Forty Four: Being Selfish

508 127 159
                                    

I miss the hours we would spend talking
being open and honest and free
I miss how my heart would breath a sigh of
relief because you brought me peace

I miss the feeling of hope and happiness
and how with you I always felt content

.

.

.

.

.

.

.

.

-Raina



Raina



Gue membuka mata dengan kepala sedikit berat. Belum sepenuhnya sadar, telinga gue langsung menangkap bunyi ponsel yang lupa gue silent semalem. Dan ternyata gue baru inget kalau semalem gue ketiduran setelah merenung panjang. Gue nggak begitu ingat apa yang gue pikirkan semalam. Seperti biasa sih, soal ini dan itu. Gue menyebutnya late night thoughts. Tapi, sepertinya ada satu yang gue ingat jelas tentang late night thoughts itu.

Iyon lupa sama janjinya.



Dia lupa kalau kemarin, jam 5 sore, harusnya kita ketemu di salah satu restoran suki dekat lampu merah Dago. Bahkan gue masih ingat kalau sebelum dia take off dari Bali, dia sempat telepon gue untuk mengingatkan jadwal ketemu kita.

'Awas loh ya kalau Vio jemput kamu. Pokoknya aku bakal tunggu kamu di Husein. Jadwal landing kita beda 2 jam.'

'Tapi itu lama, Yon.'

'Itu nggak selama aku nunggu kamu 8 tahun ini, Na.'

Dan akhirnya gue menyerah. Iyon yang sekarang keras kepalanya semakin gila. Atau mungkin karena memang gue juga menerima? Menerima tawaran untuk ditunggu Iyon di bandara? Gue ingat, kemarin siang gue sebahagia itu. Membayangkan untuk pertama kalinya ketika landing, ada seseorang yang menunggu gue di bandara. Membayangkan ada seseorang yang mengharapkan kedatangan gue. Bahkan, sialnya, gue mengharapkan kejadian kita seperti di drama-drama atau film. Di mana gue akan berlari lalu memeluk Iyon.



Tapi sepertinya Tuhan nggak suka gue berharap terlalu tinggi. Dulu, gue pernah berharap setinggi itu dan nyatanya gue jatuh. Dulu, Tuhan udah kasih gue peringatan untuk nggak berharap apa pun sama manusia karena Dia nggak suka. Jadi, ketika kemarin gue melambungkan harapan terlalu tinggi, Tuhan kasih gue jatuh lagi.

Gue kecewa lagi.

Harusnya gue belajar dari luka lama. Harusnya, gue belajar dari pengalaman dulu. Harusnya, gue belajar dari yang lalu-lalu.

Bahwa gue... gak berhak menggantungkan harapan apa pun sama Orion.



Gue sadar bahwa dering ponsel gue berhenti. Gegas gue melihat kontak si pemanggil, lalu mendesah panjang. Iya, siapa lagi kalau bukan Iyon.

Ternyata dia baru ngechat gue lagi jam 8 malam, mungkin setelah dia sampai ke rumah. Kayaknya dia baru ingat kalau punya janji ketemu sama gue.

Remorseful [SKY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang