“Apa yang menyebabkanmu berubah pikiran?” Ethan langsung saja mengajukan pertanyaan setelah duduk di hadapanku. Ia bahkan lupa mengucapkan salam. Wajahnya terlihat sumringah. Rambutnya agak berantakan. Ia hanya mengenakan kaus lengan pendek berwarna biru,—agak lusuh—dipadu dengan celana jeans panjang berwarna abu-abu dan sandal jepit hitam. Sepertinya ia terburu-buru menghampiri kami.
Tepat seperti yang diramalkan Raihan, Ethan langsung mengajak bertemu. Kami sedang berada di sebuah kafe terbuka di pinggir jalan, tidak jauh dari supermarket tempatku dan Raihan berbelanja tadi. Jalanan tetap ramai meski ini hari libur, membuat suasana di sekeliling kami berisik. Bau asap kendaraan memenuhi rongga hidung.
“Kupikir, tidak ada alasan untuk menolak.” Aku menjawab ragu-ragu.
“Tapi sebelumnya kamu terlihat enggan?” Tuntut Ethan.
Aku menyeruput es jerukku, berpikir. “Pada dasarnya, manusia menyukai keindahan.” Jawabku asal.
Ethan mengerutkan keningnya semakin dalam, tidak mengerti.
Raihan mengulum senyum. “Dengan kata lain, kamu terlihat indah di mata Karla, Ethan.” Jelas Raihan, sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku menunduk, malu. Itu salah satu alasan yang bagus menurutku, meskipun tidak mewakili keseluruhan alasanku untuk menerimanya. Ethan tampan, pintar, kaya, sholih. Secara keseluruhan, ia seorang pria idaman. Mungkin suatu saat aku akan bisa menyukainya, meskipun sebagian besar alasanku saat ini adalah hanya karena Raihan yang memintaku untuk melakukannya.
Kuharap, aku bisa sedikit mengurangi beban di punggungnya. Mungkin, Ethan bisa menjadi semacam pelarian. Kata-kata itu terus terngiang di telingaku akhir-akhir ini, membuatku merasa sedikit bersalah.
Ethan menunduk, menutupi mulutnya dengan tangan dan mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Kami hanya mengobrol sore ini, saling mengenal lagi karakter masing-masing. Ethan menunjukkan diri lebih aktif, lebih banyak bicara dari sebelumnya, lebih banyak bertanya. Aku masih seperti biasa, menjawab seperlunya saja. Terkadang aku malah menjawab asal-asalan. Ethan akan terus bertanya jika jawabanku belum cukup memuaskannya. Ia juga bertanya rencana jangka pendek dan panjangku.
“Rencana jangka pendek, aku mau kuliah. Tidak ada rencana jangka panjang.” Rencana jangka panjangku tidak berlaku jika harus menikah dengannya. Aku belum memperbarui rencana jangka panjangku.
Ethan terlihat agak kecewa, ia berusaha menutupinya dengan menenggak botol air mineral.
“Apa yang Kakak harapkan dariku?” Ini pertanyaan pertamaku padanya hari ini.
“Tidak ada.” Jawabnya langsung.
Aku terkejut, menatapnya dengan alis berkerut. Itu tidak mungkin.
“Maksudku.” Ethan terlihat berpikir sejenak. “Aku hanya ingin hidup bersamamu.” Ia menatapku lurus. Matanya—yang ternyata berwarna biru—seolah memenjarakanku, membuatku tak bisa berpaling.
Raihan berdeham pelan, mengingatkan kami. Ethan langsung menunduk dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Aku ikut menundukkan kepala. Inilah fungsi orang ketiga dalam proses ta’aruf, mengingatkan agar kami berdua tidak melewati batas.
“Tidak adakah rencana hidup tentang anak?” Tanya Raihan, setelah keheningan yang lumayan lama.
“Tentu saja, aku ingin sekali memiliki banyak anak.” Jawab Ethan langsung. Tapi kemudian ia melirikku, sadar aku hanya diam saja.
“Tentu, banyak anak.” Kataku menyetujui. Aku berusaha terlihat meyakinkan. Tapi sepertinya aku gagal.
Ethan menutupi kekecewaannya dengan menenggak botol air mineralnya, lagi. Entah untuk yang keberapa kali. Perutnya mungkin sudah kembung karena terlalu banyak minum sejak tadi.
“Sejujurnya. “ Aku menggigit bibir dan menunduk. “Aku belum siap untuk menjadi seorang ibu.” Kataku ragu.
Raihan menghela napas. “Karla, tujuan menikah bagi sebagian besar orang…”“Aku bisa menunggu.” Potong Ethan. “Tidak masalah.” Suaranya terdengar bersungguh-sungguh.
“Terima kasih.” Ucapku tulus, masih dengan kepala tertunduk.
Tanya jawab di antara kami tetap berlangsung hingga adzan maghrib berkumandang. Kami mencari masjid terdekat untuk shalat, lalu makan. Kami melanjutkan acara mengobrol sampai pukul sembilan malam.
Ethan bersikap sangat terbuka malam ini. Beberapa kali Raihan terbatuk atau berdeham pelan untuk mengingatkan jika Ethan menatapku terlalu dalam. Aku bisa merasakan samar-samar, Ethan berusaha menyampaikan bahwa ia mencintaiku. Mungkin ia merasa harus memanfaatkan kesempatan kedua ini sebaik mungkin. Sepertinya ia khawatir jika tidak mengutarakan perasaannya dengan benar, aku akan kabur lagi.
Sebelum pulang Ethan berkata dengan wajah sendu. “Kuharap, kamu tidak berubah pikiran lagi.”
“In syaa Allah tidak.” Janjiku.
Ethan tersenyum, lalu berpamitan dan berjalan menuju mobilnya.
“Karla.” Panggil Raihan.
“Ya?” Aku menyahut tanpa menoleh, masih memperhatikan Ethan mengeluarkan mobilnya dari parkiran.
“Ethan berusaha keras sekali tadi. Biasanya dia tidak setoleran itu.”
Aku menghela napas. “Karla tahu.” Karena itulah aku merasa yakin aku akan baik-baik saja bersamanya. Aku mengikuti saran orang bijak yang pernah kubaca dalam buku. Aku lebih memilih orang yang mencintaiku, dari pada menghabiskan tenaga berusaha menggapai seseorang yang tidak akan pernah melirikku.
Bersambung lagi~
KAMU SEDANG MEMBACA
Karla
RomanceWarning! 18+ Tolong, pilihlah bacaan dengan bijak Part 33, 35, dan beberapa part berikutnya mungkin akan ada yang di-private. Silakan follow dulu. Bagaimana jika orang yang kamu cintai memintamu untuk menikah? Bukan, bukan dengannya, jangan senang d...