16. Aku ingin melihat tawamu

1K 56 5
                                    

Alya membuang tasnya ke sofa dan menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Ia menutup matanya sembari memijat pelipisnya yang terasa sakit. Sesaat kemudian, sebuah tangan memegang pelipis Alya, memijat pelipisnya dengan lembut.

"Capek ngapain?" Tanya Stevan yang kini memijat pelipisnya.

"Hmm... tau" jawab Alya masih menutup mata.

"Lari? Baca novel? Duduk? Ngobrol sama Arga? Atau sama temen lama?" Tanya Stevan dengan senyum licik.

Mendengar pertanyaan itu,membuat Alya membuka matanya, mendongakkan kepala untuk menatap wajah Stevan.

"Kenapa? Gue bener?" Tanya Stevan masih dengan senyum licik khas miliknya.

"Masih banyak yang belum gue ngerti" ujar Alya kembali menutup matanya.

Sebuah kecupan mendarat di pipi mulus milik Alya, membuat Alya tersentak dan melompat menjauh dari Stevan.

"Ma-macem-macem, g-gue bilang kak Arina lo" pekik Alya yang salah tingakah.

"Gue suka liat lo kalau lagi salah tingkah" ujar Stevan terkekeh puas.

"Dasar Saiko" pekik Alya yang langsung bangkit pergi meninggalkan Stevan.

Kini Alya merebahkan diri di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang di penuhi hiasan bintang. Sinar matahari juga masih menyoroti kamar Alya. Ia memalingkan kepalanya menatap pintu kaca yang memperlihatkan hamparan langit sore kala itu. Matahari yang hendak bergantian tempat dengan bulan, membuat awan-awan mulai berganti warna menjadi jingga. Semua yang ia lihat, selalu berubah ubah. Entah dalam hal baik maupun hal buruk. Apakah dia juga demikian? Akankah ia berubah dalam hal baik? Atau justru sebaliknya? Apakah semua tanda tannyanya tentang Stevan akan segera terpecahkan? Atau ia akan menarik diri dari Stevan?

Lo itu suka sama Stevan Alya!!

Tiba-tiba saja suara Cika memenuhi pikiran Alya, suara yang menyadarkan dirinya akan perasaannya saat ini. Alya menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak sekeras mungkin untuk menenangkan dirinya.

'Saiko! autis! gila! bawel! Jail! Gue harus sadar... dia itu nggak normal' gumam Alya.

Namun semua pikirannya buyar ketika ponselnya berdering dan tertera nama Arina dilayarnya. Dengan sigap ia menjawab penggilan itu.

"H-halo!" Ucapnya dengan sedikit kikuk.

"Hallo! Alya, aduhh sorry gue baru nelfon lo. Soalnya baru dapet waktu yang lenggang, gue juga baru baca Line Stevan. Dia bilang lo mendadak pingsan? Lo pulang malem lagi? Atau mandi malem? Kan udah gue bilang berkali-kali... lo jangan mandi kemaleman, entar penyakit lo kambuh. Lo ingat kan, penyakit lo itu bukan cuma urtikaria, lo juga punya hepatitis. Jadi, lo harus--"

"Kak... orang adiknya kangen juga diomelin mulu" ketus Alya yang merasa telinganya sudah panas karna mendengar ocehan dari Arina.

"Hmm... iya deh iya, lo udah makan?" Tanya Arina dari sebrang sana.

"Belom... masih lama di singapura?" Tanya Alya dengan nada yang agak manja.

"Hmm.. kayaknya sih iya, lagian bagus kali kalau gue lama di sini. Lo kan bisa berduaan sama Stevan" ledek Arina.

"Apaan sih? Masa gue harus serumah sama orang saiko kayak dia?" Tanya Alya sembari melangkah menuju balkon kamarnya, dan duduk di tempat duduk favoritnya.

"Tapi lumayan kali Al... dia ganteng kok" goda Arina.

"Ck.. cepetan pulang kek. Kalau lo lama pulang, entar siapa yang ngomelin gue? Siapa yang gue ajak berantem?" Celetuk Alya.

"Ohh.. jadi lo rindunya rindu berantem bareng gue? Gue kira juga rindu ben--" Arina tak menyelesaikan kalimatnya karna dari sebrang sana ada suara yang memanggilnya yang mungkin saja itu panggilan pekerjaanya.

"Al, udah dulu ya... nanti kalau ada waktu, gue telfon lagi" pamit Arina.

"Eh.. tap--" belum sempat Alya menjawab, Arina susah menutup telfonnya.

"Sibuk banget, katanya cuma 3-4 minggu, tapi udah 5 minggu nggak balik-balik. Ck, nggak konsisten banget" gerutu Alya.

"Ngomel sendiri. Kayak orang gila" tiba-tiba Stevan duduk di samping Alya, membuat Alya hampir terjatuh dari tempat duduknya.

"Ihh dasar saiko, kalo gue jantungan gimana?" Ketus Alya.

Stevan mengedikkan bahunya.

"Tumben lo pake baju rapi kayak gitu? Lo mau jalan bareng Keyra?" Tanya Alya sembari memalingkan wajahnya menatap halaman rumahnya.

"Kalo iya kenapa? Lo cemburu?" Goda Stevan.

"Hah? Ke-kenapa gue h-harus cemburu?" Jawab Alya terbata-bata, karna lagi-lagi Stevan dapat membaca pikirannya.

"Ohh, gue kira lo cemburu, tapi... sebenarnya gue mau jalan bareng lo" kata Stevan membuat Alya melotot tak percaya.

"Wait, wait... gue?" Tanya Alya menaikan sebelah Alisnya.

Stevan mengedikkan bahu.

"Sekarangkan gue milik lo" Kata Stevan membuat pipi Alya merona.

"Lagian bi inah gue larang masak, biar lo mau jalan bareng gue" jelas Stevan terkekeh.

Alya terdiam sejenak, memperhatikan Stevan dengan seksama karna merasa ada sesuatu yang salah dari penampilan Stevan saat itu. Tak lama kemudian, Alya melepaskan tawa yang membuat jantung Stevan berdebar-debar. Pasalnya, ini kali pertama Stevan melihat tawa Alya yang begitu manis, juga memikat.

"Jantung gue rasanya mau lompat keluar liat lo ketawa" ucap Stevan dengan wajah terkejut.

Alya menghentikan tawanya, lalu mengatur pernafasannya.

"Van, coba lo balik bentaran deh" seru Alya.

Stevan pun menuruti perintah Alya.

"Ini lupa lo lepas atau emang lo sengaja? biar orang lain tau, kalau ini barang baru?" Tanya Alya terkekeh, sembari menunjukan label harga yang baru saja dicabutnya dari baju yang Stevan kenakan.

"Untung cuma lo yang liat, kalau nggak, gue pasti jadi bahan tawanya orang-orang nih" ujar Stevan menepuk jidatnya.

"Lagian, nggak liat-liat dulu" Alya bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah masuk ke kamarnya. Tak lupa, ia menutup tirai pada pintu kaca penghubung balkon itu.

"Kampret, kok bisa malu-maluin gini sih? Mau di taro mana muka gue? Eh? Emang muka bisa dicopot? Alllaaah tau laah" gerutu Stevan yang kini juga meninggalkan balkon.

*****

30 menit Stevan menunggu Alya di ruang tengah sembari memainkan ponselnya. Aroma parfum yang begitu wangi mulai tercium oleh Stevan, membuatnya menghirup dan menikmati aroma itu. Ia membalikkan tubuhnya, dan mendapati Alya tengah berjalan menghampirinya. Tepat seperti yang ia pikirkan, Alya lebih cantik jika mengenakan pakaian casual. Membuatnya tak bisa memalingkan pandangan dari Alya, bahkan jantungnya berdebar dengan sangat cepat.

"Gini aja kali ya? Soalnya gue nggak pernah jalan bareng laki-laki kecuali ke toko buku" ujar Alya menyadarkan Stevan.

"Lo mau pake apa aja tetep cantik" jawab Stevan dengan senyuman khas miliknya.

"Bullshit!" Seru Alya membalikkan tubuhnya.

"Beneran, apalagi kalo lo senyum! Kayak bidadari" ujar Stevan.

"Udah ah.. cepetan! Keburu malem" gerutu Alya.

Stevan bangkit dan berjalan mendekati Alya, lalu mengulurkan tangannya menuntun Alya keluar.

"Tapi jangan sampe malem" ujar Alya sinis.

"Siap putri" jawab Stevan dengan deraian tawa.

Merekapun masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah Alya. Mengingat besok adalah akhir pekan, merupakan hal bagus bagi Stevan membawa Alya jalan-jalan berkeliling kota.

Rainfall✔[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang