"Bagaimana Lombok?" Tanya Raihan setelah seorang pramusaji selesai mencatat pesanan kami. Kami hanya berdua saat ini, makan di restoran dekat kantor. Ethan menyuruh kami makan duluan karena ia mendadak kedatangan tamu seorang klien penting tanpa diundang.
"Bagus," jawabku sekenanya. Aku memperbaiki posisi dudukku untuk yang kesekian kalinya. Rasanya tidak nyaman, sakit sekali duduk di kursi kayu yang keras ini. "Bisakah kita pindah ke sofa di ujung sana?" Aku menoleh ke arah sofa panjang itu berada.
Raihan terlihat terkejut, tapi mengangguk setuju. Ia tidak mengira aku akan mengusulkan untuk pindah lebih dulu. Selama ini aku hanya diam saja, menurut tanpa banyak tanya. Ia mendahuluiku menuju tempat yang kumaksud.
Aku duduk di hadapannya. Ini lebih baik meski masih terasa agak perih. Di Lombok, kami lebih banyak menghabiskan waktu di hotel. Ethan lebih suka berolahraga di atas kasur dibanding berkeliling melihat keindahan pulau Lombok.
Inilah efek yang kurasakan sekarang, sakit luar biasa. Bahkan untuk sekadar duduk di sofa pun masih terasa perih. Tadinya aku tidak ingin pergi ke mana-mana hari ini, beristirahat. Tapi Merry mengingatkanku ada kuis yang akan menyebabkan nilaiku jeblok jika kutinggalkan. Lagipula, Rizky mengirimiku pesan pagi-pagi, menagih oleh-oleh dari Lombok. Aku jadi tergoda ingin bertemu Raihan untuk menyerahkan oleh-oleh.
Melihat wajah Raihan membuatku bertanya-tanya, apakah rasanya akan sesakit ini juga jika dengan orang yang benar-benar kucintai. Astaghfirullah. Apa, sih, yang kupikirkan? Aku menggeleng pelan, berusaha menepis pikiran hina itu. Suamiku Ethan, bukan Raihan. Aku membatin berkali-kali.
"Karla baik-baik saja?"
Aku mengangguk. Kenapa Ethan lama sekali? Pikiranku mulai ngaco jika hanya berduaan dengannya.
Raihan menatapku penuh selidik.
"Karla merasa agak lelah, itu saja." Aku memaksakan diri untuk tersenyum dan menyerahkan dua paper bag berisi oleh-oleh pada Raihan.
"Tidakkah ini terlalu mahal, Karla?" Raihan mengeluarkan kotak perhiasan mutiara dari dalam paper bag, menunjukkannya padaku. Wajahnya terlihat keberatan sekali.
"Ethan punya cukup banyak uang. Dia tidak akan bangkrut hanya dengan membelikan satu set perhiasan mutiara." Aku mengangkat bahu, cuek. Lagipula, itu ide Ethan. Aku tidak memintanya, kok.
"Tapi..."
"Mama berhak mendapatkannya." Aku langsung memotong. Aku pernah mendengar percakapan mereka dulu, Mama terpaksa menjual perhiasannya untuk biaya sekolah kami. Mama hanya memiliki perhiasan anting-anting yang dipakainya saat ini.
Raihan menghelas napas dalam-dalam dan mengucapkan terima kasih.
Ethan datang tiga puluh menit kemudian, saat kami sedang makan. Ia masih harus menunggu pesanannya datang. Aku lupa memesankan makanan untuknya, terlalu asyik mengobrol dengan Raihan. Sebenarnya, tidak banyak yang kami bicarakan. Aku terlalu gugup berhadapan dengannya. Setelah menikah, aku selalu merasa gugup saat bersamanya. Mungkin karena kami sudah jarang bertemu.
Raihan juga lebih banyak berdiam diri, seolah menikmati kebersamaan kami. Aku tahu, ini hanya imajinasiku saja. Tidak mungkin Raihan merindukanku. Kalaupun iya, rasa rindunya padaku berbeda dengan rindu yang kurasakan padanya. Aku hanya adiknya, tidak lebih. Aku cukup tahu diri. Lagipula, aku sudah menikah dengan Ethan.
Setelah makan, sambil berjalan kembali menuju kantor, Ethan berbisik di telingaku, "Mau mampir ke gedung sebelah?"
Aku menoleh mengikuti arah pandangnya. Hotel? Ya ampun. Tanpa bisa kucegah, aku menatapnya dengan pandangan horor. Aku salah. Kupikir Ethan tidak akan macam-macam jika di kantor. Ethan malah tertawa dan mengecup bibirku sekilas. Ia pikir ekspresi takutku ini bercanda?
KAMU SEDANG MEMBACA
Karla
RomanceWarning! 18+ Tolong, pilihlah bacaan dengan bijak Part 33, 35, dan beberapa part berikutnya mungkin akan ada yang di-private. Silakan follow dulu. Bagaimana jika orang yang kamu cintai memintamu untuk menikah? Bukan, bukan dengannya, jangan senang d...