26. Jatuh ke dalam jurang tak berdasar

890 53 0
                                    

Alya berlari tanpa melihat orang-orang yang berjalan di sekitarnya. Ia kacau saat ini. Sesak yang ia rasa, sakit yang ia dapati, keterpurukan yang ia jalani. Perasaan yang mulai ia sadari, perasaan yang mulai ia sukai, perasaan yang mulai ia percayai kini hancur. Semua itu ternyata sebuah kebohongan. Hanya sebuah kalimat yang tak menjadi kenyataan. Hanya kalimat rayuan untuk mengambil hatinya.

Bruuk!

Tanpa sengaja ia menabrak seseorang, membuat orang tersebut jatuh. Ia mengulurkan tangan hendak membantu orang tersebut berdiri, namun tangisnya tambah menjadi ketika ia melihat orang yang ditabraknya adalah Alan.

Alan berdiri, ia bertanya-tanya mengapa Alya menangis seperti itu? Apa yang membuat Alya menangis? Setahu Alan, Alya adalah perempuan kuat yang pernah ia kenal. Perempuan yang selama ini belum pernah ia lihat menangis. Namun kini, dihadapannya ia menangis dengan sangat kacau. Begitulah perempuan. Sekuat apapun mereka menyembunyikan sesuatu, namun mereka tetaplah perempuan yang memiliki hati rapuh.

"Lo kenapa?" Tanya Alan menghambur pelukan khawatir kepada Alya. Tanpa Alya sadari ada rasa sakit yang terasa di dada Alan saat melihat wanita yang kini dalam dekapannya itu menangis.

Alya tak dapat berkata apa-apa ia membalas pelukan Alan dengan sangat erat, ia tak mampu mengucapkan perasaan yang ia rasakan saat ini dengan kata-kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alya tak dapat berkata apa-apa ia membalas pelukan Alan dengan sangat erat, ia tak mampu mengucapkan perasaan yang ia rasakan saat ini dengan kata-kata.

Di luar sana, hujan mulai turun. Membawa kenangan Alya bersama Stevan. Membagikan kenangan itu kepada semua orang. Hujan seakan-akan senada dengan Alya yang kini rapuh dan hancur. Walaupun Alya di dalam gedung dan terlindungi dari hujan, namun pipi Alya tetap saja basah. Terbasahi oleh hujan yang mengalir di matanya. Hujan yang menghujani hatinya. Bukan menghujani air, namun menghujani duri.

Alya mulai melepas dekapannya. Begitu pun dengan Alan. Ia melepas dekapan itu lalu menyeka air mata yang membasahi pipi Alya. Terlihat mata yang nampak selalu berbinar kini menjadi merah, sendu, juga sembab. Hati Alan seakan teriris pisau saat melihat Alya seperti ini.

"Siapa? Siapa yang buat lo nangis?"

Alya menggelengkan kepalanya.

Hujan diluar sana masih deras menghujani bumi. Masih setia membasahi jalanan, masih senantiasa memberikan air untuk tumbuhan, masih dengan sabar menyegarkan udara walaupun banyak yang mencibir keberadaanya.

Alya dan Alan berjalan menuju beranda sekolah. Tempat yang luas juga tak terlalu banyak siswa yang berteduh disana. Tempat yang dekat dengan tempat parkir, tempat yang cocok untuk mereka menunggu hujan reda. Alan kembali melemparkan pertanyaan yang belum dijawab oleh Alya.

"Lo kenapa? Kok tiba-tiba nangis?"

Alya masih diam tak menjawab pertannyaan itu.

"Lo tau... ada beberapa hal yang nggak bisa gue ngerti kalau lo cuma diam"

"Tapi, diam itu bisa membuat orang-orang terhindar dari masalah. Lo tau? Hujan yang turun, semakin lama akan memenuhi lubang di jalanan. Tapi tak akan bisa mengisi lubang di hati" ujar Alya dengan suara paraunya.

"Lo suka sama hujan kan? Lo itu emang sama kayak hujan. Lo selalu sabar dan nggak pernah membenci orang-orang yang pernah nyakitin lo. Contohnya Cika. Lo masih mau terima Cika sebagai sahabat lo. Tapi yang perlu lo ingat, semua orang memang memiliki hati yang baik, tapi lo nggak bisa bersikap baik terus menerus karna ada yang namanya titik puncak kesabaran"

Alya mengangguk pelan.

"Lo kenapa? Cerita ke gue"

"Jatuh pada tangan yang salah, jatuh pada hati yang salah, jatuh pada jurang yang tak memiliki dasar. Sama kayak hujan. Selalu berusaha membawa pelangi, namun yang ia dapat hanya cibiran dari manusia" jawab Alya dengan mata sendu yang menatap Alan.

"Stevan?" Tanya Alan pelan.

Alya mengangguk.

"Lo suka sama Stevan?"

Alya mengangguk

"Gue kira lo nggak pernah suka sama dia. Gue kira malah dia yang godain lo" ujar Alan lirih.

"Awalnya gitu. Tapi, gue terjebak dalam perangkap"

Alan melihat kalung yang malam itu ia berikan pada Alya.

"Kalau lo butuh sandaran, inget ada gue. Kalau lo sakit hati, curhat ke gue. Kalau lo tersesat dalam kegelapan, gue ada sebagai cahaya lo. Lo emang harusnya nggak jatuh cinta sama Stevan. Dari awal, dia itu ancaman buat lo. Lo terlalu ambil resiko"

"Gue ambil resiko karna gue percaya semua hal yang kita inginkan itu didapatkan dengan perjuangan dan kerja keras. Gue nggak tau kalau ternyata semua yang dia bilang hanya kebohongan semata"

Alan memeluk tubuh Alya dengan erat. Membiarkan hujan menghujani mereka dengan kenangan-kenangan yang telah hujan pilih walaupun itu kenangan pahit. Membiarkan dingin yang hujan bawa menyengat kulit mereka. Membiarkan semuanya mengalir bersama arus yang semakin deras.

Alan mengambil jaket di dalam tasnya, lalu menggunakannya ke tubuh Alya. Ia takut jika hujan akan berpengaruh untuk Alya, karna ia tahu bahwa hujan tak bersahabat dengan Alya walaupun Alya sangat menyukai hujan. Tangan Alya yang dingin digenggamnya kuat-kuat agar hangat.

"Kapan gue bisa lama main sama hujan lagi ya?" Ujar Alya.

"Yang gue ingat, terakhir kali lo lama main hujan, lo malah pulang pake ambulance" ujar Alan berderai tawa.

"Ahh.. lo kok malah ngingetin itu sih? Malu tau" Alya ikut tertawa.

"Mau ikut ke resto gue? Sekalian minum coklat panas" ajak Alan yang ia tahu takakkan ditolah oleh Alya.

"Lo tau banget apa yang nggak bisa gue tolak"

Semakin lama, curah hujan semakin berkurang, mendung mulai pergi, cahaya matahari mulai muncul bersama dengan pelangi yang berada di antara awan-awan.

Alan membawa Alya pergi dari sekolah menuju resto miliknya. Mereka sudah lama tak berkunjung kesana. Sangat lama, entah kapan pastinya.

Sedangkan Stevan dari gerbang sekolah, melihat Alan membonceng Alya dengan motor merah miliknya. Entah apa itu, tapi sesuatu yang sangat berharga untuknya hilang. Ada yang kurang dengan perasaannya. Sedangkan jok mobil di sampingnya, Keyra telah beberapa kali menarik lengan Stevan dengan manja dan rengekan untuk segera diantar pulang.

Mereka tak tahu, kenapa semuanya hancur berantakan, disaat mereka telah sadar dengan perasaan mereka masing-masing. Kali ini, mereka menghancurkan semuanya. Hanya karena emosi, dan api cemburu, semua hancur berantakan. Ditambah lagi Stevan yang belum sempat mengatakan kebenaran tentang semuanya, juga Alya yang belum mengatakan alasan mengapa ia tak pernah kerumah Cika lagi. Padahal mulai dari peristiwa itu terjadi, Stevan selalu menanti kedatangan Alya di rumah Cika dengan sabar dan penuh harapan. Namun berujung buntu. Alya yang tak kunjung datang, juga perasaan Stevan yang mulai pudar.

Namun takdir berkata lain. Stevan kembali dipertemukan dengan Alya di satu sekolah. Perasaan yang dulu tertanam, akhirnya kembali tumbuh namun masih menguncup. Perasaan itu belum mekar. Masih memerlukan bantuan hujan untuk menyirami perasaan itu dengan cinta agar mekar dengan anggun dan wangi. Begitu pula dengan Stevan. Ia masih perlu mendorong perasaanya agar dapat membuka pintu hati Alya lebih lebar. Yang jadi penghalang saat ini adalah, rasa takut kehilangan yang membuat Stevan belum berani mengatakan hal yang sebenarnya sangat penting untuk didengar Alya.

Rainfall✔[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang