DUA-4

3.1K 169 0
                                    

“Jadi bagaimana, Karla?” Tanya Raihan, setelah agak lama ia hanya memperhatikanku menyirami tanaman, berpikir.

“Apanya yang bagaimana?” Aku bertanya balik, tanpa memandangnya. Aku menggulung kembali selang yang kugunakan untuk menyiram tanaman dan menggantungnya di keran.

“Sudah sebulan kalian berkenalan. Ethan ingin tahu tanggapanmu.” Raihan menepuk lantai di sampingnya, memintaku duduk. Aku menurut.

“Karla tidak mengerti.” Tuntutku. Sebenarnya aku mengerti. Aku hanya mengulur sedikit waktu, menyusun kata-kata yang akan kuucapkan dalam benakku.

“Ethan ingin melanjutkan, melamar Karla secara resmi, memperkenalkan anggota keluarganya, dan menentukan tanggal pernikahan.”

Aku menghela napas dan menunduk. “Karla belum siap menikah, A Iyan.” Kataku jujur. Aku tidak berani menatap mata Raihan.

Raihan ikut menghela napas. Sepertinya ia sudah mengira aku akan menolak. “Karla sudah memikirkannya baik-baik?”

“Iya, berulang kali.” Aku berusaha terdengar meyakinkan.

Raihan menghela napas lagi. “Ethan sangat berharap pada Karla, dia sudah menunggu sejak dua tahun lalu.”

“Seharusnya A Iyan bilang padanya untuk tidak menunggu Karla.” Keluhku.

“Ethan sangat keras kepala. Jika sudah menginginkan sesuatu, dia akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Tidakkah Karla mengerti? Dia cukup tergila-gila padamu.” Raihan terdiam sejenak. “A Iyan tidak mengerti, kenapa Karla ngotot sekali menolak Ethan. Apa yang kurang darinya? Apa yang membuat Karla meragukannya?”

“Tidak ada. Ini hanya karena…” Aku menelan ludah. “Karla tidak merasakan apapun padanya.” Ethan bukan kamu, Raihan. Hanya kamu yang kuinginkan. Jika kamu yang melamarku, aku akan siap menikah  kapanpun. Aku ingin sekali mengucapkannya keras-keras, menyampaikan perasaanku. Tapi aku terlalu takut ia akan menjauhiku jika mengetahui perasaanku. Sekarang saja ia bersemangat sekali ingin menikahkanku dengan temannya.

“Karla tahu," Raihan menatapku lekat-lekat. "Cinta bisa datang belakangan. Seiring berjalannya waktu yang kalian lalui bersama, cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Manusia sesungguhnya bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa.” Raihan terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi wajahku. Entah apa yang dilihatnya di wajahku hingga ia berani melanjutkan. “Ethan seorang pria baik-baik. Aku yakin sekali hidupmu akan lebih bahagia bersamanya.”

Tahu apa dia tentang kebahagiaanku. “Tapi Karla sudah bahagia di sini, bersama A Iyan.” Aku sengaja menyebut namanya, melontarkan kode keras padanya. “Karla janji tidak akan menyusahkan. Karla sanggup mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti biasanya. Karla juga akan bekerja, membantu cari uang untuk kelangsungan hidup kita berenam. Karla bahkan tidak perlu kuliah.” Aku mencerocos begitu saja, mengutarakan rencana hidupku beberapa tahun ke depan.

“Tidak, Karla. Kumohon, kali ini saja. Bantu kami menuntaskan janji pada Papa.” Raihan memandangiku dengan tatapan memelas. Hanya itukah yang ada di pikirannya? Menuntaskan janji pada Papa tanpa memikirkan perasaanku.

Aku menunduk. Aku harus menyampaikan perasaanku dengan jelas agar Raihan mengerti. Bagaimana kalau ternyata Raihan malah menjauhiku? Tapi, bagaimana lagi caranya aku bisa menolak lamaran Ethan? Aku menggigit bibir, berusaha mengumpulkan keberanian.

“Berhentilah membuat Iyan repot, Karla.” Mama tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Matanya menatapku galak, menyumpal mulutku yang hendak mendeklarasikan perasaan pada Raihan.

“Ma.” Tegur Raihan.

“Jika kamu menikah, beban Iyan sebagai tulang punggung akan berkurang.”

“Mama.” Tegur Raihan lagi. Suaranya terdengar semakin keras.

Tapi Mama tidak peduli dan tetap melanjutkan. “Calon suami kamu yang kaya itu...”

“Cukup, Ma.” Seru Raihan. Tidak ada tawar-menawar dalam nada bicaranya.

Kali ini mama benar-benar diam. Tapi matanya menatapku nanar. Sepertinya masih banyak kata-kata yang hendak dimuntahkannya seandainya Raihan tidak menghentikannya.

Aku menunduk, menyembunyikan mataku yang basah. “Maaf.” Kataku lirih. Aku bangkit hendak pergi, tapi Raihan menahan tanganku.

“Tentukan saja tanggalnya.” Kataku tanpa menoleh. Aku melepaskan genggaman tangan Raihan, terburu-buru masuk kamar dan mengunci pintu. Raihan memanggilku berkali-kali. Ia menyusul dan mengetuk-ngetuk pintu kamar. Tapi aku mengabaikannya. Aku terduduk di balik pintu, menangis tanpa suara.

Mereka menjualku pada seorang pria kaya untuk mendapat sedikit bantuan materi di kemudian hari. Aku tidak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Bahkan Raihan memohon-mohon padaku seperti itu. Berarti Raihan juga berharap aku pergi, ia berharap aku mengurangi bebannya. Berarti Raihan menganggapku beban selama ini, berarti aku merepotkannya.

Tidak ada kisah romansa di antara kami, tidak akan pernah ada, hanya aku yang terlalu berharap.

Terima kasih sudah membaca ^o^
Leave some comment, please. Vote dan share juga.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang