Chapter Thirteen

29 7 0
                                    

Jerry membuka matanya perlahan. Ia merasakan hawa panas di sekitar tubuhnya. Spontan tangan Jerry menyentuh keningnya dan mendapatinya dalam keadaan panas. Jerry mengerang kesal karena kondisi tubuhnya yang tidak baik hari ini. Setiap hembusan napas yang keluar dari hidungnya membawa hawa panas dari dalam tubuhnya.

"Kak Jerry!! Mana buku aku?!" Suara Excel pagi ini yang menggelegar membuat Jerry merutuk di dalam hatinya. Excel membuka pintu kamar Jerry dengan kasar. "Kak! Mana buku aku?!" Rupanya ia belum melupakan kemarahannya tadi malam.

"Di meja.." Jawab Jerry dengan suara serak.

Excel menoleh ke arah Jerry dengan heran. "Kak Jerry kenapa?!" Tanyanya ketus mencoba untuk tidak tampak peduli. Namun begitu Jerry tidak menjawab, Excel segera melompat ke atas kasur Jerry dan meletakkan tangannya pada kening Jerry.

Jerry menepis tangan kecil Excel. "Apaan sih?"

"Bunda!!! Kak Jerry sakit..!!!" Excel berteriak dengan kencangnya membuat Jerry meringis karena ketenangannya terusik.

Tak lama kemudian, kakak ipar Jerry – Kak Ina – muncul di ambang pintu kamar. "Jer? Kamu sakit?" Tanyanya lembut. Kakak Jerry – Kak Renald – pun turut masuk ke dalam kamar adiknya.

Kak Renald menyentuh kening adiknya. "Panas."

"Ya udah, nanti kakak siapin makanan, minum obat, terus istirahat aja, ya.." Ucap Kak Ina sambil beranjak pergi.

Kak Renald menatap Excel – anaknya. "Kamu sih tadi malem marah-marah, jadinya Om Jerry langsung beliin." Ujarnya bergurau.

Jerry berdecak. "Gue enggak mau dipanggil Om, Kak.." Tandasnya malas.

Kak Renald tertawa. "Ayo keluar, Excel. Dia mau istirahat." Ujarnya sambil menggendong Excel pergi keluar dari kamar Jerry.

Jerry menghela napas panjang.

***

Sementara itu ditempat lain, Alvin memacu motor ninja berwarna merah hitam miliknya menuju kawasan perumahan mewah Cyber Emerald Town. Ia ingin segera mendapat penjelasan atas semua pertanyaan yang ada dibenaknya.

Seorang petugas keamanan membuka pagar saat Alvin sampai di depan pagar rumah mewah itu. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya, menghubungi seseorang yang masih bertualang di alam mimpinya.

Renzan mengerang malas di atas kasurnya saat mendengar ponsel yang ia letakkan di atas nakas berbunyi. Tangannya menggapai pinggir nakas lalu masih dalam memejamkan mata, Renzan menerima panggilan telepon yang mengganggunya saat ini.

"Jan! Bangun! Gue ada di bawah sekarang!"

Spontan mata Renzan terbuka dan melihat nama sang pemanggil. Alvin. Ia tahu apa maksud kedatangannya sepagi ini ke rumahnya dan pada hari minggu. "Sebentar." Ucap Renzan sambil memutuskan panggilan dan menelantarkan ponselnya begitu saja di atas kasur.

Renzan mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan lalu berjalan keluar kamar menuruni tanggan dan melewati ruang tamu yang luas. Ia membuka pintu rumahnya dan mendapati Alvin berada di pelataran rumahnya.

"Gue tau maksud kedatangan lo, tapi apa harus sepagi ini?" Renzan menguap.

Alvin menoleh. Mendapati wajah Renzan yang tampak tidak berdosa, ia sedikit geram. "Lo apain Reve tadi malem?" Tanya Alvin tajam.

Renzan tersenyum. "Lo nanya begitu seakan-akan lo pacarnya." Sahutnya.

"Kedatangan gue ke sini sebagai temen Reve, dan gue serius." Tanggap Alvin tegas.

Renzan menguap lagi sambil berjalan menuju sebuah kursi taman lalu duduk di atasnya. "Masih pagi, Vin.. Duduk dulu, duduk," Ucapnya santai. Alvin memilih bersandar di jok motornya. "Reve cerita sama lo?"

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang