SATU-1

10.8K 285 6
                                    

Aku datang ke keluarga ini sehari setelah Bunda pergi meninggalkanku. Rumahku terbakar habis bersama beberapa rumah lainnya. Bunda dan aku terkurung bersama api yang berkobar di dalam rumah. Setelah lelah berusaha mencari jalan keluar dan tidak menemukannya, sambil terbatuk-batuk bunda menyeretku ke bawah tangga untuk berlindung dari keganasan api.

Bunda mendekapku di dadanya erat-erat. Badannya bergoyang maju mundur sambil melantunkan dzikir tanpa henti. Aku panik ketika menyadari pelukan bunda mengendur. Aku mengguncang-guncang tubuh bunda tanpa hasil, kepalanya malah terkulai ke bahuku. Aku menangis meraung-raung memanggil bunda, tak kuhiraukan rasa sesak yang mencekik paru-paruku karena kehabisan oksigen. Aku terus menangisi bunda yang tak kunjung sadar hingga kesadaranku ikut memudar.

Aku terbangun di dalam ruangan Rumah Sakit seorang diri dalam keadaan bingung. Beberapa menit kemudian pintu kamar terbuka, papa berdiri di sana dengan wajah kacau. Ia menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya mendekat dan memelukku. Aku merasakan tubuhnya berguncang. Papa menangis, ia menangis tanpa suara. Aku belum pernah melihatnya menangis seperti ini. Aku langsung mengerti apa yang terjadi. Aku tak perlu repot-repot menanyakan di mana bunda. Aku pun ikut menangis dalam pelukan papa.

Aku masih ingat saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini. Usiaku sembilan tahun saat itu. Papa bilang, aku akan tinggal di rumahnya bersama mama dan keempat saudara-saudaraku yang lain.

Papa mengenalkanku pada mama yang menyambutku dengan tatapan galak, juga pada ketiga saudara laki-lakiku dengan ekspresi berbeda-beda. Seorang anak kecil berusia lima tahun menatapku dengan menunjukkan ekspresi penasaran, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun terlihat penasaran bercampur sebal, dan seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun terlihat tak peduli. Ia hanya melirik ke arahku sekilas, lalu kembali menyantap makan malamnya. Papa bilang, seorang kakakku yang paling tua berusia enam belas tahun bernama Raihan sedang bersekolah di pondok pesantren. Tapi sebenarnya, mereka semua sama sekali bukan saudaraku.

Aku memiliki seorang ayah kandung. Ia meninggal saat aku berusia empat tahun karena terserang penyakit ginjal kronis. Ayahku seorang muslim yang tergila-gila pada Bunda—perempuan katolik keturunan Tionghoa.

Bertahun-tahun Ayah mengejar cinta Bunda, berkali-kali hubungan mereka putus nyambung karena perbedaan agama, ribuan cacian dan hinaan Ayah telan dari keluarga Bunda. Hingga akhirnya Bunda luluh melihat kegigihan Ayah dan memilih untuk bersyahadat mengikuti Ayah. Awalnya hanya karena ingin menikah dengan Ayah, tapi Bunda jadi benar-benar serius beribadah setelah mengetahui ajaran Islam luar biasa indah. Semenjak menikah dengan Ayah, Bunda tak lagi dianggap anggota keluarga Tan.

Hidup kami serba sulit sepeninggalan Ayah. Sesekali keluarga Ayah membantu kelangsungan hidup kami. Tapi Bunda malu jika terlalu sering menerima uluran tangan orang lain. Keluarga Bunda tak ada yang mau membantu karena saat itu Bunda sudah menjadi seorang muslimah taat beribadah dan selalu memakai kerudung ke manapun.

Tiga tahun setelah Ayah meninggal, Bunda menikah dengan seorang pelanggan warung nasinya yang sekarang kupanggil Papa. Papa sudah memiliki seorang istri dan empat orang anak laki-laki, tapi Bunda bersedia dijadikan yang kedua.

Mama dan Papa sering ribut di rumah. Mama protes Papa membawaku masuk ke dalam istananya. Ternyata, Mama tak pernah setuju papa menikah dengan Bunda. Mama juga protes karena Papa begitu memanjakanku. Papa membelikanku banyak pakaian bagus, boneka, dan buku-buku. Papa beralasan semua pakaian dan barang-barangku sudah habis dilalap api—itu benar—juga karena Papa begitu mendambakan anak perempuan.

Tiga bulan setelah kedatanganku ke rumah Papa, Raihan pulang untuk berlibur. Ia menunjukkan sikap keberatan, terang-terangan memusuhiku dan menganggapku tak ada, sama seperti Mama. Raihan jadi jarang pulang setelah kedatanganku, ia hanya pulang setahun sekali—beberapa hari sebelum Idul Fithri. Aku pernah mendengarnya protes pada Papa akan kehadiranku, ia menyarankan agar aku diasuh orang lain saja. Tapi Papa bersikeras harus mengasuhku karena aku adalah anaknya juga. Hanya Dhika—kakak keduaku—dan Rizky—adik yang hanya berbeda satu tahun di bawahku—yang bersikap sedikit melunak.

Dhika pernah memergokiku menangis di kamar sendirian karena merindukan bunda. Dhika hanya melirikku sekilas dan berlalu. Saat itu aku berpikir lebih baik aku ikut mati kehabisan oksigen bersama bunda dari pada harus diabaikan oleh seluruh penghuni rumah. Tapi kemudian Dhika kembali, ia memberikan dua buah jepit rambut kecil berbentuk buah ceri sambil berkata, "Aku menemukannya saat sedang piket di sekolah dan tidak ada yang merasa kehilangan benda itu, aku tidak mungkin mengenakannya, bukan?" Lalu ia meninggalkanku sendirian dalam keadaan bengong, lupa akan kesedihanku.

Esok paginya aku memakai jepit rambut pemberian Dhika. Aku duduk di sampingnya untuk sarapan sebelum berangkat sekolah. Sambil tertunduk malu, kuucapkan terima kasih. Dhika hanya mengangguk sekali, lalu kembali mengabaikanku.

Rizky terkadang mengusiliku, mungkin karena ia berusia hanya satu tahun di bawahku. Awalnya aku diam saja, kubiarkan ia menjahiliku berkali-kali. Lama-kelamaan, aku merasa terusik ketika ia mulai terlalu sering menggangguku saat sedang mengerjakan PR. Baru kemudian aku tahu Rizky sebenarnya butuh bantuan untuk mengerjakan PR-nya. Jadilah kami sering mengerjakan PR bersama-sama sambil bercanda. Rizky sebenarnya pemalu. Ia berusaha menutupi rasa malunya itu dengan bersikap kekanak-kanakan.

Sementara Adit—adik terakhirku yang berusia lima tahun itu—terkadang ikut bercanda bersama kami. Tapi Adit lebih sering bersama Mama. Mama tidak suka anak-anaknya dekat denganku, anak dari perempuan yang telah merebut suaminya.

Terima kasih sudah membaca.
Leave some comment, please. Vote dan share juga.
Akan saya update minimal 1 part dalam seminggu.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang