Chapter Thirty One

42 3 6
                                    

Perlahan, kelopak mata Renzan bergerak. Seluruh kendali pada tubuhnya kembali. Begitupun dengan seluruh rasa sakit yang terasa di bagian vital tubuhnya. Dadanya. Tepatnya jantungnya.

Hanya erangan yang lolos dari mulut Renzan meskipun ia mencoba sekuat tenaga untuk berbicara sepatah kata.

"Bang, lo udah sadar?? "Tanya Randall tiba-tiba. Ia berdiri disebelah pembaringan Renzan sambil memeriksa denyut jantung Renzan yang mulai stabil.

Renzan kembali mengerang.

"Jangan ngomong dulu, bang.. Gue panggil dokter.. "Sela Randall yang mengetahui maksud Renzan. Ia menekan bel disebelah nakas. "Lo harus diperiksa lebih lanjut.. "

Diam-diam Renzan merutuk adiknya dalam hati.

Beberapa dokter pun datang kemudian,  memeriksa kondisi Renzan dan seluruh vitalnya.

Randall berjalan menjauhi Renzan untuk berbicara dengan dokter sementara Renzan hanya bisa menatap Randall dengan gelisah.

Ya, Renzan tidak tahu sudah berapa hari ia terbaring dirumah sakit. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia menghabiskan waktunya tanpa usaha.

"Berapa... "Ucap Renzan akhirnya setelah melawan tenggorokannya yang terasa kering. "Berapa lama gue disini..?  ”tanyanya pada Randall setelah adiknya kembali dari berbicara dengan dokter.

Randall menuangkan air putih dan membantu Renzan meminumnya.

"Bukannya lo nanya keadaan lo gimana.. "Gerutu Randall.

"Berapa hari?? "Ulang Renzan tak sabar. Mendesak Randall agar segera menjawabnya.

Randall mendesah, "tiga hari.. " Jawabnya yang kemudian melihat jam tangannya. "Sekarang udah masuk hari ke empat.. "

Renzan tersentak, "empat hari?!?! " Praktis ia mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Namun karena lukanya belum pulih sepenuhnya, ia meringis menahan sakit. "Gue harus pergi, ran.."
Ucapnya sambil berusaha melepaskan slang infus dari tangannya.

"Bang... "Randall menahan gerakan tangan kakaknya. "Sekarang lo masih berstatus pasien. Kak Reve nanti dulu lah.. "Ucapnya meminta pengertian. "Gue tau semuanya. Gue tau alasan lo berubah, gue tau cita-cita lo. Gue tau semuanya berubah karena Kak Reve, kan?? "

Renzan terdiam mendengarnya. Ia tidak menyangka, adik yang selama ini berubah menjadi pribadi yang dingin sejak kematian orangtua mereka, mengetahui semuanya. Adiknya mengetahui permasalahannya dan bahkan alasan ia mengubah tujuan hidupnya.

"Gue tau lo mau pergi ke London. Tiketnya ada sama gue. Tepat setelah lo dirawat, pegawai lo dateng dan nganter tiketnya kesini.. "Ujar Randall serius. "Dulu kita pernah bareng-bareng mau jadi dokter, kan? Tapi lo berubah karena Kak Reve.. "

Renzan menghela napas panjang. Dalam hati ia mengaku salah. "Kalo gitu, apa pelaku penembakan gue udah ditangkep? Gue nggak sempet liat apa-apa.. "Ujarnya mengubah pembicaraan.

"Karena lo orang penting, polisi jadi gerak cepat untuk menemukan pelakunya. Gue jamin mereka malu sama lo, kalo nggak bisa nangkep pelakunya. Akhirnya, dihari kedua, mereka nangkep pelaku yang hampir kabur ke Kalimantan.. "Ujar Randall panjang.

"Polisi melakukan segala cara agar pelakunya bicara, siapa yang menyuruhnya? Dan apa motifnya.. " Sambung Randall. "Namanya Anton. Umurnya setahun dibawah lo. Pernah sekolah militer. Nilai tertingginya menembak. Anton nggak mau bicara sama sekali saat interogasi sampe sekarang. Untuk pertama kalinya dia bicara, kalimatnya 'masih untung saya plesetin pelurunya jadi nggak kena jantung.. ' cuma itu. Dan belum bicara lagi sampe sekarang.. "

"Banyak pejabat yang merasa terancam dengan kehadiran lo. Gue yakin, salah satu diantara mereka ada yang ngutus Anton buat nembak lo.. "

Renzan terdiam mendengarnya. "Gue nggak aman.. "

Randall mengangguk membenarkan, "ya. Lo nggak aman. Lagian, kenapa juga lo kabur dari semua pengawal lo abis reuni? Kan jadi begini... "

"Sebenernya gue kurang suka dikawal. Tapi dampaknya begini, ternyata.. " Tanggap Renzan nelangsa.

Randall membenarkan posisi duduknya. "Menurut gue, lo masih butuh dua minggu lagi dirawat disini.. "

Renzan berdecak, "gue nggak bisa nunggu se-lama itu.. "Rutuknya. "Nanti pagi gue mau pulang. Lo nggak bisa ngelarang gue. Gue udah merasa lebih baik dari sebelumnya. Dan gue juga mau nemuin pelakunya.."ujarnya tidak sabar.

Randall melihat ponselnya, sebuah notifikasi pesan memasuki ponselnya. "Gue tau siapa dalang dibalik semua ini. Johanes Andreas Sthefan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.. "Ucapnya "wah.. Gue kira dia baik.. " Komentarnya skeptis.

Renzan tersenyum, "udah gue duga dia melakukan penggelapan dana APBN yang informasinya gue terima dari temen gue dipemerintahan. Tapi gue nggak berniat ngurus kasus ini karena KPK udah ngambil alih.. "

"Dia kira lo yang ada dibalik KPK.. " Cetus Randall yang mulai mengerti posisi kakaknya dalam situasi ini. "Gue rasa, Anton kenal sama lo, bang.. " Ucapnya sambil membaca pesan diponselnya. "Oh iya, lo baru siuman. Jangan banyak ngomong dulu. Harus banyak istirahat.. "

"Heh, gue udah nggak apa-apa.. "Tukas Renzan kesal.

"Kita omongin masalah ini lain kali.. " Sahut Randall menyebalkan.

Renzan melotot tidak terima di atur adiknya sendiri.

Randall mengacuhkan Renzan sambil membuka buku kedokterannya. Sementara Renzan mengumpati berbagai macam sumpaj serapah pada Randall dari pembaringannya.

Mulutnya udah sehat banget.. Batin Randall geli.

Renzan berdecak malas. Dalam hati ia tetap bertekad untuk pergi menemui Reve di London besok. BESOK. Ia melirik ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu mengambilnya. Ia tersenyum penuh kemenangan karena ia akan memesan tiket pesawat lagi dengan ponselnya.

"Bang, jangan coba kabur.. "Celetuk Randall tiba-tiba.

Renzan tersentak, "siapa juga yang mau kabur?! "Elaknya kesal meskipun sebenarnya kalimat Randall benar.

Rencana menyusul Reve ke London harus tetap terlaksana bagaimanapun kondisinya saat ini. Ia sudah membuang banyak waktu hanya dengan melakukan perawatan intensif dirumah sakit.

Harus! Seru Renzan tak bisa diganggu gugat.

                                     * * *

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang