 138 84
                                    

I miss being able to do the smallest of things that made me happy.

.

.

.

.

.

.

.

Raina




Raina



Perpisahan itu mudah, tapi hidup setelah perpisahannya yang susah.


Seminggu ini, gue sengaja pulang cepet ke rumah. Nggak ada lagi istilah ngobrol sana-sini, jalan dilama-lama, nongkrong dulu atau apa pun itu. Jujur aja, gue udah nggak tau harus gimana lagi bersikap sama Iyon dan Vio. Sialnya, itu pun berdampak sama Mine dan Rachel. Hati gue belum sembuh tiap kali liat Rachel ada di depan mata gue. Setiap kali ngeliat Mine, kadang gue benci juga. Gue benci sama diri sendiri, kenapa gue nggak bisa seberani Mine? Bahkan cara putus gue dengan cara putus Mine jauh berbeda. Mine semudah itu membuat keputusan untuk putus. Sedangkan gue harus nangis-nangis dulu semalaman, datang ke sekolah dengan mata bengkak sisa menangis semalaman, kadang kalau lagi sial, hidung gue merah nggak hilang-hilang.


Jadi hubungan gue dengan Tripdate Squad sekarang kayak merenggang gitu aja. Gue tau gue salah, seharusnya gue dan Mine bisa saling menguatkan. Harusnya gue bisa berbagi cerita sama Mine dan Rachel soal kisah putusnya kita. Tapi, bahkan waktu Mine dan Rachel mendekat ke meja aja, gue suka pura-pura sibuk sendiri. Kentara banget kalau gue menghindar. Tapi, gue sendiri nggak tau lagi harus gimana. Gue ngerasa jadi pecundang aja karena memulai semua kehancuran ini secara diam-diam.



"Mau ke mana lo Vel?" tanya Bang Kugi nyenggol bahu gue waktu mau naik ke atas.

"Hah? Oh, ngg... itu mau ke depan dulu." Gue sadar dan berjalan ke arah meja makan untuk minum air putih.

"Jangan kebanyakan ngelamun lo. Gue udah merhatiin lo 2 menit diem di tangga mulu." Ujar Bang Kugi sambil melengos pergi ke atas.


Yon, kenapa sih lo masih belum puas nyiksa gue kayak gini? Bahkan kita udah putus. Harusnya sekarang gue bisa hidup dengan tenang, kan?


"DAR!"

Astaga. Gue sadar lagi dari lamunan dan sekarang menemukan sosok Papa di samping gue sambil senyum lebar. Tangannya terjulur ke atas kepala gue dan mengusapnya lembut. "Mau ke mana sih?" tanya Papa santai.

"Oh, itu aku mau ke depan dulu beli martabak Pah. Papa mau?"

"Papa temenin ya?"

"Nggak usah!" gue berseru cepat sambil menggeleng.

Lalu Papa senyum lagi sambil mengusak kepala gue. "Anak Papa udah besar ternyata. Udah nggak mau dibantuin kalau ada masalah ya? Padahal dulu ada PR susah sedikit aja kamu ngadu sama Papa, ngeluh, minta dibantuin."

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang