DUA-5

3.1K 158 2
                                    

Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku sibuk mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Bedanya, tidak ada lagi topik tentang pernikahan yang selama ini selalu berusaha kuhindari. Sudah dua minggu hari-hariku terasa begitu damai. Mama masih sering mengomel seperti biasa, tapi tidak pernah membahas tentang pernikahan lagi.

“A Iyan mau ke mana?” Aku bertanya saat melihat Raihan mengeluarkan motor.

“Supermarket.” Raihan terlihat agak terkejut. “Karla mau ikut?”

“Boleh?”

“Ayo.” Ajak Raihan.

Aku menunjukkan telapak tanganku ke arah Raihan, memintanya untuk menunggu sebentar. Aku masuk ke kamar, memakai kerudung dan kaus kaki. Aku mengambil beberapa lembar uang dari lemari, memasukkannya ke kantung rok dan keluar. Biasanya Raihan berbelanja bulanan ke supermarket dengan mama. Jika kulihat Raihan pergi sendirian, aku selalu menegurnya agar diajak untuk ikut bersamanya.

“Karla penasaran, bagaimana kabar si bule?” Aku menarik sebuah trolly belanja dan mendorongnya memasuki supermarket.

“Baik.” Jawab Raihan singkat.

Aku diam saja, membantu Raihan mencari minyak goreng termurah. Raihan pasti tahu maksud pertanyaanku.

“A Iyan sudah menolak lamarannya, kalau itu yang Karla maksud.” Kata Raihan.

“Kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Sepertinya kami terlalu memaksa, maaf. A Iyan lupa Karla baru tujuh belas tahun. Masih terlalu muda untuk menikah, kan?” Raihan tersenyum. Aku mengerti arti senyumannya, ia berusaha menerima bahwa aku akan tetap menjadi tanggung jawabnya hingga beberapa tahun lagi. Memikirkan ini membuat dadaku  sesak.

Aku mengambil dua pouch minyak goreng berukuran dua liter, sambil berpikir. “Dua minggu ini Karla banyak berpikir. Nikah muda sepertinya bukan ide buruk.”

Raihan menghentikan langkahnya, menatapku penuh selidik. “Karla yakin?”

Aku mengangguk mantap. Sejujurnya, aku sudah tidak terlalu memikirkannya. Mau menikah sekarang atau nanti saat usiaku sudah dua puluhan, tidak ada bedanya. Siapapun yang akan menjadi suamiku, seorang pebisnis kaya atau tukang somay keliling sekalipun sama saja jika laki-laki itu bukan Raihan. Aku  harus mengambil kesempatan ini. Mumpung yang datang melamarku seorang pria shalih, kaya nan rupawan.

Aku harus mulai memupuskan rasa sukaku pada Raihan, tidak boleh dibiarkan. Semakin lama aku bersamanya, perasaanku semakin tidak terkendali. Aku sungguh berharap Ethan bisa membuatku berpaling dari Raihan, mengobati luka di hatiku. Aku sudah lelah menangisi Raihan yang hanya menganggapku adik. Lagipula, ini permintaan Raihan. Seperti yang sudah pernah kukatakan sebelumnya, aku tidak pernah sanggup menolak permintaan Raihan.

Raihan menggeleng sambil tersenyum.

Aku memalingkan wajah, menatap  lurus ke depan. Senyuman Raihan berbahaya, bisa membuat pendirianku goyah lagi. “Kenapa? Dia sudah tidak tertarik pada Karla lagi?” Aku bertanya dengan nada bercanda.

“Tidak mungkin.” Seru Raihan. “Dia masih kelihatan kecewa berat. A Iyan mulai curiga, jangan-jangan dia berencana menunggu sampai Karla benar-benar siap untuk menikah, tanpa peduli pada usianya sendiri.” Raihan terkekeh, lalu menatapku dalam-dalam, membuat debar jantungku kacau. “Karla benar-benar yakin? A Iyan tidak ingin Karla menikah karena merasa terpaksa.”

Aku menggeleng. “A Iyan benar, mubadzir menolak orang seperti Ethan, Karla tidak akan dapat kesempatan kedua. Mungkin dia sekarang berencana menunggu Karla, tapi tidak ada jaminan tahun depan dia masih tetap menunggu.”

Raihan diam  saja.

"Karla percaya pada A Iyan. A Iyan tidak akan menyerahkan Karla pada sembarang orang, kan?" Aku tersenyum pada Raihan. Aku sudah berulang kali mempersiapkan kata-kata ini dalam benakku.

Raihan membalas senyumku dan mengusap kepalaku lembut, membuat jantungku berdebar cepat. Aku bisa merasakan perasaan sayangnya padaku. Perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya, tidak lebih. Aku yang berlebihan menafsirkan bentuk perhatiannya padaku selama ini. Raihan memperlakukanku dengan cara yang berbeda karena aku memang berbeda. Aku perempuan, berbeda dengan adik-adiknya yang lain.

Kami melanjutkan acara belanja kami hingga ashar menjelang dan shalat di masjid terdekat.

“A Iyan boleh memberi tahu Ethan sekarang?”

“Tentu. Lebih cepat lebih baik.” Jawabku.

“Kemungkinan besar, Ethan akan langsung mengajak bertemu.” Raihan bicara sambil mencari nomor Ethan dalam kontak handphone-nya, lalu menempelkan handphone-nya ke telinga.

“Karla juga sudah lama tidak melihat wajah tampannya.” Kataku sambil nyengir.

Raihan tersenyum dan mengusap kepalaku lembut.

Bersambung...

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang