Chapter Seventeen

38 4 0
                                        

~Lorenzan Barzelius~

Gue galau berat. Berat seberat-beratnya berat. Sejak tadi gue sudah berada dibalik kemudi mobil gue, hanya saja gue belum berniat untuk menjalankannya pulang menuju rumah.

Gue membiarkan atap mobil gue terbuka agar udara dingin dapat memasuki rongga hati gue.

Gue menatap langit malam menjelang pagi di atas gue. Beberapa petasan dan kembang api masih melintas meskipun malam sudah semakin larut.

Gue sendiri, setelah sebelumnya Reve meninggalkan gue. Gue tahu persis gue yang salah, gue tahu dia sakit hati, entah kenapa gue sulit untuk meminta maaf.

Sebenarnya hanya satu kata tapi sulit untuk dikatakan. Gue menghela napas panjang, keadaan ini menyesakkan.

Gue mengambil ponsel didalam saku jas gue. Sebuah nomor gue hubungi, nada tunggu terdengar sebentar, "halo?"

"Vin.." panggil gue padanya. "Lo dimana? Nggak tidur?"

Terdengar Alvin menghela napas. "Gue ditempat parkir MOI. Nggak bisa tidur lah.." jawabnya pelan.

Gue paham ada sesuatu.

"Kenapa? Lo sama Aurel?" Tanya gue heran.

Kali ini Alvin tidak langsung menjawab pertanyaan gue. "Tadinya gue sama dia, tapi gue mutusin dia.."

"Haah?!" Sentak gue kaget. "Mutusin?! Kenapa?" Gue benar-benar tidak habis pikir dengan Alvin yang tiba-tiba memutuskan hubungan dengan Aurel.

"Kita ketemuan aja, Jan.." cetus Alvin tiba-tiba. "Lo nggak ngantuk, kan?"

"Nggak. Ada sesuatu yang mau gue ceritain juga.." jawab gue. "Ketemuan dimana?"

"Kafe gue.." jawab Alvin, "gue tunggu, Jan.." lanjutnya lalu memutuskan panggilan.

Gue menyimpan kembali ponsel gue dan menyalakan mesin mobil yang langsung menderu halus.

Gue tarik persneling dan gue melesat pergi meninggalkan tempat parkir Hotel Indonesia. Gue nggak tahu harus berbuat apa. Gue malu. Gue malu untuk bertemu Reve. Gue nggak punya muka karena udah dua kali, DUA KALI nyakitin dia. Bahkan gue terlalu malu untuk meminta sebuah maaf darinya.

Jalan besar yang gue tempuh sudah tidak seramai jam sebelumnya, hanya menyisakan banyak sampah ditepi jalan.

Gue menuju sebuah mall besar tempat kafe milik Alvin, tempat kami bertemu.

Tak lama kemudian, gue sampai disana. Gue melihat Alvin yang sudah menunggu dengan sebuah minuman dihadapannya. "Vin.." tegur gue.

"Lo udah dateng?" Sapa Alvin. Wajahnya terlihat mendung hari ini.

Gue duduk dihadapannya. "Jadi, ada apa dengan lo dan Aurel?"

Alvin menghela napas. "Akhirnya gue ngambil keputusan untuk mutusin dia.." kalimatnya membuat gue nggak ngerti. "Waktu itu gue minta saran sama Reve, buat mengakhiri gangguan dari Susi ke Aurel itu sebaiknya gue mutusin dia atau nggak. Dan Reve ngasih saran untuk ikut kata hati gue, dan kata hati gue, ya ini. Mutusin dia.." ujarnya panjang.

"Lo serius?" Tanya gue nggak yakin.

Alvin mengangguk, "gue yakin setelah Aurel putus sama gue, Susi nggak bakal ganggu dia.." jawabnya. "Ini untuk kebaikan dia. Gue nggak tega sama Aurel yang selalu diganggu Susi. Jadi, meskipun gue sayang banget sama dia, gue terpaksa mutusin dia.."

"Lo ngasih tahu Aurel alesan lo mutusin dia?" Tanya gue.

Alvin menggeleng pelan, "waktu itu gue cuma bilang, 'kalo menyayangi seseorang tanpa alesan, memutuskan seseorang juga bisa tanpa alesan..' dia nggak terima sebenernya. Secara, gue baru aja abis nonton, makan, dan main timezone. Tapi gue tetep maksa buat putus.." jelasnya. "Dia nggak ngatain gue brengsek atau jahat. Tapi gue tahu dari matanya, dia ngatain gue begitu. Entahlah, gue ngerasa hampa banget.."

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang