Chapter Sixteen

25 4 0
                                    

~Lorenzan Barzelius~

Ujian semester ganjil akhirnya tiba. Gue sudah lebih dari siap untuk menghadapinya karena yang gue ingat dari pesan Pak Miki-kepala sekolah gue-, orang siap itu sudah pasti berani, tapi kalau orang berani belum tentu siap. Terlebih lagi karena batin gue juga nggak merasakan tekanan dari perasaan cemburu yang akhir-akhir ini sering gue pendam.

Gue merasakan diri gue yang baru akhir-akhir ini. Kata orang, cap playboy yang dulu melekat dinama dan diri gue, pelan tapi pasti mulai terkikis.

Dan entah kenapa, gue senang menyambut perubahan gue ini, mungkin karena perubahan gue mendapat tanggapan positif dari orang lain.

Tidak ada yang spesial dari ujian semester ini. Hanya ada buku dan jadwal ujian, terus menerus seperti itu.

Gue juga break dulu dari The Bliss dan mereka memakluminya tanpa banyak protes. Tapi, setelah gue mulai bekerja lagi, gue yakin job gue pasti numpuk.

Sejak pertama kali gue menjadi trainee dan pengeluaran majalah dengan cover gue, gue banyak mendapatkan job dari sponsor yang mau memakai gue sebagai iklannya dan itu membuat rekening gue meledak karena tarif biaya seorang model-yang sudah menetap- seperti gue, bisa dibilang mahal.

The Bliss benar-benar sebuah perusahaan yang berkelas karena gue sering ketemu klien bule atau yang jelas bukan orang Indonesia.

Terkadang gue bingung akan jumlah nominal uang gue di bank. Gue bingung untuk apa uang sebanyak itu sementara ayah dan ibu gue selalu memberikan uang pada gue.

Akhirnya gue memutuskan untuk menabungnya dengan pikiran mungkin akan berguna saat gue kuliah nanti. Karena gue bekerja pun pada awalnya karena Reve, dan lambat laun gue mulai menyukai pekerjaan gue.

Sebentar lagi tahun baru. Semua model The Bliss di undang untuk datang ke sebuah pub di Hotel Indonesia.

Gue yakin pasti pub ini benar-benar berkelas karena berada di Hotel Indonesia.

Kami di undang untuk merayakan tahun baru bersama dan gue memutuskan untuk mengajak Reve.

Dalam hati gue berharap, semoga Reve tampil cantik malam itu. Semoga nggak seperti saat datang ketempat karaoke di The Bliss, karena kali inj adalah dalam lingkup umum, semua orang berkelas bisa dengan mudah mendatangi pub itu. Hanya orang berkelas.

Maka dari itu disini-lah gue. Di ruang tamu rumah Reve, menunggunya yang tengah mempersiapkan diri dikamar.

Begitu gue mengajak Reve setelah selesai semua pelajaran yang di ujikan, Reve langsung menyetujuinya dengan alasan ayahnya tidak bisa pulang malam ini dan akan datang besok pagi.

Reve berpikir daripada merayakan tahun baru sendiri tanpa kehadiran ayah, dia memutuskan untuk ikut dengan gue.

Gue mengenakan jas hitam semi formal dengan list berwarna putih disisi kerahnya yang membalut kemeja putih dengan dua garis hitam yang saling bertumpu disaku kemeja gue.

Gue menggulung lengan baju gue sebatas bawah siku, gue juga mengenakan jeans hitam dan sepatu kets hitam. Tidak terlalu santai ataupun formal.

Tak lama kemudian, gue mendengar suara sepatu ditangga. Spontan gue menengadah dan mendapati Reve yang cantik banget sedang menuruni tangga. Tapi tetap saja kesan sederhana tampak dari tampilannya.

Reve mengenakan dress hijau tosca di atas lutut dengan kumpulan manik di bagian lehernya. Sebuah wedges-kalau tidak salah- berwarna putih tersemat disepasang kakinya. Rambutnya tetap digerai namun diberikan aksen gelombang dibawahnya. Reve mengenakan riasan wajah, tapi sedikit ada yang mengganjal menurut gue.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang