Chapter Fourteen

40 8 2
                                    

Aliran air mineral melewati tenggorokannya. Jerry baru saja menghabiskan obat yang harus ia minum. Hari senin ini terasa berat karena dua ujian dadakan di selenggarakan. Ia harus melewati dua ujian itu dengan susah payah karena kondisi tubuhnya yang kurang sehat.

Jerry menghela napas. Gelas yang ia pakai masih dalam genggamannya. Ia harus sehat besok, harus. Karena besok adalah perjalanan observasinya menuju Museum Wayang bersama Reve. Kesempatan untuk bersama Reve kembali datang kepadanya.

Jerry menghempaskan tubuhnya ke atas kasurnya, menarik selimut lalu mulai memejamkan matanya berharap kondisinya akan lebih baik besok.

***

~Jerry Fazra~

Suara weker di atas nakas membuat gue terbangun. Gue menghela napas lega karena kondisi gue lebih baik pagi ini setelah sakit dari hari minggu pagi. Gue bersiap-siap untuk pergi ke sekolah karena hari ini gue dapat tugas observasi dari kepala sekolah untuk meliput Museum Wayang di daerah Kota Tua.

Gue mengenakan jas almamater berwarna putih dengan list hitam di dekat kerah, mempersiapkan segala sesuatunya yang harus gue bawa dan berangkat menuju sekolah. Selama perjalanan–di antar Kak Renald–gue selalu memberi sugesti kepada kondisi tubuh gue bahwa gue baik-baik saja.

Begitu sampai di sekolah, gue melihat Reve yang juga tengah bersiap-siap dengan kamera yang berada di genggamannya. Sebenarnya tugas observasi ini untuk lomba artikel antar sekolah yang akan di ikuti oleh salah satu anak dari klub Karya Ilmiah Remaja. Hanya saja, gue dan Reve yang dapat tugas untuk observasi. Sebenarnya gue juga bingung kenapa gue dan Reve yang dipilih, tapi gue nikmati aja, lah..

"Rev, udah siap?" Tanya gue sekaligus menyapanya. Reve juga mengenakan jas almamater yang membalut seragam kami.

Reve menengadah dari kameranya. "Udah. Oh, iya. Lo yang wawancara pengelola, kan?" Tanya Reve. Gue mengangguk. "Lo tunggu disini dulu, gue mau ngambil lensa lagi." Ucapnya cepat, kemudian berjalan cepat meninggalkan gue.

Gue menyapu pandang ke seluruh arah pelataran sekolah.

"Good Luck!"

Seruan itu membuat gue menoleh mendapati Renzan dan Alvin berjalan ke arah gue. Renzan tersenyum tapi gue enggak tau apa maksud dari senyum itu.

"Good luck buat observasinya dan juga.. Jagain Reve, ya? Dia pacar gue soalnya."

Gue mengerjap berusaha untuk mengendalikan diri. Gue tersenyum menyambutnya. "Tanpa lo minta juga bakal gue lakuin." Timpal gue tenang.

Alvin di tempatnya berdecak takjub. "Ngeri, ih.."

Renzan mengangguk-angguk. "Oke. Yah, semoga lo cukup tau diri aja, sih." Dia menepuk pelan pundak gue dan langsung pergi dengan Alvin.

Gue mendengus jengkel. Namun tiba-tiba gue merasakan hawa panas dari hembusan napas gue tadi. Spontan gue langsung menyentuh kening gue dan mendapati rasa hangat yang berlebih dari suhu tubuh gue sebelumnya.

"Ada apa, Jer?" Tanya Reve tiba-tiba.

Gue menyengir. "Pagi ini agak panas, ya?" Jawab gue untuk mengalihkan perhatian.

Reve menatap gue dengan menyelidik. "Lo sakit, ya, Jer?"

Gue tersentak. "Enggak."

"Bohong." Cetus Reve langsung.

Aduh, kenapa dia bisa tahu kalo gue bohong?

Bola mata gue menangkap sebuah mobil Range Rover berwarna putih milik sekolah. Bukan mobil dinas sekolah, tapi milik sekolah untuk mengantar jemput murid yang berkeperluan di luar sekolah seperti kami.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang