Alya merebahkan tubuhnya diranjang berwarna abu-abu menghadap ke sebuah pintu kaca yang menghubungkan kamarnya menuju balkon. Ia menatap ke arah pintu itu. Di luar sana matahari telah lelap, berganti dengan bulan yang mengundang kegelapan, ditemani dengan bintang yang berhamburan menghiasi langit malam.
'Bulan, punya beribu-ribu bintang yang senantiasa setia menemaninya. Takkan membuat sang bulan merasa kesepian disana. Bahkan para bintang tak pernah iri melihat bulan yang memiliki cahaya lebih terang dari mereka. Tapi, semakin lama satu per satu bintang akan mulai hilang, dikala bintang tersebut telah kehabisan energi. Dan hingga pada suatu titik, bulan akan sendirian didalam kegelapan' gumam Alya.
"Lo banget kayaknya Al!" Tiba-tiba Arina datang dan duduk dipinggiran tempat tidur Alya, membuat Alya terkejut hingga membangkitkan diri dari rebahannya.
"Bukan Arina namanya kalau masuk ke kamar orang pake ketok pintu dulu" Ujar Alya sembari memutar bola matanya malas.
"Lo sih, keasikkan ngomong sendiri, gue jadi nggak tega ganggu" jawab Arina berderai tawa.
Alya kembali merebahkan diri dan mengacuhkan Arina yang sedang menertawakan dirinya itu. Kini ia mengunci pandangannya pada sebuah foto yang terletak diatas nakas. Sebuah foto yang memperlihatkan 3 orang perempuan saling merangkul dan saling bahagia, foto itu adalah foto Alya bersama para sahabatnya.
'Bulan kayak gue, yang sekarang sendirian tanpa mereka yang menemani dalam kegelapan. Mereka kini jadi kenangan yang akan gue ingat setiap hujan kembali meneteskan kenangan gue' batin Alya.
Tiba-tiba Arina mengambil foto itu dan memasukkanya kedalam laci nakas Alya.
"Bukan sahabat namanya kalau masih iri, bukan sahabat namanya kalau cuma karna salah paham mereka ninggalin lo, bukan sahabat namanya kalau mereka lebih milih cowok, bukan sahabat namanya kalau mereka nyakitin lo mulu. Sahabat itu mereka yang bisa bikin sahabat jadi proritas, bukan malah cowok yang diprioritasin. Sahabat itu menghibur bukan nyakitin. Sahabat itu cahaya lo dalam kegelapan, bukan malah kegelapan itu sendiri. Sahabat itu akan selalu ada bersama rintangan yang lo hadapin, bukan malah lari satu-satu ketika lo masuk ke zona bahaya"
"Bacot!"
"Tapi gue bener kan? Selama ini mereka ngelakuin itu ke lo? Enggak kan? Mereka cuma bisa bikin lo nangis mulu"
"Kak, pliss jangan ikut campur masalah gue!"
"Gue cuma mau nyadarin lo, kalau mereka itu nggak pantes lo kenang Al, kalau lo masih inget mereka, lo nggak akan bahagia. Mereka itu bukan saha--"
"Lo juga sama kayak mereka. Sejak kapan lo perduli ke gue? Sejak kapan lo ada buat gue? Lo cuma perduli sama kerjaan lo kan? Lo baru dateng ketika gue benar-benar ada di ujung tali, dan lo sama sekali nggak ngebantu gue Na. Gue nggak perlu omongan lo Na, gue masih bisa urusin hidup gue! Lo cukup urusin kerjaan lo sama Bayu pacar lo!" Ucap Alya datar, membuat Arina tertegun.
"Iya, gue sadar selama ini gue sama kayak mereka. Tapi Al, gue mau berubah buat lo Al, gue mau narik lo dari ujung tali itu Al, gue... gue mau lo jadi Alya yang dulu, Alya yang selalu senyum, bukan Alya yang selalu nangis" ujar Alya kembali duduk di samping Alya.
"Gue nggak butuh lo Na, gue masih bisa urusin hidup gue sendiri" ketus Alya.
"Gue tau, gue kakak yang nggak baik buat lo! Gue kerja juga buat lo Al! Gue belain begadang demi nerusin perusahaan papa juga cuma buat lo! Gue mau yang terbaik buat lo. Karna cuma lo yang gue punya saat ini Al" kini suara serak dari mulut Arina terdengar di telinga Alya. Tanpa melihat wajah Arina pun, Alya sudah tahu bahwa kini, Arina pasti menangis.
Alya bangkit, berjalan menuju balkon kamarnya. Seperti itulah yang terjadi bila Alya bertemu Arina, selalu bertengkar dan selalu saja kata-kata Alya menyayat hati Arina. Tak pernah lagi ada canda tawa antara Arina dan Alya, selepas ayah mereka yang meninggal 4 tahun lalu. Yang tertinggal hanyalah kesedihan dan keegoisan.
Alya duduk menatap kegelapan disebuah tempat duduk yang seperti ayunan, tempat duduk favorit Alya. Dari balkon itu, ia dapat melihat beberapa lampu yang berumber dari rumah lain, karna memang balkon itu berada cukup tinggi. Selalu saja, kegelapan menelan dirinya kedalam emosi yang berakhir menyakiti kakaknya. Ia sangat membenci kegelapan, ia sudah jauh terseret kegelapan, jauh dari cahaya. Ingin rasanya ia menangis saat itu, tapi ia tak bisa menumpahkan air matanya, ingin rasanya ia mengeluarkan amarahnya, tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Bahkan, untuk bahagia pun ia tak tahu harus bagaimana. Kini ia hanya merenung, menatap kosong kegelapan dan secerca cahaya yang bintang pancarkan.
'Gue keterlaluan? Tapi itu yang gue rasain! gue egois, tapi gue nggak tau harus gimana lagi. Jangankan untuk menghilangkan ego, untuk menangis pun tak bisa' gumam Alya sembari memeluk bantal kecil yang ada di tempat duduknya itu.
Selang beberapa menit kemudian, bi inah, asisten rumah tangga Alya memasuki kamar Alya. "Permisi, Arina manggil Alya" suara bi inah membuat Alya sadar dari lamunannya.
"Kenapa nggak manggil sendiri? Perasaan tadi dia disini bi" tanya Alya heran.
"Dibawah ada Bayu Al" jawab bi inah yang membuat Alya ber-oh ria. Bayu Aditya adalah lelaki yang telah menjadi kekasih Arina selama 5 tahun.
"Tapi kan biasanya biar ada kak Bayu, kalau butuh juga bakalan manggil sendiri bi, lain kali nggak usah mau disuruh kayak gitu bi. Bilang aja Alya yang larang" jelas Alya.
"Iya, iya Alya. Tapi dibawah bukan cuma Bayu Al. Bibi juga nggak tau siapa namanya, bibi cuma disuruh manggilin Alya aja" kata-kata bi inah, membuat Alya penasaran.
"Bi inah turun duluan aja, Alya bentaran lagi turun. Nanti kalau kak Arina nanya Alya, bilangin aja Alya masih cari novel, bentaran lagi turun! Ya bi" ujar Alya diikuti anggukan kecil bi inah.
'Perasaan gue kok nggak enak! Apaan ya?' Gumam Alya sembari melangkah keluar dari kamarnya.
Suara riuh mulai terdengar di telinga Alya yang kini sedang menuruni tangga. Terlihat banyak orang yang berada di ruang tamu, membuat Alya heran, karna jarang banyak tamu yang berkunjung ke rumahnya kecuali ada acara tertentu. Alya mulai menampakkan diri di ruang tamu.
"Alya, sini" Arina menepuk tempat duduk kosong yang berada di sampinya. Alya pun datang dan mendaratkan diri di tempat duduk itu.
"Alya! kenalin nih, adik gue" ujar Bayu sembari menunjuk seorang lelaki yang duduk di sampingnya. Aura lelaki itu merupakan aura tak enak yang Alya rasakan.
"Stevan Mahendra" ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangannya kearah Alya.
'Naluri gue ternyata bener' batin Alya yang langsung bangkit meninggalkan ruang tamu.
"Al?? Lo kemana?" Pekik Arina yang berdiri memandang Alya yang kini menaiki anak tangga.
Alya tak menjawab, ia terus melangkahkan kakinya dan mengunci dirinya di kamar.
A/N : chapter 2 akhirnya selesai... masih ngantung kan? Yoo sedikit bocoran (dikiiit aja) Alya bakal serumah sama Stevan. What?? Gimana rasanya, kalau kalian serumah sama orang yang kalian benci? Kalian bakalan tetep benci, apa malah jatuh cinta?😂 Jangan lupa Voment☆ ya!!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainfall✔[Completed]
Novela Juvenil"Hujan yang selalu membawa sejuta kenangan manis dalam setiap tetesnya" --Alya Kaori-- *Cerita ini bukan cerita tentang hujan yang selalu membasahi bumi, namun tentang kenangan yang membasahi ingatan Alya. Tentang kenangan mani...