39. Pasif

4.1K 182 31
                                    

Setelah tangisku mereda, aku pulang dengan menumpang taksi. Aku terkejut melihat Ethan sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper. Dua koper yang lain sudah dalam keadaan siap dibawa.

Aku menghentikan langkah tepat di belakangnya. "Kakak mau ke mana?"

"Aku bisa tinggal di manapun."

"Kakak mau kembali ke Amerika?" Aku bertanya dengan suara tercekat.

Ethan menoleh dengan mata terbelalak kaget. "Kamu mau aku pergi sejauh itu?"

Aku menelan ludah.

Ethan tersenyum getir. "Maaf, aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu yang satu itu. Aku masih punya tanggungjawab di sini. Aku akan tetap di sini, tepatnya di kota ini."

Aku menghela napas lega.

"Kamu tidak perlu khawatir." Ethan kembali mengemasi barang-barangnya. "Aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi. Kamu boleh mengadukanku melakukan KDRT atau tidak menafkahimu dengan baik. Aku tidak akan menyangkalnya." Lalu berdiri di hadapanku.

"Kakak tidak perlu pergi. Kita bisa tetap tinggal bersama, di sini."

Ethan tersenyum, kali ini terlihat tulus. "Aku senang kamu berusaha menahan kepergianku." Ia menyentuh pipiku sekilas, lalu terburu-buru menariknya kembali. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kita memang bisa tetap bersama sampai masa iddahmu selesai. Tapi semakin lama bersamamu membuatku semakin tidak ingin melepasmu."

"Kakak masih mencintaiku?"

"Sangat. Tapi berapa ribu kalipun aku mengatakannya, hatimu tetap tidak bisa kugapai." Ethan menatapku hangat. "Jaga dirimu baik-baik. Kamu bisa tinggal di sini bersama Raihan nanti. Atau menjualnya dan membeli rumah lain. Terserah. Ini rumahmu. Aku akan tetap memberikan bagian sahammu setiap bulannya. Uangnya bisa kamu gunakan untuk biaya hidup dan kuliahmu. Tapi jika suatu hari aku mengalami kerugian, kamu juga akan turut menanggungnya."

Aku menelan ludah, bingung harus berkata apa lagi untuk meyakinkannya.

"Bercanda." Ethan tertawa sumbang. "Untuk urusan kerugian, biar itu jadi urusanku. Semoga saja itu tidak akan terjadi."

"Kak." Aku menggenggam kedua tangannya, masih sambil berpikir.

"Kamu mau aku mengucapkan kata-kata perpisahan sekarang?"

Aku menggeleng kuat-kuat.

Ethan kembali tersenyum getir. "Terima kasih. Aku juga tidak yakin bisa mengucapkannya tanpa meneteskan air mata. Aku memang cengeng. Emily sering sekali mengolok-olokku."

Aku mengeratkan genggaman tanganku. "Aku mau tetap bersama Kakak."

Ethan menatapku dengan mata membelalak, terkejut dan bingung secara bersamaan. "Pardon?"

"Aku tidak mau kita berpisah."

Ethan diam saja. Keterkejutan masih mendominasi wajahnya.

Aku tersenyum. "Aku mencari-cari cincinku di meja rias, tapi tidak ketemu. Kakak memindahkannya ke suatu tempat?"

"Kenapa?" Tanya Ethan. Suaranya sepelan bisikan.

"Saat Kakak pergi, aku banyak berpikir."

"Aku tidak mengerti." Ethan bergumam pelan. "Apa yang membuatmu tetap bertahan bersamaku? Kamu jelas-jelas membenciku."

"Aku tidak membenci Kakak." Aku menyipitkan mata, menatapnya serius. "Kakak memang menyebalkan dalam beberapa hal, tapi aku tidak membenci Kakak."

"Aku tidak mengerti." Ethan menggeleng pelan. Ia menjauhiku dan duduk di pinggir kasur. "Kamu sama sekali tidak menghubungiku selama tiga minggu penuh dan menghabiskan akhir pekan bersama Raihan."

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang