SATU-4

4.1K 232 6
                                    

Raihan mengajakku berjalan-jalan ke mall sejak pagi. Kami memasuki toko buku, membaca, dan membeli beberapa buku novel yang sedang kuinginkan. Ia juga mengajakku memasuki toko pakaian. Membelikanku sebuah gamis, kerudung, lengkap dengan kaus kaki dan sepatunya. Lalu kami makan malam dengan menu steak. Ini pertama kalinya aku makan steak.

Aku bertanya-tanya keheranan melihat sikapnya yang tidak biasa ini. Ia hampir tidak pernah mengajakku berjalan-jalan dan membelanjakan banyak barang untukku seperti ini. Tentu saja hatiku berbunga-bunga karenanya. Aku senang sekali kami bisa menghabiskan waktu bersama. Aku tidak menyangka akan tiba juga akhirnya waktu untuk kami berjalan-jalan hanya berdua.

"A Iyan tumben sekali mengajak Karla berjalan-jalan dan membelikan banyak barang. Ada apa?" Aku memberanikan diri bertanya padanya, saat kami sedang makan malam.

Raihan terlihat berpikir sejenak. "Aku sejak tadi berpikir bagaimana cara menyampaikannya." Terang Raihan. Ia menyuapkan steak ke mulutnya.

Aku diam saja, menunggu, masih sambil menyantap makan malamku.

"Karla ingat teman A Iyan semalam yang bernama Ethan, rambutnya keemasan?" Tanya Raihan.

Aku mengangguk. "Yang bule?" Aku memastikan.

"Iya, yang bule." Jawab Raihan. Ia lalu terdiam, tidak mengatakan apapun selama beberapa menit. Wajahnya terlihat berpikir keras.

"Ada apa dengan si bule?" Aku berusaha mendorongnya untuk melanjutkan kata-katanya.

"Bagaimana menurut Karla?"

Aku menatapnya bingung. "Bagaimana apanya?" Aku balas bertanya.

"Eh? Apakah, dia tampan?" Tanya Raihan kikuk.

Aku menatapnya keheranan, tidak mengerti. Tapi kemudian aku memutuskan untuk menjawab saja. Mengikuti arah pembicaraannya yang tidak dapat kutebak ini. "Lumayan. Dia fasih sekali berbahasa Indonesia, sepertinya dia sudah lama tinggal di sini."

"Benar. Ethan baru kembali ke Indonesia empat tahun yang lalu, merintis anak perusahaan ayahnya di sini. Dulu, kami bersekolah di pesantren yang sama. Kami sebenarnya tidak terlalu dekat saat di pesantren. Kabarnya, dia pernah tinggal kelas pada tahun pertamanya karena masalah budaya dan bahasa." Raihan langsung saja bercerita tentang Ethan dan masa-masa saat di pesantren tanpa diminta. Sesekali ia terdiam, terlihat sedang mengingat sesuatu.

"Dia kakak kelas yang baik, kami berbeda tiga tingkat. Ethan orang yang pintar dan mudah bergaul. Dia sangat populer di pesantren kami karena menjadi satu-satunya santri bule saat itu." Raihan terkekeh pelan.

"Banyak santriwati yang menyukai Ethan. Dia selalu saja mendapatkan surat maupun hadiah yang dikirimkan secara sembunyi-sembunyi. A Iyan juga pernah dititipi surat dari beberapa santiwati yang satu kelas saat SMP. Tapi Ethan terlihat tidak tertarik. Dia beberapa kali melanggar aturan pesantren selayaknya anak-anak remaja pada umumnya. Tapi dia tidak pernah terlibat skandal pacaran. Padahal peluang terbuka lebar di hadapannya, membuat kami para santriwan iri dengan ketampanan dan kepopulerannya."

"Ethan selalu beralasan mereka bukan tipenya. Dia bahkan masih saja cuek ketika seorang santriwati paling cantik mengiriminya surat cinta. Kami selalu menggodanya setiap kali melihat santriwati cantik itu, sampai suatu hari ia berkata, 'Aku tidak tertarik untuk berpacaran. Jika aku menyukai seseorang, aku akan langsung melamarnya. Tapi tidak sekarang.' Ethan berkata sambil tertawa, tapi nada bicaranya terdengar tegas. Mungkin dia bosan selalu dijodoh-jodohkan."

"Setelah lulus dari pesantren, Ethan melanjutkan kuliah di Oxford University. Dia baru saja menyelesaikan study S3-nya tahun lalu. A Iyan lupa nama universitasnya. Ethan selalu berhasil menjadi lulusan terbaik." Raihan berhenti bercerita dan menyantap banana split. Ia sepertinya menyukai sosok Ethan. Hanya hal-hal baik yang kudengar dari mulutnya.

"Jadi, teman A Iyan itu warga Indonesia keturunan bule, atau..." Aku membiarkan pertanyaanku menggantung begitu saja.

Raihan langsung mengerti dan menjawab, "Bukan, dia lahir dan besar di New York. Kedua orang tuanya muallaf. Atas saran teman dan kerabat muslim, Ethan disekolahkan di pesantren untuk belajar agama Islam dengan baik." Lalu kami berdua diam, menikmati banana split di hadapan kami.

"Jadi," Raihan berdeham membersihkan tenggorokannya. "Ethan meminta A Iyan untuk menanyakan pada Karla, maukah Karla menikah dengannya?" Raihan menatapku lurus.

Aku terdiam, menatap Raihan tidak percaya. Aku mencari-cari ekspresi bercanda di wajahnya. Tapi Raihan menatapku serius. Jadi sebenarnya inilah inti pembicaraan kami tadi? Pertanyaan ini yang membuat Raihan repot-repot mengajakku berjalan-jalan, membelikanku banyak barang, mentraktirku makan enak. Aku terkejut, tapi juga kecewa. Setelah aku lulus sekolah, kupikir pada akhirnya ia akan melihatku sebagai seorang gadis. Raihan sampai repot-repot menceritakan Ethan, hanya menceritakan hal yang baik-baik saja. Itu berarti Raihan benar-benar menganggap Ethan baik, atau ia ingin membangun kesan baik pada diri Ethan di mataku agar aku mau menerima Ethan.

Aku menunduk, menyembunyikan ekspresi kekecewaan di wajahku. Aku benar-benar kecewa. Raihan tidak pernah memandangku sebagai seorang gadis. Ia bahkan hendak menyerahkanku pada laki-laki lain. Aku hanyalah seorang adik di matanya, tidak lebih. Atau, bisa saja Raihan juga sama seperti mama, menganggapku pengganggu. Mungkin Raihan berharap aku bisa pergi dari kehidupannya secepatnya.

"Ethan sebenarnya sudah menyatakan ketertarikan pada Karla sejak dua tahun yang lalu, saat pertama kali melihat Karla mengantarkan dokumen yang tertinggal ke kantor. Tapi A Iyan menolak, karena Karla masih sekolah. Ethan bilang, dia bersedia menunggu."

"A Iyan dan beberapa orang teman berusaha mengenalkan perempuan lain. Pada awalnya, Ethan tidak menolak walaupun terlihat enggan. Tapi semuanya gagal. Dia selalu saja dapat dengan mudah menemukan alasan untuk menolak semua perempuan yang kami kenalkan. Hingga akhirnya dengan tegas dia bilang akan menunggu sampai Karla lulus sekolah." Kata Raihan.

Aku diam saja. Masih terlalu terkejut dengan ide menikah ini. Aku tidak pernah terpikir akan menikah secepat ini. Kupikir aku akan menikah pada usia dua puluhan. Aku berniat untuk bekerja setelah lulus sekolah. Aku ingin sekali kuliah sambil bekerja agar tidak perlu merepotkan Raihan lagi dengan biaya kuliahku nanti. Tapi rencana ini sepertinya sulit untuk direalisasikan sekarang.

Lalu bagaimana dengan hatiku? Aku mengagumi Raihan sepenuh hatiku. Aku bahkan sempat bermimpi beberapa kali, mungkin kami akan bisa menikah suatu hari nanti. Mungkin Raihan pada akhirnya akan melirikku sebagai perempuan cantik di matanya.

Aku tidak berharap Raihan akan tergila-gila padaku dan akan melakukan apapun untukku, tidak sampai seperti itu. Aku terlalu sadar diri. Tapi ide menikahkanku dengan laki-laki lain sama sekali tidak pernah terlintas di benakku. Aku tidak pernah melihat laki-laki manapun seperti aku melihat Raihan.

Raihan menatapku, menungguku bicara dengan sabar.

Aku menggigit bibir, ragu. "Karla, baru tujuh belas tahun. Karla mau kuliah dulu, mau kerja dan hidup mandiri." Kataku, masih dengan kepala tertunduk.

"Ethan sangat mendukung Karla untuk terus belajar. Dia akan membiayai Karla untuk kuliah, 'Sampai Karla merasa bosan.' Begitu katanya."

Raihan menggenggam jemariku, membuat jantungku berdegup kencang.

Aku mendongak menatapnya.

"Jika bersama Ethan, Karla tidak perlu merasa khawatir tentang apapun. Dia hampir memiliki segalanya, kekayaan, ketampanan, kedudukan. Dia seseorang yang in syaa Allah shalih. Dia juga seorang pekerja keras. Jika-na'uudzubillaah-suatu saat keadaan berbalik dan dia jatuh miskin, Karla tidak perlu khawatir dia akan diam saja menerima nasib. Ethan bukan orang yang seperti itu. Selama tiga tahun belakangan ini, A Iyan sudah sangat mengenalnya." Raihan berkata sambil memandangku lembut.

"Tapi, Karla, sama sekali tidak mengenalnya. Karla baru melihatnya semalam." Aku mencoba untuk menolak. Suaraku terdengar bergetar bahkan di telingaku sendiri.

Raihan tersenyum lembut. "Kalian bisa saling mengenal dulu, mengobrol, saling lempar pertanyaan. Karla ungkapkan saja apapun yang Karla sukai dan tidak. A iyan yang akan menemani Karla." Raihan melepaskan tanganku dan mengusap kepalaku lembut.

Aku kembali menunduk, menyembunyikan mataku yang mulai basah. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Aku memang tidakpernah sanggup membantah Raihan.

Terima kasih sudah membaca.
Leave some comment, please. Vote dan share juga.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang