Sudah tujuh bulan usia pernikahan kami. Aku jadi mengerti alasan doaku agar pernikahan ini batal tidak terkabul dulu, ada orang lain yang berdoa sebaliknya. Ethan berdoa lebih sering dariku, beribadah lebih khusyuk, beramal lebih banyak. Tentu saja Allah lebih suka mengabulkan doa orang yang lebih sering menyebut nama-Nya.
Ethan sangat konsisten dalam beribadah. Ia tidak pernah absen shalat wajib di masjid, lima kali sehari. Menurut sekretarisnya, ia juga selalu menolak ajakan meeting satu jam sebelum waktu shalat. Aku rutin mendatangi kantornya, setiap hari Rabu, hanya untuk melihat Raihan.
Jika aku datang, Ethan selalu mengajak Raihan untuk makan bersama, bertiga. Entah karena Ethan mengetahui perasaanku pada Raihan atau hanya sekadar menjaga hubungan kekeluargaan di antara kami. Sepertinya alasan yang kedua lebih masuk akal.
Ethan selalu bangun pukul tiga shubuh dan tidur paling telat pukul sembilan malam. Tidur cepat untuk bangun lebih cepat. Kami shalat tahajud hingga adzan shubuh berkumandang, baru kembali dari masjid pukul lima. Lalu berolahraga hingga pukul tujuh, lari pagi, berenang, bermain basket dengan para pemuda komplek, apapun. Aku terkadang ikut keluar mengendarai sepeda sementara Ethan berlari mengejarku.
Ethan sering mengajakku menghadiri kajian, berakhir pekan di masjid-masjid, mendengarkan ceramah. Terkadang kami juga menghadiri jamuan makan malam koleganya. Aku jadi terbiasa mengikuti pola hidupnya yang disiplin.
Ethan juga selalu mengajakku beribadah bersama, mengajarkanku mengaji dan menghapal Qur'an bersama. Aku pernah menolak saat sedang banyak tugas kuliah. Tapi Ethan menggenggam tanganku, menatapku dengan mata birunya yang cemerlang dan berkata, "Aku ingin hidup bersamamu bukan hanya di dunia ini, tapi juga di akhirat. Nanti kubantu mengerjakan tugasmu." Ia benar-benar konsisten, tidak membiarkan waktu ibadah kami berkurang sedikitpun.
Aku menghela napas berat dan kembali duduk, menurut. Ethan benar-benar membantuku mengerjakan tugas, begadang dua malam berturut-turut hingga tugasku selesai. Ia selalu memenuhi janjinya, melakukan kewajibannya, mewujudkan apapun keinginanku, sementara aku tidak.
Kami memiliki sedikit masalah dalam urusan makan. Selera makan kami berbeda. Aku tidak suka makanan berbau pasta, paprika, mayones, aneh sekali rasanya. Aku terbiasa makan dengan nasi, lauk, dan sayur. Lidahku Indonesia sekali, sementara lidah Ethan western sekali.
Ethan memang mengaku pemakan segala, jadi ia lebih sering mengikuti selera makanku. Tapi saat Ethan memakan makanan western terlihat lahap sekali, berbeda saat memakan makan Indonesia, ia hanya makan secukupnya, terlihat kurang menikmati. Ditambah, Ethan tidak suka pedas. Sedangkan aku pecinta pedas.
Tapi ini bukan masalah besar. Banyak restoran yang menyediakan berbagai macam jenis makanan. Atau kami juga bisa saling mengalah sesekali.
Usiaku delapan belas tahun sekarang. Ethan memberikanku bros bertahtakan berlian sebagai hadiah ulang tahunku, mengajakku makan malam romantis di pinggir pantai, dan menciumku mesra. Ia tidak pernah sungkan memamerkan kemesraan walau di depan umum sekalipun. Saat itu kami sedang berlibur ke Bali.
Ethan mengajakku berlibur setiap bulannya, mengunjungi tempat-tempat menakjubkan di tempat lain. Aku jadi teringat hal yang menyebalkan. Saat kami sedang mengepak barang hendak berbulan madu ke Singapore, aku baru teringat belum memiliki paspor. Aku mendesah pasrah, gagal menyapa patung merlion. Ethan tidak tega melihatku kecewa. Ia menawarkan opsi lain, snorkeling di Bunaken. Aku mengangguk antusias.
Ternyata snorkeling tidak semenyenangkan kelihatannya. Aku tidak bisa berenang, jadi harus mengenakan pelampung. Tapi mengenakan pelampung juga tidak mudah bagi orang tanpa pengalaman berenang sepertiku, membuatku berputar-putar tanpa arah, berusaha menggapai apapun di dekatku. Aku baru berhenti berputar-putar ketika Ethan menangkap tubuhku. Ia menertawaiku habis-habisan. Aku tidak pernah mau lagi diajak snorkeling.
Kehidupan kampusku juga lancar, selain olok-olokan 'Karla yang menikah dengan pria tua' itu, semuanya berjalan lancar. Nilai akademikku tidak sesempurna Ethan, ada lima nilai B dan dua nilai C yang mengganggu. Tapi aku cukup puas dengan nilaiku, aku tidak pernah menyontek, ini murni hasil kerja kerasku.
Aku mengikuti organisasi Lembaga Dakwah Kampus. Tidak terlalu serius, hanya ikut-ikutan, sekadar menjaga pergaulan. Mereka sangat ramah dan menyenangkan. Yang paling penting, mereka tidak pernah memaki dan berkata kasar. Aku sudah muak mendengar teman-teman sekelasku yang mayoritas bermulut sampah.
Aku memiliki tiga orang teman dekat, dua orang perempuan bernama Linda dan Merry, juga Ary. Linda terlihat sangat bersahaja, berbeda dengan mayoritas penghuni kampus lain yang selalu memamerkan barang bermerek milik orangtua mereka. Tapi baik aku maupun Merry terbengong-bengong ketika mendatangi rumahnya yang sebesar istana, jauh lebih besar dari rumah yang kutinggali bersama Ethan.
Linda anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Setiap anak memiliki kamar masing-masing di rumah itu. Kamar Linda tidak sebesar kamarku dan Ethan, tapi jelas lebih besar dari kamar kos Merry. Linda tidak secerewet Merry dan Ary, tapi juga tidak sependiam aku. Di antara kami berempat, Linda yang paling alim dan rajin mengingatkan kami untuk shalat di awal waktu.
Sedangkan Merry, ia benar-benar gadis dari keluarga sederhana. Orangtuanya tinggal di Bandung, Merry ngekost di dekat kampus. Merry luar biasa pintar, paling pintar di antara kami berempat, nilai-nilainya sempurna. Ia memang berusaha keras mengejar nilai untuk mempertahankan beasiswanya. Merry anak pertama dari tiga bersaudara, orang tuanya tidak mampu membiayainya kuliah.
Mengenai Ary, aku bingung bagaimana menjelaskannya. Kami sebenarnya tidak terlalu dekat, dia saja yang senang sekali menempel dengan kami, mengikuti kami ke mana-mana. Ethan sampai uring-uringan dibuatnya. Ethan pencemburu sejati, ia tidak suka melihat Ary setiap pagi selalu stand by di parkiran kampus, menanti kedatanganku.
Ethan sering sekali meneleponku, katanya suaraku terdengar sangat merdu di telepon. Itu hanya alasan, aku tahu. Ethan secara tidak langsung hendak memperingatkan Ary bahwa aku sudah bersuami. Tapi karena seringkali Ethan menelepon di saat yang tidak tepat, aku jadi berbicara terlalu ketus padanya. Ary melihat wajah masamku setiap kali Ethan menelepon, membuatnya semakin giat mendekatiku.
Rutinitas kuliah yang padat berhasil menyibukkan pikiranku. Tapi aku belum benar-benar seratus persen move on. Aku masih memikirkan Raihan sesekali, tidak sesering dulu, tidak semenyakitkan dulu. Tapi aku masih mengaguminya. Raihan masih pria terindah di mataku. Ia masih memenuhi sebagian besar ruang di hatiku. Tidak mudah menghapus bayangan seseorang yang sudah mendiami hatiku selama tiga tahun lebih.
Apakah aku bahagia? Ini pertanyaan yang rutin ditanyakan Raihan saat kami bertemu. Jika orang lain yang bertanya, aku akan menjawab, "Sangat bahagia," sambil tersenyum lebar. Tapi aku tidak bisa membohongi Raihan, aku hanya sanggup mengangguk sambil tersenyum tipis.
Kami juga rutin pulang setiap bulan, mengunjungi Mama. Mama menyambut kami hangat, menyiapkan berbagai macam camilan dan minuman untukku dan Ethan. Mama tidak pernah lagi membentak dan mengomeliku, meski nada bicaranya masih tetap galak seperti biasa. Entah karena ada Ethan atau Mama memang benar-benar merindukanku. Aku tidak tahu dan tidak mau terlalu berharap.
Rizky dan Adit juga rutin menyambangi rumah kami. Mereka menumpang berenang, meminjam buku dari perpustakaan kecil milik kami, atau hanya sekadar meminta bantuanku untuk mengerjakan PR berhitung. Rizky lemah sekali urusan berhitung ini. Ia lebih suka pelajaran lain yang hanya perlu dibaca dan diingat. Tapi ia sudah telanjur masuk jurusan IPA hanya karena gengsi. Aku melempar bantal padanya saat mengetahui itu.
Terkadang Dhika juga datang. Mereka biasanya hanya datang berdua mengendarai motor. Terkadang Rizky datang dengan Dhika, Rizky dengan Adit, atau Adit dengan Dhika. Tapi Raihan dan Mama tidak pernah datang sekalipun. Aku kecewa sekaligus bersyukur. Aku kecewa tidak bisa melihat wajahnya. Tapi juga bersyukur. Jika aku terlalu sering bertemu dengannya, aku bisa benar-benar gagal move on.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karla
RomanceWarning! 18+ Tolong, pilihlah bacaan dengan bijak Part 33, 35, dan beberapa part berikutnya mungkin akan ada yang di-private. Silakan follow dulu. Bagaimana jika orang yang kamu cintai memintamu untuk menikah? Bukan, bukan dengannya, jangan senang d...