Chapter Fourty

39 4 2
                                    

Reve mengerutkan dahinya samar. Perlahan-lahan kesadarannya kembali, ia membuka kelopak mata yang terasa berat.

Begitu kelopak matanya terbuka, pandangannya langsung tertuju pada langit-langit berwarna putih polos di atasnya. Hmm? Bukankah ini langit-langit kamar rawat? Batinnya.

Rumah sakit?!!

Reve tersentak dan spontan melihat keadaan dirinya. Baru saja ia menoleh ke sisi kanan tubuhnya, pandangan Reve jatuh pada seorang pria yang tertidur di tepi ranjang pembaringannya. Pria itu adalah Renzan yang tertidur dengan bantalan tangan untuk kepalanya.

Bagaimana bisa aku ada disini?!? Batin Reve panik. Namun, begitu melihat wajah Renzan yang tengah tertidur pulas, rasa panik Reve melunak.

Diam-diam Reve mengamati wajah Renzan. Wajah itu tidak banyak berubah, bahkan gaya rambutnya pun masih sama seperti dulu. Hanya saja garis tegas wajahnya yang menunjukkan kedewasaannya lebih terlihat saat ini.

Bagaimana kabarmu, Renzan? Apa semuanya baik-baik saja? Mengapa kamu bisa ada disini dan mengapa kita bisa bertemu lagi?

Reve menggerakkan tubuhnya perlahan. Sangat amat berhati-hati, berharap agar Renzan tidak terbangun. Dan berhasil, Reve berhasil turun dari ranjang tanpa membangunkan Renzan. Reve menatap wajah yang tanpa sadar sangat di rindukannya itu beberapa saat, sebelum akhirnya ia berjingkat menuju pintu kamar.

Suara hujan deras dan petir terdengar memasuki indra pendengaran Reve, membuatnya menoleh ke arah jendela dan melihat langit pagi hari ini sangat gelap, hujan tampak turun dengan deras di luar.

Pandangan Reve beralih pada pendingin ruangan yang masih menyala. Ia menghela napas, merutuki diri karena masih saja peduli pada pria yang telah menyakitinya ini.

Reve kembali melangkahkan kakinya ke arah lemari kecil di sudut kamar dan mengambil selimut disana. Ia pun menyelimuti Renzan dengan perlahan. Setelah memastikan Renzan tidak terbangun, Reve pun pergi meninggalkan Renzan sendiri.

                                            * * *

Sementara itu di tempat lain, Nina yang baru saja menyelesaikan uji CT-Scan nya berjalan di lorong rumah sakit dibantu dengan dua kruk yang dihimpit kedua ketiaknya. Ia membutuhkannya untuk membantunya berjalan karena luka-luka yang belum sembuh sepenuhnya.

Nina baru saja selesai bertanya pada resepsionis rumah sakit mengenai Lorenzan Barzelius, walinya. Ia cukup terkejut karena hasilnya, ia menemukan satu kamar rawat atas nama Lorenzan.

Apa Renzan juga sakit? Sehingga dia berada di ruang rawat? Batin Nina khawatir.

Nina berhenti di depan sebuah kamar rawat. Setelah memastikan nomor dan namanya sesuai dengan yang Nina cari, Nina langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.

Renzan membuka matanya karena mendengar suara pintu terbuka. Ia terkejut melihat Reve sudah tidak ada di ranjang pembaringannya.

Spontan Renzan menegakkan tubuh dan merasakan sebuah selimut jatuh dari punggungnya. Renzan melihat selimut itu, dan menyadari Nina berada di sebelahnya. "Bukan lo yang nyelimutin gue, kan? " tanyanya cepat dan mendesak.

Nina tergagap. "Emang kenapa? "

"Bilang aja kalo bukan lo yang nyelimutin gue!!!"

Nina mengerjap mendengar Renzan marah. Ia terkejut. "Kalo gue yang nyelimutin lo kenapa?! Iya! Gue yang nyelimutin lo! Terus kenapa?! " sahutnya kesal.

Bahu Renzan terkulai. Ia kembali bersandar di sandaran kursi tempatnya menjaga Reve tadi. Sebenarnya ia tidak berniat untuk tidur, ia hanya memakai tangannya sebagai bantalan untuk melihat wajah Reve yang tengah tertidur pulas di dekatnya.

Setelah Reve berjalan cepat menjauhinya tadi malam, Renzan memutuskan untuk mencari Reve ke seluruh penjuru rumah sakit jika di perlukan. Memang cukup melelahkan bagi Renzan, tapi semua rasa lelah itu terbayar saat akhirnya ia menemukan Reve di lorong gudang alat kebersihan.

Renzan menemukan Reve dalam kondisi Reve tertidur di atas lututnya, karena kepala Reve yang terkulai ke samping, spontan Renzan menahannya.

Renzan menatap wajah Reve yang di penuhi air mata. Ia menghela napas panjang lalu berlutut di depan Reve, menuntun kepalanya menuju pundaknya dan menyelipkan tangannya ke balik kaki Reve perlahan, lalu dalam sekali tarikan, ia menggendongnya menuju ruang rawat pasien atas namanya.

"Lo kenapa, sih?!! " tukas Nina kesal.

Renzan menghela napas, menatap Nina enggan. "Udah sehat? " tanyanya memutuskan untuk menghentikan Nina mendesaknya.

Nina menunjukkan kedua kruk-nya. Menandakan ia belum sepenuhnya sehat.

"Oh iya, tadi gue lihat jas sneli dokter, dan gue sempat liat namanya. Revendish Avogadro. Tadi gue denger suster-suster ngomongin dokter itu pulang sama siapa, ya? " ujar Nina mengingat-ingat. Ia mengerutkan kening saat melihat wajah Renzan berubah kesal.

"Dokter Edward... " jawab Renzan pelan.

Nina menjentikkan jarinya. "Iya, Dokter Edward!" serunya. "Eh, lo udah tahu? "

Renzan mengangguk samar. "Gue udah ketemu.. "

Serta merta Nina membelalakkan matanya mendengar jawaban Renzan. "Waah.. Serius lo?!?  Jangan-jangan, dia dokter yang meriksa gue waktu itu?" gumamnya pada akhir kalimatnya. "Jadi, karena cewek itu, lo bentak gue tadi? "

"Nin, lo beneran orang yang nyelimutin gue? " tiba-tiba Renzan mengulang pertanyaannya.

Nina menghela napas, seolah lelah menjawabkan pertanyaan yang jawabannya sama berkali-kali. "Iyaaa.. " jawabnya berbohong. "Jangan bilang, lo berharap cewek itu yang nyelimutin lo? Waah.. Sayang sekali, karena dia udah lupa sama lo. Buktinya, dia ninggalin lo disini.. Ck, menyedihkan.. " tukasnya menyebalkan.

Renzan berdecak. "Kayanya mulut lo udah sehat buat ngurusin urusan orang.. " tukasnya datar. Ia bangkit berdiri. "Istirahat yang banyak, Nin.. Gue mau pulang.. "

"Terus gue gimana?!! " protes Nina kesal.

"Lo bisa pake tenaga lo buat protes itu, kan? " Renzan berhenti di depan pintu. "Jangan melewati batas, Nin.. Lo harus tahu itu.. " ucapnya yang kemudian pergi meninggalkan Nina sendiri.

"Heh!! Renzan!! Dammit!! " maki Nina pada Renzan yang sudah pergi meninggalkan nya, bahkan tanpa menoleh ke belakang.

                                            * * *

Nina : buktinya dia udah ninggalin lo disini, ck. Menyedihkan..

Kayanya kata-kata itu yang paling pas buat Nina, bukan buat Renzan.. 😁😊

Stay tune....

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang