27. Kejutan - 2

3.3K 143 33
                                    

Sekali lagi, aku berlepas diri atas resiko apapun yang timbul karena anak-anak sekolah yang masih nekat baca cerita dewasa.

___________________________________________

Ethan sudah menunggu di mobilnya pukul satu tepat. Seperti biasa, di bawah pohon beringin besar. Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana bisa Ethan selalu memarkirkan mobilnya di tempat yang sama? Mungkinkah ia membayar tukang parkir untuk mengosongkan tempat ini khusus untuknya? Rasanya itu berlebihan. Mungkin hanya kebetulan yang terjadi berulang-ulang.

"Ke mana kita sekarang?" Ethan menurunkan tuas rem dan meraih tanganku untuk digenggam sepanjang perjalanan.

"Pulang," jawabku datar, tanpa memandangnya.

"Tidak jadi menemui temanmu?"

"Tidak."

"Kamu sudah makan?"

"Sudah."

Ethan menghela napas. "Kamu masih marah?"

"Tidak." Aku menatap lurus ke depan, memandangi jalanan yang sudah sangat kuhapal ini.

Ethan menghela napas lagi, tidak percaya.

Aku sudah tidak kesal, sungguh. Aku ingin buru-buru sampai di rumah, khawatir Nisa sudah sampai lebih dulu. Aku juga ingin memberikan kesan bahwa kejutan yang kubicarakan tadi pagi tidak jadi. "Karena Kakak tidak mengizinkanku pergi, aku menyuruhnya datang ke rumah."

"Cewek?" Tanya Ethan, memastikan.

"Tentu saja," seruku, agak sewot. Mana pernah aku mengundang teman cowok main ke rumah! Dia ini seperti baru mengenalku kemarin saja.

Ethan meringis mendengar nada bicaraku. Kami hanya berdiam diri sepanjang sisa perjalanan, membiarkan keheningan menggantung di sekeliling.

"Hari ini sepertinya aku akan pulang malam." Ethan memberhentikan mobilnya di depan rumah. "Aku ada meeting sampai sore. Dokumen-dokumen di mejaku juga masih menumpuk belum kusentuh dan akan diambil besok pagi."

Nah, kan, padahal ia sibuk. Kenapa juga memaksakan diri hanya untuk mengantar dan menjemputku bertemu teman. Tapi ini kabar bagus. Aku punya tambahan waktu beberapa jam. "Jam berapa?"

"Mungkin jam sembilan aku baru keluar kantor."

Aku mengerutkan kening. Malam sekali.

"Kuusahakan lebih cepat." Ethan memelukku erat. "Maaf, aku sungguh minta maaf."

Aku menghela napas dan balas memeluknya. "Lupakan sajalah. Toh sepertinya temanku sudah datang."

Ethan melepaskan pelukannya dan tersenyum.

*****

Aku sudah siap sejak pukul delapan. Memakai gaun satin pendek berwarna hitam dengan punggung terbuka. Tadinya aku sempat terpikir hendak memakai lingerie yang dibelikan Emily dulu, tapi tidak jadi. Terlalu transparan. Memakainya sama saja seperti tidak memakai apa-apa. Baru mencobanya di dalam lemari saja aku sudah merasa malu sekali, apalagi di hadapan Ethan.

Rambut lurusku dibuat ikal di bagian ujungnya, membuatnya tampak bergoyang seperti pegas saat aku bergerak. Wajahku juga dipoles dengan riasan tipis. Kuku-kuku tangan dan kakiku mengilat indah. Tubuhku menguarkan bau harum sehabis dilulur.

Nisa sudah pulang dengan menumpang taksi tadi. Ia berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Aku merasa cantik sekali saat mematut diri di cermin.

Aku menunggu sambil membaca buku di atas kasur. Aku melirik jam berkali-kali, gugup. Tapi sampai pukul sembilan malam, Ethan belum juga pulang. Aku menghela napas, mulai mengantuk. Aku meraih handphone, lebih baik menelepon Ethan untuk mengusir kantuk.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang