DUA-2

3.5K 198 0
                                    

Siang ini aku dan Raihan makan bersama di sebuah restoran mewah. Aku mengiyakan ajakan Raihan untuk bertatap muka dengan Ethan, memulai proses ta'aruf. Aku mengikuti saran Raihan untuk mendekat pada Allah, memperbanyak shalat sunnah, puasa senin kamis, dan membaca Qur'an sering-sering. Hanya Allah penolongku saat ini. Aku selalu merapalkan doa agar pernikahan ini tidak terjadi, dan mulai menyebut nama Raihan dalam doaku.

"Assalaamu'alaykum." Ethan mengucapkan salam begitu sampai. Ia menyalami Raihan dengan hangat, dan hanya mengangguk sopan padaku. Ternyata ia tinggi sekali, lebih tinggi dari Raihan yang menurutku sudah lumayan tinggi. Aku tidak memperhatikan sebelumnya.

Aku balas mengangguk.

Ethan mengenakan kaus berlengan panjang warna hitam dan celana jeans abu-abu, dipadu dengan sepatu skets berwarna putih. Ia terlihat santai sekali, berbeda dengan terakhir kali aku melihatnya. Ethan menanyakan kami sudah makan belum, lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sambil menunggu makanan datang, Raihan dan Ethan mengobrol sedikit. Aku diam saja, memainkan sedotan minumanku hingga makanan datang. Kami makan dalam diam, hanya denting sendok dan garpu yang sesekali terdengar.

Ethan memesan choco fondue ukuran besar sebagai makanan penutup untuk kami bertiga. Raihan akhirnya memecah kesunyian dengan menanyakan kabar ayah Ethan, sepertinya ia sudah gatal dengan keheningan di antara kami sejak tadi. Dan obrolan pun mengalir begitu saja. Aku mencuri pandang pada Ethan sesekali, tapi ia terlihat santai sekali, tidak ada perasaan canggung sedikitpun. Aku merasa agak kecewa, sepertinya hanya aku yang merasa gugup.

"Kemana kita sekarang?" Raihan bertanya setelah Ethan membayarkan makanan kami.

"Mau mampir ke mall terdekat?" Tawar Ethan.

Raihan memandangku, meminta persetujuan.

"Terserah." Jawabku.

Kami berjalan kaki ke mall di seberang jalan. Kupikir Ethan akan berusaha mendekatiku kali ini, berjalan di sampingku, atau mengajakku mengobrol untuk membuatku tertarik padanya. Ternyata tidak. Ethan berjalan di samping Raihan dan hanya mengobrol dengan Raihan, seakan aku tidak ada. Awalnya aku merasa agak sebal, tapi kemudian aku berpikir, mungkin aku tidak semenarik yang kupikirkan di matanya. Mungkin ia sedang menyesali keputusannya dan berharap aku tidak tertarik dan menolak. Kalau itu yang ia inginkan, aku akan dengan senang hati mewujudkannya.

Kami hanya berjalan mengelilingi mall, hanya melihat-lihat tanpa benar-benar tertarik pada apapun. Saat kami melintas di depan toko buku, aku menarik jaket yang dikenakan Raihan dan menunjuk ke arah toko buku. Raihan memandang Ethan. Ethan mengangguk dan berjalan masuk mendahului kami.

Aku berkeliling di bagian rak novel dan komik. Aku melihat ke bagian atas, tertarik pada salah satu judul buku. Tinggi sekali, sepertinya tanganku tidak sampai. Saat aku memalingkan pandanganku, seorang laki-laki mengambil buku di rak bagian atas dan memberikannya padaku. Aku terkejut dan mengucapkan terima kasih. Bukan Ethan maupun Raihan, hanya seorang pria asing yang kebetulan ingin membantu.

"Pilihan yang bagus, aku sudah membacanya. Penggambaran tentang sekelilingnya detil sekali." Katanya sambil tersenyum ramah.

Sejujurnya, ia mengambil buku yang salah. Buku yang di sebelahnya yang ingin kuambil. Tapi aku merasa tidak enak. Aku berterima kasih sekali lagi sambil mengangguk dan tersenyum sopan. Aku berharap ia mengerti aku sedang tidak ingin mengobrol.

Pria itu memandang ke belakangku, mengucap kata "maaf" dengan suara lirih dan pergi. Aku menoleh ke belakangku. Raihan tersenyum padaku sambil lalu. Sementara Ethan sudah mendahului Raihan tanpa menoleh. Mereka berjalan menuju bagian bisnis. Aku mengikuti diam-diam, di balik salah satu rak buku, penasaran apakah mereka akan membicarakanku.

"Bicaralah." Kata Raihan.

"Apa yang akan kubicarakan?" Tanya Ethan.

"Apa saja. Karla tidak akan bicara jika tidak diajak bicara." Terang Raihan.

Ethan menghela napas. "Dia seolah membangun benteng di sekelilingnya, menutup diri, tidak ingin diganggu." Ethan ternyata lumayan peka untuk ukuran seorang laki-laki.

"Karla belum mengenalmu, Ethan. Bukankah wajar bersikap waspada pada orang yang belum dikenal baik?" Aku merutuki sikap Raihan yang malah menyemangati Ethan.

"Entahlah, aku merasa tertolak." Keluh Ethan.

Aku meninggalkan mereka, kembali ke deretan rak novel. Aku tidak terlalu berminat menguping pembicaraan mereka lagi. Aku tidak mau lagi mendengar Raihan menyemangati Ethan. Aku sudah cukup kecewa ia menyuruhku menikah dengan laki-laki lain. Kenapa Raihan tidak menyadari perasaanku? Kenapa ia tidak sepeka Ethan?

Aku memilih satu buah novel yang kelihatannya menarik dan membawanya ke kasir. Aku tidak mau Ethan membayari bukuku juga, aku akan merasa berhutang padanya jika kami tidak jadi menikah. Karena aku berencana untuk menolak. Aku belum siap untuk menikah, lalu hamil, mengurus anak. Itu sama sekali masih jauh dari pikiranku. Aku masih tujuh belas tahun.

Aku keluar dari toko buku menuju toilet. Aku hanya mencuci tangan dan mematut diri di cermin, membetulkan kerudungku. Aku memandangi wajahku agak lama. Aku penasaran, apa yang membuat Ethan tertarik padaku hanya dengan sekali pandang? Aku jauh dari cantik, Raihan yang setiap hari melihatku saja sama sekali tidak tertarik.

Aku terburu-buru keluar dari toilet, khawatir Raihan dan Ethan mencariku. Tapi ternyata mereka menungguku di depan toilet. Mungkin mereka melihatku pergi dan menyusulku. Ethan mengajak kami shalat ashar di masjid, lalu pulang. Pada akhirnya, Ethan tidak mengatakan apapun padaku hari ini. Sepanjang perjalanan pulang juga Raihan diam saja.

Sesampainya di rumah, Raihan menyerahkan buku yang dibeli Ethan di toko buku tadi. Aku mengintip ke dalam kantung plastik. Mataku membelalak terkejut mengenali sampul bukunya. Ini buku yang kuinginkan, yang letaknya terlalu tinggi untuk kugapai dengan tanganku. Bukan buku yang salah diambilkan oleh cowok asing tadi. Aku bertanya-tanya dalam hati, dari mana ia tahu? Apakah ia melihatku tadi? Tapi cowok asing tadi bahkan salah mengambilkan buku. Mungkin, ini hanya kebetulan.

"Gaun biru yang Karla pakai untuk menemani A Iyan juga dari Ethan." Kata Raihan sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Jantungku berdetak kacau melihatnya. Tapi kemudian aku sadar akan satu hal, Raihan membuatku menerima terlalu banyak dari Ethan. Aku menghela napas berat. Jika aku berniat menolaknya, aku harus mengembalikan ini semua.

Terima kasih sudah membaca.
Leave some comment, please. Vote dan share-nya juga.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang