Can I borrow your shoulder for me to lean on?
I'm getting really tired of all that went wrong.
Because, when you're by my side, I don't feel alone.-Alvio
.
.
.
.
.
Alvio
Gue memandangi ransel yang setengah penuh sambil kembali mengecek barang-barang yang mungkin gue lupa. Sebenernya agak ribet juga sih ya gue bawa ransel. Tapi gimana dong, gue juga harus bawa kaos, handuk sama daleman. Kan kita memang bakal rame-rame tidur di rumah Raina buat berangkat bareng besok subuh.
Dan setelah gue yakin nggak ada barang yang ketinggalan, gue langsung menutup resleting ransel dan menyampirkan sebelah talinya di bahu kanan, sementara tangan kiri gue memegang ponsel dan menenteng jaket denim dekil kesayangan gue. berhubung malam ini juga dingin parah, gue memutuskan pakai beanie hat hitam yang gue beli waktu lagi nemenin Ina beli kado buat anniversary 2 tahunan dia.
Lo beli ini deh Yo, cocok banget kayak penjaga vila.
"Iya iya Chel, gue jemput lo sekarang. Tunggu aja dulu, jangan ke mana-mana." Setelah menutup panggilan yang super singkat-karena Rachel cuma nanya gue masih di mana-gue masukin ponsel ke saku celana. Dan begitu udah ada di ujung tangga, gue langsung menaiki railing tangga dan meluncur dengan kecepatan 2 kali lebih cepat dibanding kalo gue turun tangga dengan normal. Sempurna. Gue mendarat dengan selamat di lantai bawah, seperti yang udah-udah.
"Mau ke mana kamu?" itu suara Papa yang bersumber dari dapur, berjalan ke arah ruang keluarga.
"Mau ke dufan besok, sama Tripdate Squad." Jawab gue santai.
"Gimana sama ujiannya?"
"Lancar, kayak biasa. Kayak gak tau Vio aja." Jawab gue berjalan menghampiri meja pantry untuk ngambil minum. Setelah menegak habis 1 gelas tinggi, gue menghampiri Papa yang lagi duduk di sofa ruang keluarga sambil memegang mug berisi kopi hitam kesukaannya.
Padahal gue belum sampai di sofa. Gue masih berdiri beberapa meter dari sofa yang diduduki Papa, tapi, hati gue tiba-tiba ngerasa pedih. Papa ngelamun dan sorot matanya kosong. Kerutan di pinggir matanya itu, juga kantung matanya itu, gue nggak sadar sejak kapan semakin jelas terlihat. Rambutnya yang dulu berwarna hitam legam, beberapa helai bagian sampingnya mulai terlihat putih. Bahkan meskipun sebenarnya kulit Papa terbilang masih bagus di usia 45 tahunnya, tapi gue nggak bisa bohong kalo gue sedih ngelihat kerutan itu. Kerutan kelelahan karena kerja kerasnya selama ini.
"Hei, ngapain kamu ngelamun di sana kayak patung?"
"Hah, nggak." Gue berjalan menghampiri Papa dan duduk di sebelahnya.
Nggak papa deh gue bohong sekali sama Rachel kalo gue mau langsung berangkat sekarang. Gue cuma pengin menikmati waktu berdua sama Papa sebentar, aja. Kayak gini. Duduk sebelahan sambil nonton channel olahraga, terus Papa berkomentar karena ini dan itu, seperti yang pernah kita berdua lakukan dulu. Dulu banget sebelum gue pakai seragam putih biru dongker.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remorseful [SKY]
Roman pour AdolescentsKalau ada satu kesempatan untuk mengulang masa lalu, satu-satunya masa yang pengin gue ulang adalah masa putih abu-abu. Masa saat gue menyia-nyiakan cinta seseorang, mengabaikan perhatiannya yang berlebihan, dan bahkan meninggalkannya tanpa perasaan...