Jerry meletakkan tas sekolahnya di atas meja belajar yang berukuran besar karena ia mempunyai hobi membaca. Ia menghempaskan napasnya beriringan dengan tubuhnya yang dihempaskannya ke atas kasur berukuran kingsize miliknya.
Lagian kenapa lo ribet-ribet suka sama cewek orang, sih?
Kalimat dari Zafran tadi masih terngiang jelas dipikirannya. Setengah tahun yang lalu ia baru menyadari perasaan sukanya pada Reve, perasaan itu berdasarkan karena Jerry akhirnya menemukan seorang gadis yang berbeda dari yang lain.
Seorang gadis pintar dan sederhana yang mampu membuat Jerry menutup mata akan pacar dari gadis itu, yaitu salah satu orang dari The Famous Boy~Renzan~.
* * *
~Jerry Fazra~
Gue menghela napas saat kalimat Zafran tadi mengusik pikiran gue. Sebenernya bukan karena kalimat itu aja gue terusik, tapi karena tadi gue liat Renzan yang tiba-tiba mencengkeram kerah Zafran. Ada apa? Pikiran gue bertanya-tanya.
Malam ini rumah gue sepi. Gue tinggal di rumah ini sama kakak pertama gue, kakak ipar gue, dan keponakan gue. Abang gue masih kerja, sementara kakak ipar dan keponakan gue pasti udah tidur.
Gue tinggal di Jakarta untuk sekolah. Rumah asli gue sebenernya ada di Palembang tapi gue memutuskan untuk ikut sama abang gue.
Gue punya temen deket, namanya Zafran Johans. Dia temen deket gue semenjak gue pindah ke Jakarta. Terkadang gue lebih merasa nyaman dirumah Zafran. Menurut gue dia beruntung karena punya kakak yang umurnya nggak jauh beda, dan juga punya adik cowok, sementara gue, keponakan aja baru pinter ngomong.
Ucapan Zafran kembali terngiang dipikiran gue. Gue kembali menghela napas. Gue baru menyadari perasaan gue pada Reve setengah tahun yang lalu, tapi gue sadar bahwa gue keduluan Renzan. Menurut gue perasaan suka ini udah terlalu lama untuk gue simpan.
Mungkin ada saatnya gue mengungkapkan perasaan gue ini. Tapi gue sendiri juga nggak tau kapan saatnya. Gue hanya merasa nggak suka Renzan~yang suka nyakitin perasaan banyak cewek~ yang jadi pacar Reve. Gue merasa Reve terlalu baik untuk Renzan.
Entahlah. Gue menutup mata gue dengan lengan tangan sambil merenungi banyak hal. Sebuah pertanyaan melintas dipikiran gue. Apa gue tampak menyedihkan?
* * *
~Revendish Avogadro~
Malam ini rumah gue sepi. Ayah gue masih kerja, abang gue kuliah diluar negri, dan ibu gue.. udah pergi. Pergi yang nggak akan pernah kembali. Gue menghela napas panjang.
TING!
Sebuah dering notifikasi memasuki macbook yang sedari tadi gue pandangi. Gue langsung membuka email gue dan membuka inbox. Terdapat sebuah pesan masuk.
Setelah pulang sekolah tadi gue emang lansung menyisihkan foto-foto Renzan dan Jerry lalu mengirimkannya ke email agensi yang meminta gue. Dan inilah balasan dari mereka, "kedua subjek pemotretan benar-benar bagus dan fotogenik. Kami bingung untuk memilih salah satunya karena masing-masing subjek memiliki ciri khas tersendiri. Jadi kami memutuskan, agar kamu yang memilih subjek untuk coverboy. Besok jawabanmu kami tunggu. Hah?! Besok?!" Gue membacakan pesan masuk dari agensi tadi.
Gue menghela napas panjang. Kenapa harus gue yang milih? Tapi kayaknya gue nggak perlu pusing-pusing milih, gue hanya perlu ngajak mereka berunding dan tinggal mereka yang menentukan sendiri.
Oke. Sudah gue putuskan. Gue menutup macbook dan merebahkan diri di atas kasur empuk gue. Rumah ini hanya ditinggali oleh gue, ayah gue, dan beberapa pembantu yang bekerja disini. Gue punya kakak cowok, namanya Johann Fredrich. Kalo nama gue di ambil dari ilmuwan kimia, beda lagi dengan nama kakak gue, nama dia di ambil dari matematikawan karena mendiang ibu gue menyukai matematika. Aneh ya, keluarga gue.
Ibu gue meninggal setelah genap setahun gue lahir didunia. Beliau meninggal karena kecelakaan mobil. Karena saat itu gue baru satu tahun, gue nggak pernah inget wajah ibu gue dan nggak inget apa aja yang pernah gue lakuin sama beliau. Gue cuma tau, wajah beliau dari foto, dan menurut gue wajah beliau agak mirip bule. Akhirnya, aksen wajah itu menurun ke gue dan kakak cowok gue.
Semenjak ibu gue meninggal, ayah gue sedikit berubah jadi pendiem. Beliau jadi sering ngambil shift malem. Sebenernya gue pun nggak begitu ngerti tentang pekerjaan beliau yang ternyata juga sama kayak pekerjaan orangtuanya Renzan.
Sebelum ibu gue meninggal, ibu gue merekam suaranya yang lagi sekarat akibat kecelakaan di dalam mobil, beliau berpesan pada kami untuk hidup sederhana sekaya apapun kami kelak. Dan pesan itu selalu diterapin ayah gue pada kami. Akhirnya gue begini, sederhana meskipun sebenernya keluarga gue kaya. Tapi gue menyukainya, gue nyaman dengan kesederhanaan gue, simple, dan nggak perlu ribet kayak temen-temen gue kebanyakan. Gue juga nggak ngerasa minder atau iri karena sebenernya gue juga mampu.
Kesederhanaan gue ini akhirnya dapat menarik hati seseorang. Dia Renzan. Nama panjangnya Lorenzan Barzelius. Gue sempat kagum karena ada nama ilmuwan kimia lain selain gue. Renzan itu playboy dan famous, Dia juga kaya, Pinter berantem, suka bolos, dan yang terakhir punya banyak mantan. Mantannya nggak nanggung-nanggung sampe kakak kelas pun dijadiin PACAR.
Gue suka geleng-geleng kepala kalo denger nama dia disebutin dan jadi hotnews bagi kaum cewek. Nggak ada habisnya mereka ngomongin Renzan, dan gue bingungnya tetep aja banyak yang suka meskipun Renzan udah banyak nyakitin perasaan cewek.
Katanya sih, 'Renzan itu manis, kalo udah mutusin, dia akan nyariin taksi buat mantannya, dibayarin, dan dipastiin pulang dengan selamat', 'Renzan itu keren, kalo udah mutusin, dia akan tetep akrab dan nggak pernah menghina mantan-mantannya' dan masih banyak lagi kalimat yang memuja Renzan.
Akhirnya, gue sebagai anggota klub mading bagian pembuatan mading pun memutuskan untuk mengangkat topik mengenai The Famous Boy disekolah gue. Di saat itulah pertama kali gue mengenal Renzan saat gue mau mewawancara dia. Gue emang nggak memungkiri bahwa Renzan ganteng dan keren. Itu sih, relatif, kan? Sesuai selera. Tapi gue melihat sesuatu yang beda dari dia. Entah itu apa, gue merasa penasaran dengan kehidupannya sebagai playboy.
Sebenernya gue punya sebuah rahasia yang nggak diketahui sama orang lain selain keluarga gue sendiri. Gue... gue bisa denger pikiran orang lain. Gue bisa denger apa yang mereka pikirkan, apakah mereka bohong, gue bisa tau semuanya. Kata ayah gue, kemampuan gue ini menurun dari mendiang ibu gue. Awalnya gue memang merasa terbebani, saat gue nggak mau tau apa-apa, tapi pada kenyataannya gue tau, atau saat gue nggak mau peduli mereka bohong atau nggak, tapi pada kenyataannya gue tau. Makanya waktu gue SD dan SMP, gue memutuskan untuk menutup rapat telinga gue dengan headset karena dunia gue begitu berisik.
Tapi begitu SMA, gue udah mulai terbiasa. Terbiasa mengacuhkan pikiran orang lain dan mendengarkannya di saat gue butuh aja. Gue nggak akan menjaga jarak dengan orang-orang yang pernah ketahuan nggak suka sama gue didalem hatinya, tapi gue akan evaluasi diri gue sendiri dan membuat gue intropeksi diri. Bahkan Renzan pun nggak tau hal ini.
Soal hubungan gue sama Renzan yang udah berjalan satu tahun, gue belajar banyak tentang kehidupan orang populer disekolah. Gimana rasanya liat pacar sendiri dikerubungin banyak cewek. Bukannya gue nggak cemburu, yah.. sebagai manusia pasti wajar kan ngerasain hal itu dan gue berusaha nggak menampakkannya ke permukaan saat gue cemburu.
Dan cara gue memendam perasaan cemburu gue membawakan perubahan besar pada Renzan. Dia mulai menghindari adik kelas yang suka ngumpul kalo Renzan dan Alvin abis main basket atau ekskul paskibra. Dia juga mulai menghindari keramaian cewek, padahal sebelumnya dia suka dikerubungin sama cewek.
Masalah kecemburuan Renzan pada gue karena Jerry emang berdasar. Renzan tau kalo Jerry suka sama gue, dan gue juga tau. Tapi Jerry selama ini pun hanya bersikap biasa aja sama gue dan gue nggak pernah denger gosip Jerry suka sama siapa. Jadi gue santai aja nanggepin kecemburuan Renzan~pura-pura nggak tau. Jangan kasih tau Renzan, yaa..
Tapi begitu gue denger pikiran Renzan pada suatu hari, Dia bisa ngambil kamu dari aku kalo aku lengah sedikit aja. Gue baru menyadari satu hal. Sepertinya kali ini Renzan akan tulus menyayangi gue, nggak kayak sebelumnya.
Tiba-tiba ponsel gue berdering panjang membuat gue tersentak dari pikiran gue. Gue mengambil ponsel gue dan melihat sang penelfon yang ternyata adalah orang yang sedang gue pikirkan sejak tadi.
"Halo, jan.."
"Halo, rev.. lagi ngapain?"
Gue tersenyum, gue yakin dia mau ngomong sesuatu tentang tadi sore. "Nggak ngapa-ngapain, baru abis dapet balesan dari agensi.." ujar gue.
"Jadi, siapa yang menang? Aku, kan?!" Tanyanya dengan nada membanggakan diri.
Gue tersenyum, "agensinya bingung mau milih yang mana, jadi besok kita harus ngumpul buat berunding, ya.."
"Oke.." jawabnya singkat. "Hmm..Bisa tolong jangan deket sama Jerry dan Zafran..?" Tanyanya pelan. Gue tau kenapa Renzan minta tolong bukannya langsung ngelarang gue. Sebelumnya gue udah pernah bilang, gue nggak suka dilarang-larang dan ternyata Renzan juga sama, jadi jalan tengahnya adalah 'minta tolong'. Gue ngerti.
"Hmm.. bisa. Emang kenapa??" Tanya gue penasaran.
"Mereka nggak baik.." jawabnya. Aku tertawa pelan. "Kok ketawa??" Tanyanya heran.
"Mereka baik, kok.." tandas gue santai.
"Aku takut kamu lebih nyaman ke dia.." gumamnya yang dapat gue denger. "Nggak, mereka nggak baik. Jadi, tolong yaa..." suaranya terdengar jelas memohon.
"Iya.. aku tolongin.." jawab gue antusias. "Tenang aja, jan.. Aku juga ngerti, lah.." gue tertawa pelan."Kamu kok jadi nggak pede gini? Biasanya kamu ngerasa kayak nggak bakal ada yang bisa ngalahin kamu.."
Renzan nggak langsung ngejawab. "Haha.. iya, ya?"
Gue tertawa ringan, " tenang aja. Kamu cuma perlu percaya aku, sama percaya diri kamu sendiri.." ucap gue menenangkannya.
"Iya, maaf.." jawabnya. "Nggak bakal ada yang bisa ngalahin aku di hati kamu!" Tukasnya.
Gue tertawa, "nah, gitu dong! Kayak Lorenzan Barzelius yang biasanya!" Seru gue antusias. Gue baru melihat sisi lain seorang RENZAN saat ini. Seorang RENZAN yang merasa takut kehilangan pacarnya disaat banyak cewek lain disana yang ngantri buat dijadiin pacar sama dia.
"Hmm.. aku boleh nanya sama kamu?" Tanyanya lagi.
"Apa?"
"Semua tentang kamu... aku udah tau semua, kan? Nggak ada yang aku nggak tau? Nggak ada yang kamu tutupin, kan?"
DEG
Gue berusaha berpikir cepat, "udah kok. Nggak ada rahasia lain. Kamu udah tau soal Susi yang dulunya sahabat aku, kamu udah tau aku anak piatu, kamu udah tau aku nggak pernah dandan.. tapi kayaknya ada satu hal yang nggak kamu tau, deh.."
"Apa??" Sergahnya cepat.
Gue menyengir, "kalo aku.. sebenernya... sayang banget sama cowok yang namanya Lorenzan Barzelius itu.." ujar gue menghiburnya, padahal gue pun berbohong. Gue hanya nggak mau ada yang tau selain keluarga gue.
Di seberang sambungan Renzan tertawa pelan, "aku juga udah tau yang itu.." tanggapnya.
"Emang kenapa kamu nanya kayak gitu?" Gue jadi penasaran.
"Ah, nggak. Zafran kayaknya cuma mau mancing aku marah. Nggak perlu dipikirin, cuma hal biasa aja, kok.." jawabnya.
Gue mengangguk mengerti. "Ooh.."
"Ya udah.. kamu istirahat sana. Aku yakin pasti tadi kamu ngurusin fotonya, ya.." ucapnya.
Gue nyengir, "hehe.. iya.."
"Ya udah, istirahat. Good night, rev.."
"Have a nice dream, jan.." balas gue karena kami emang selalu begitu. Sambungan telefon terputus. Gue langsung mengikuti ucapan Renzan untuk beristirahat setelah menyingkirkan macbook dari atas kasur gue.
Good night, jan..
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Teen FictionSeorang cowo yang sangat populer dikalangan cewe ini memiliki banyak masalah dalam kisah cintanya. Lorenzan Barzelius namanya. Namun saat ia duduk dibangku SMA, seorang cewe berparas cantik nan cuek yang bernama Revendish Avogadro berhasil memikat h...