[8] New

2.9K 245 50
                                    

(sudah direvisi—🌷)

Selama perjalanan itu aku memperhatikan Yoongi yang terus diam di balik kemudi. Tenang sekali seolah perbincangan dalam pikirannya sendiri lebih menarik. Sesekali dia melakukan rem mendadak karena fokusnya hilang atau salah menyalakan lampu sein. Bergumam kesal ketika pengguna jalan lain menegurnya.

"Kau memikirkan sesuatu?" tanyaku pada akhirnya. Sempat dia terkesiap mendengar suaraku, lalu menggeleng kecil. "Katakan saja, aku mendengarkan. Kau sangat tidak fokus pagi ini."

Aku melihatnya mengedikkan bahu. "Aku hanya...sedang berpikir untuk mengunjungi keluargaku di Daegu, saat liburan natal nanti," gumam pria itu, seperti bimbang untuk membagikan hal yang sedang dipikirkannya kepadaku atau tidak. "Entahlah, belum diputuskan."

Mendengarnya aku tersenyum lebar, antusias mengetahui niat baiknya barusan untuk pulang ke rumah. Kalau aku belum cerita, Yoongi sudah tidak kembali ke Daegu sejak pertama kali dia memutuskan pergi ke Seoul. Walaupun aku tahu versi asli alasannya, selama ini aku tidak pernah mencampuri pilihannya yang satu itu. Aku merasa bukan ada di wilayah yang bisa menyembuhkan rasa itu, seperti hanya dia yang bisa membantu dirinya sendiri mencari jalan keluar dari labirin. Mungkin sudah ditemukannya jalan keluar itu sekarang.

"Ide yang sangat bagus. Kenapa belum diputuskan?" tanyaku, menaikkan alis bertanya-tanya apakah masih ada alasan yang menghentikannya.

"Membayangkan setelah 5 tahun tidak pernah kembali ke rumah. Tidakkah sangat memalukan kalau kau menjadi diriku...untuk menghadapi orang-orang itu?"

"Orang-orang itu adalah keluargamu sendiri, Yoon. Mereka pasti sudah menunggumu pulang selama ini."

"Bagaimana kalau tidak?"

Aku segera menggenggam tangannya yang menganggur di atas kaki. Dia menoleh singkat dan tersenyum tipis, balas menggenggam tanganku erat, seperti memohon menyalurkan energi dan keyakinan atas keraguannya.

"Hyung bilang, ibuku tidak pernah mau melihatku di TV. Dia sering mengabaikanku: pergi dari depan TV atau mengganti salurannya."

"Dia punya alasan sendiri, tapi bukan sesuatu yang buruk. Percaya padaku."

Keputusannya benar. Selama beberapa tahun belakangan dia selalu merayakan pagi natal sendiri, tidak denganku atau siapa-siapa. Pasalnya tidak bisa bersama keluargaku karena ada Jimin. Natal terakhir kali, dia tiba-tiba mengirim pesan kalau ada di gereja dekat rumahku. Aku terkejut ada angin apa dia bisa sampai disana.

Pokoknya hari itu aku mencari alasan untuk keluar rumah. Meminta izin kepada ayah dan ibu tidak sulit, jelas, yang menyulitkan itu Park Jimin. Dia memaksa mengantar ketika kubilang mau belanja beberapa keperluan di toserba. Untungnya ibu berhasil meyakinkan kalau aku bisa pergi sendiri dan sebaliknya menyuruh Jimin membantu memasangkan lampu dapur.

Tak banyak orang datang ke gereja di jam itu, makanya dengan mudah aku menemukan Yoongi di bangku keempat seorang diri. Syalku masih kueratkan meskipun dalam ruangan hangat. Berjalan menghampiri Yoongi tanpa membuat keributan dan mengganggu orang lain yang sedang berdoa disana.

Namun saat tanganku terulur ingin menepuk pundaknya, tiba-tiba yang kutangkap adalah isakan kecil dari pria itu. Bahunya ikut bergetar. Kuurungkan tanganku menyentuhnya ketika sadar dia sedang menangis, di tangannya ada secarik foto seorang wanita paruh baya yang sedang memangku anaknya.

Aku duduk di bangku kelima tepat di belakangnya. Hanya menunggu dalam diam. Menatap punggungnya nanar dan memeluknya dalam bayangan.

~❉~

Min Agust D (✔) REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang