11. Pelukan yang membuatku nyaman

1.1K 50 4
                                    

Matahari pagi memasuki ruangan melalui celah jendela, memaksa menerobos kelopak mata Alya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari pagi memasuki ruangan melalui celah jendela, memaksa menerobos kelopak mata Alya. Membangunkan Alya dari tidur panjang, membuatnya sadar dari mimpi-mimpi yang berasal dari masa lalu, membuatnya harus melangkah maju melewati rintangan yang menghadang.

Sebuah alunan musik, terdengar di telinga Alya. Sebuah melodi yang mengisahkan hidupnya, sebuah melodi yang membuat hatinya menjadi tenang, juga sebuah melodi yang membawa kenangan. Musik itu membuat Alya membuka matanya, menatap langit-langit berwarna abu-abu yang sangat asing di matanya. Ia membangkitkan tubuhnya, menatap sekelilingnya dan menyadari bahwa dirinya kini berada di tempat yang tak seharusnya ia berada disana.

"Lo harus istirahat!" Seru Stevan.

Alya menoleh ke arah Stevan yang tengah duduk di hadapannya, sembari membaca sebuah novel.

"Lo nggak sekolah?" Tanya Alya.

"Nggak! Gue mau jaga lo di sini" jawab Stevan yang masih memfokuskan diri pada novel yang dibacanya.

"Gue bisa jaga diri gue sendiri"

"Hah? Bisa? Lo belum bangun ya? Lo bilang lo bisa jaga diri lo? Kalau lo bisa jaga diri, lo nggak mungkin sampe pingsan kan? Nggak mungkin lo mau pulang sampe malem kan? Dan lo masih bilang lo bisa jaga diri? Lo gila Al" ujar Stevan dengan nada tinggi sembari membangkitkan diri menatap Alya.

"Lo kok malah emosi sih?" Tatap Alya heran.

"Lo masih nanya juga, kenapa gue emosi? Lo mau tau kenapa gue emosi?" Tanya Stevan.

Alya terdiam.

"Karna gue perduli sama lo! Karna gue nggak mau lo kenapa-kenapa! Karna kak Arina nitip lo ke gue!" Bentak Stevan. "Karna gue sayang sama lo" sambung Stevan.

Jantung Alya memompa darahnya dengan cepat, wajahnya terasa panas, matanya seperti berbinar, seakan-akan kini ia tengah terbang di langit biru bersama Stevan. Sebuah perasaan muncul di benak Alya, sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah perasaan yang seharusnya tidak ia sadari, perasaan yang seharusnya ia abaikan, perasaan yang seharusnya ia pendam dalam-dalam. Namun kata 'sayang' yang keluar dari mulut Stevan, membuat Alya semakin ingin menghindarinya.

"Lo tanggung jawab gue Al! Gue nggak bisa liat lo kayak gini! Lo haru--"

"Stop it!" Pekik Alya.

"Lo nggak perlu perhatiin gue, bukan gue yang memerlukan perhatian lo. Lo harusnya buang rasa perhatian lo ke gue, gue nggak butuh perhatian lo. Keyra yang butuh perhatian lo dan lo harusnya ngasih perhatian itu ke Keyra, bukan gue. Lo harusnya nggak ngasih harapan ke orang lain, saat posisi lo masih punya perasaan sama dia. Gue tau, lo suka sama Keyra kan? Gue tau Van! Lo bilang lo sayang gue? Gue tau lo cuma manfaatin gue sebagai pelampiasan. Gue tau!!" jelas Alya yang bangkit pergi meninggalkan Stevan.

Stevan hanya menatap pundak Alya yang semakin lama hilang di balik pintu.

*****

Cika Areva : Al? Gimana keadaan lo? Udah mendingan? Maaf, gara-gara gue, lo kemarin harus pulang malam deh😣 jadi kambuh deh sakit lo! Bentar gue jenguk lo ya, bareng Gilang.
Alya kaori : lebay lo Cik! Dari SMP kan gue udah kena urtikaria dingin. Gue udah baikan kok. Ngak usah repot-repot.
Cika Areva : nggak, pokoknya bentar pulang sekolah, gue mau jenguk lo titik! Nggak pake alesan. Sekarang, gue belajar dulu byee :)

Alya hanya menggelengkan kepala saat membaca pesan dari sahabat lamanya itu. Cika memang orang yang selalu penuh perhatian kepadanya, bahkan ia menganggap perhatian Cika itu melebihin siapapun. Bahkan melebihi perhatian Arina.

'Tok!tok!tok'

Suara ketukan pintu kamar terdengar jelas di telinga Alya, membuatnya menoleh ke arah pintu kamarnya. Terlihat sosok lelaki muncul dari balik pintu dengan membawa nampan yang berisi makanan dan obat-obatan.

Alya mengeryitkan dahi, menatap heran Stevan. Selalu saja, setiap kali mereka beradu mulut, Stevan selalu berakhir dengan tetap menjaga Alya dan memperhatikan Alya. Tak pernah sedikitpun raut wajah yang menunjukan rasa kecewa, ataupun marah tergambar di wajahnya. Dia selalu saja bersikap manis dihadapan Alya, membuat Alya semakin muak.

"Al, lo makan dulu, terus lo munim obat" ujar Stevan yg meletakkan nampannya di atas nakas.

"Lo kenapa sih tetep perhatian ke gue? Perasaan kita tadi adu mulut, dan lo juga udah kepancing emosi kok" tanya Alya.

Stevan terdiam menatap Alya lekat-lekat.

"Lo kenapa malah ngeliatin gue kayak gitu? Lo kasian sama gue? Sorry Van, kalau lo ngelakuin ini semua cuma karna lo kasian ngeliat gue, mending lo buang rasa kasian lo.  Gue nggak mau di--"

"Sttt! Lo kenapasih? Bawel banget hari ini!" Stevan membungkam mulut Alya, membuat Alya berhenti berbicara.

"Buka mulut lo" seru Stevan yang kini siap menyuap Alya.

Alya menautkan alisnya.

Stevan memutar bola matanya "bilang A"

"Sini, gue bisa makan sendiri" ujar Alya yang hendak meraih piring makanan dari Stevan.

"Nurut sama gue sekali aja!" ujar Stevan.

"Udah bukan sekali lagi Van! Tapi udah yang kesekian kalinya" jawab Alya malas.

"Sekali lagi deh! Cepetan buka mulut lo, entar keburu dingin nih" paksa Stevan.

Alya memutar matanya dan menuruti apa perkataan Stevan. Ini sangat aneh bagi Alya. Pasalnya, ia jarang mau menuruti perintah orang lain, walaupun telah di desak beberapa kali. Namun, entah mengapa, hal itu tak berlaku untuk Stevan. Ya! Selama ini ia selalu menuruti kemauan Stevan, walaupun harus di desak. Namun ini cukup mengganggu pikirannya.

"Lo jangan ngelamun terus, entar keselek" ujar Stevan sembari mencolek pipi Alya.

"Bentar Cika sama Gilang mau jenguk gue" ujar Alya.

"Lo curhat?" Tanya Stevan diikuti dengan senyuman jahilnya.

"Ihh lo itu ngeselin banget sih" ketus Alya.

"Hmmm... main-main kali Al" Stevan memberikan suapan terakhir pada Alya.

"Lo kenapa?" Tanya Alya yang baru saja menyadari bahwa Stevan kini menatapnya dengan mata yang agak sayu.

Stevan tersenyum manis, lalu membelai lembut rambut Alya. Ia menatap wajah Alya yang terlihat kebingungan itu. Dan sebuah kecupan yang mendebarkan jantung Alya, mendarat di pucuk kepalanya. Stevan mengembangkan senyumannya ketika melihat ekspresi Alya yang begitu salah tingkah.

"Gue nggak suka lo deketan sama Gilang" ujar Stevan lembut.

Alya mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mencerna ucapan Stevan.

"Gilang masih punya dendam ke gue" lanjut Stevan.

"Maksud lo? Dendam apaan?" Tanya Alya.

"Belum waktunya gue jelasin ke lo. Ada waktu yang tepat buat jelasin semuanya ke lo. Sama halnya lo juga butuh waktu buat cerita ke gue, alasan kenapa lo udah nggak pernah main ke rumah Cika lagi. Sekarang gue minta lo jangan terlalu deket sama Gilang" pita Stevan yang kembali mendekap tubuh Alya.

"Maksud lo apaan sih?" Alya memberontak berusaha melepaskan dekapan Stevan. Namun dekapan Stevan selalu saja kuat, seakan-akan ia tak ingin melepaskan dekapan itu. Apapun yang terjadi.

Alya hanya terdiam dalam dekapan itu. Seakan-akan ia sudah terbiasa dengan dekapan itu, dan dekapan itu kini terasa nyaman untuknya. Sepertinya tempat itu akan menjadi tempat kesukaanya.

 Sepertinya tempat itu akan menjadi tempat kesukaanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rainfall✔[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang