SATU-2

5K 261 3
                                    

Saat aku duduk di bangku kelas sembilan, Papa meninggal. Papa meninggal dalam kecelakaan sepulang dari kantor. Papa sempat mampir ke toko buku, membeli lima buah buku novel untukku. Dan Mama semakin membenciku setelah kejadian itu.

Menurut mama, akulah penyebab utama kecelakaan Papa. Seharusnya Papa masih hidup seandainya Papa mengabaikan syarat yang kuajukan. Sudah dua hari itu aku mogok sekolah lantaran ada seorang teman sekolahku yang usil selalu menyembunyikan barang-barangku. Aku mengajukan syarat minta dibelikan tiga buah novel kesukaanku yang dihilangkan temanku itu.

Sebelumnya, Papa sempat mengabari akan pulang terlambat karena pekerjaannya belum selesai. Tapi sampai pukul sepuluh malam Papa belum juga tiba di rumah. Tepat pukul sebelas telepon berdering. Mama langsung berteriak memanggil Dhika, memberitahu bahwa Papa kecelakaan, lalu menyuruhnya memanggil taksi untuk menyusul Papa ke Rumah Sakit. Sementara aku, Rizky, dan Adit diperintahkan untuk menjaga rumah saja.

Pukul empat dini hari Mama pulang menaiki mobil jenazah. Mama langsung menghambur ke kamarku dan melemparkan kelima buah buku novel pemberian Papa ke arahku sambil mengomel. Mama mencaci-makiku habis-habisan, menggunakan kosakata yang paling tidak ingin kudengar seumur hidupku. Kemudian Dhika menyeret Mama keluar dari kamarku sambil berusaha menenangkannya.

Aku memungut kelima buku-buku itu sambil terisak. Aku mengabaikan pipi dan daguku yang lecet terasa perih saat terkena airmata. Aku menangisi kematian Papa sebagai satu-satunya orang yang masih peduli padaku dan selalu menyayangiku. Juga menangisi keadaanku. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadapku.

Seminggu kemudian, Raihan berkata akan memasukkanku ke pesantren segera setelah aku dinyatakan lulus dari SMP—saat itu sudah mendekati ujian semester ganjil, akan sangat merepotkan jika aku harus pindah saat itu juga. Aku mengangguk tanpa berkata apapun. Aku hanya menumpang di keluarga ini, mereka berhak mengusirku kapanpun mereka menginginkannya.

Raihan berkata, aku beruntung karena sesaat sebelum Papa meninggal, Papa sempat meminta Mama berjanji untuk mengurusku, membiayai sekolahku, memenuhi segala kebutuhanku, dan menikahkanku dengan laki-laki baik yang akan selalu menyayangiku. Itu pesan terakhir Papa yang membuat Mama tidak bisa mengusirku.

Menurut Raihan, memasukkanku ke dalam pesantren adalah pilihan bijak dari pada harus mengusirku dan melanggar janji pada Papa. Raihan berkata menggunakan bahasa sehalus mungkin dan berusaha untuk tidak menyinggung perasaanku. Tapi aku paham mereka tidak ingin melihatku lagi.

Raihan memutuskan untuk meninggalkan pesantren, cuti kuliah sampai batas waktu yang belum bisa dipastikan, dan mulai mencari pekerjaan. Ia mengambil alih tugas utama Papa sebagai tulangpunggung keluarga. Papa meninggalkan uang pensiun hasil pengabdiannya pada negara selama lebih dari dua puluh tahun, tapi tetap tidak mencukupi kebutuhan hidup kami berenam.

Tabungan Papa juga tidak banyak. Kami bahkan terpaksa menjual mobil untuk kelangsungan hidup kami. Sementara Dhika tetap kuliah, hanya sesekali mengambil cuti saat tidak ada uang untuk bekerja, lalu kembali kuliah semester berikutnya.

Tiga bulan kemudian, Raihan diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta. Di akhir bulan, ia membawa sekantung es krim sepulang dari kantor. Aku terburu-buru mengambilkan air minum untuknya—seperti yang biasa kulakukan terhadap Papa. Dhika, Rizky, dan Adit berebut memilih es krim rasa kesukaan mereka. Aku diam saja, menanti mereka selesai—sama seperti saat Papa pulang membawa sesuatu. Biasanya Papa akan memisahkan bagian untukku, sesuai dengan seleraku.

Aku tidak berharap Raihan akan memperlakukanku seperti Papa. Tapi aku tidak menyangka es krim yang tersisa hanya tinggal dua buah. Berarti satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Raihan. Aku masuk ke dalam kamar dan mulai mengerjakan PR. Aku mengerti aku tidak diinginkan.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang