33. Raihan

3.2K 154 10
                                    

Repost, ini tadinya private part. Yang udah baca abaikan aja, gak ada perubahan kok 😊
_________________________________________

Aku tidak jadi ke Rumah Sakit pagi ini. Tidak tega meninggalkan Ethan. Aku menunggu sambil membuka laptop, mengerjakan tugas. Aku baru ingat ada tugas yang harus dikumpulkan siang ini. Tapi aku tidak bisa fokus mengerjakannya. Ethan terkejut melihatku tidak jadi pergi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hampir satu jam ia di kamar mandi. Ia keluar dengan mata dan hidung yang memerah.

Saat Ethan turun hendak berangkat ke kantor, aku mengikutinya. Ethan hanya bertanya aku mau ke mana, selebihnya diam. Aku memutuskan untuk kuliah. Kami sama-sama berdiam diri sepanjang perjalanan. Tidak ada kecupan mesra, kata-kata manis, tatapan hangat, ia juga tidak menggenggam tanganku sepanjang perjalanan seperti biasanya.

Aku juga diam saja. Memangnya sejak kapan aku berani memulai? Tidak pernah. Selama ini memang Ethan yang selalu menghangatkan suasana di antara kami, dan aku hanya menimpali. Saat Ethan menolak mencurahkan perhatiannya, jadilah seperti ini. Kebisuan melanda di sekeliling kami.

Ary menyadari cincin di jari manisku hilang. Ia bertanya, "Mana cincin pernikahanmu?"

Aku diam saja, malas menanggapi.

Merry dan Linda jauh lebih bijak. Mereka memelototi Ary jika mulai menyinggung urusan pernikahanku, membuat Ary mengurungkan pertanyaan-pertanyaan kepo-nya lebih lanjut. Melihatku banyak melamun, mereka bertiga membantuku menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan siang ini.

Aku tidak bisa fokus kuliah hari ini. Pikiranku bercabang. Aku memikirkan kata-kata Ethan, juga mengkhawatirkan keadaan Raihan. Tanpa bisa kucegah, otakku sibuk memikirkan segala sikap dan perkataan Raihan. Ternyata selama ini aku tidak berkhayal, Raihan benar-benar menyimpan rasa untukku.

Aku memandangi handphone jadul-ku. Ini pemberian Raihan dulu. Aku selalu menyimpannya di tas ranselku, membawanya ke manapun. Handphone ini berjasa sekali mendekatkanku dengan Raihan.

Dulu, Raihan khawatir sekali melihatku baru pulang sekolah selepas Maghrib dalam keadaan dekil, kehausan, dan kelaparan. Biasanya aku selalu pulang pukul dua siang. Hari itu, angkot yang biasa kunaiki sedang melakukan demo. Aku terpaksa pulang dengan berjalan kaki sendirian. Lewat jalan memutar untuk menghindari keributan karena demo itu berakhir ricuh.

Keesokan harinya, Raihan membelikanku handphone ini. Ia memintaku menghubunginya jika terjadi sesuatu. Ia berjanji akan langsung datang menjemputku. Beberapa minggu setelahnya, memang terjadi sesuatu. Aku dipalak preman sepulang sekolah.

Karena takut, aku memberikan semua uang yang kumiliki. Beruntung handphone itu kusembunyikan di kaus kakiku, para preman itu hanya menggeledah tasku, mengobrak-abrik isinya. Raihan tidak tahu di sekolahku sebenarnya tidak diperbolehkan membawa handphone. Para siswa menyembunyikannya sebaik mungkin. Di dalam kaus kaki seperti yang kulakukan, di dalam topi, tong sampah sekolah, ada juga yang menyembunyikannya di balik pakaian dalam.

Aku menghubungi Raihan dengan jantung berdebar kencang, takut Raihan memarahiku. Ternyata tidak. Ia menyuruhku kembali ke sekolah dan menjemputku di sana. Dengan wajah penuh kekhawatiran, ia meneliti seluruh tubuhku, menarik tanganku, memperhatikannya baik-baik. Setelah yakin aku baik-baik saja, ia menghela napas dan bergurau dengan wajah sok serius, "A Iyan khawatir sekali jari tangan Karla hilang satu."

Seminggu kemudian, para preman itu ditangkap satpol PP karena banyak murid yang melapor sering dipalak.

Raihan menggantikan sosok Papa. Ia selalu ada untukku, memperhatikanku, menyayangiku, menghibur di saat aku merindukan Bunda dan Papa. Tak terhitung sudah berapa kali aku menangis di dadanya. Jika ditanya apa yang menyebabkanku jatuh hati padanya, aku tidak tahu. Bagiku, Raihan adalah segalanya.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang