"Sayang?"
Aku menoleh dan langsung membeku, terkejut. Ethan menciumku. Aku tidak sempat mengelak seperti biasanya. Ini bukan sekadar kecupan ringan yang biasanya mendarat di pipi maupun keningku. Aku diam saja, menunggunya sampai selesai. Kedua tanganku mencengkeram tas kuat-kuat, kesal.
Aku menunduk, menyembunyikan wajah kesalku.
"Have a nice day," bisiknya.
Aku mengangguk kaku, lalu melompat keluar tanpa menoleh lagi. Aku membanting pintu mobil agak terlalu kencang. Aku hampir menangis saking kesalnya. Ethan menciumku, merebut ciuman pertamaku. Aku tidak rela, sangat tidak rela.
"Kenapa kamu terlihat kesal sekali?" Ary tiba-tiba saja muncul entah dari mana dan berjalan di sampingku.
Aku diam saja, memelototi apapun yang ada dihadapanku.
"Suamimu membuatmu kesal pagi-pagi?"
"Berisik!" Aku melemparkan tatapan buas padanya, menyuruhnya diam.
Ary memang diam, tapi ia memasang wajah polos tanpa dosa, membuatku semakin kesal.
Aku berbelok ke toilet, membasuh wajah, terutama mulut, berkumur-kumur. Aku menghela napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan diri. Lalu keluar dari toilet, menuju kelas. Aku langsung duduk di pojok ruangan, menghindari Ary yang duduk di depan.
Aku merasakan handphone di saku gamisku bergetar, My Beloved Husband menelepon. Ethan yang memasukkan nomornya di handphone-ku. Ia juga mencantumkan status pernikahan di facebook, dan mem-follow semua akun sosial medianya.
Aku menaruh handphone di atas meja, mengabaikannya. Ethan terus menelepon hingga lima kali, aku hanya memperhatikan layar handphone. Aku masih kesal padanya. Daripada marah-marah tidak jelas, aku lebih memilih diam sampai kekesalanku mereda.
Dosen datang bersamaan dengan handphone-ku yang kembali bergetar, My Beloved Husband mengirim pesan via What's App. Aku tidak membukanya, hanya melihat dari notification bar.
Maaf. Kamu terlihat kesal sekali tadi. Tentu saja aku kesal. Ethan menciumku tiba-tiba, mencuri ciuman pertamaku. Memangnya dia siapa?
Dia suamiku. Pemahaman itu tiba-tiba saja meresap dalam otakku. Aku menggigit bibir. Kami baru sebelas hari menikah. Aku merasa Ethan terlalu terburu-buru, padahal ia tahu hatiku masih berduka.
Kumohon maafkan aku. Ethan kembali mengirimkan pesan.
Dia suamiku. Ethan berhak menyentuhku sesuka hatinya, bahkan lebih dari hanya sekadar ciuman.
Aku tidak akan melakukannya lagi, aku janji. Ethan mengirim pesan lagi.
Dia suamiku. Ethan sudah melakukan tugasnya dengan baik, menafkahiku, menyediakan segala kebutuhanku, juga memenuhi keinginanku—meski bukan keinginan terbesarku. Sementara aku belum pernah melakukan apapun untuknya, aku bahkan menangguhkan sesuatu yang sudah menjadi haknya.
Karla, please, forgive me.
Aku mendesah pelan. Aku hanya terkejut, balasku.
Ethan tidak membalas. Tanda checklist-nya berwarna biru dan ia sedang online. Sepertinya Ethan tidak percaya aku hanya terkejut.
Lain kali, jangan tiba-tiba. Aku yakin sekali akan ada lain kali. Apalagi saat bulan madu di akhir pekan nanti, kemungkinan besar Ethan bisa lebih parah dari ini. Aku jadi meragukan ketulusan cintanya, jangan-jangan Ethan hanya memandangku sebagai obyek pemuas nafsunya saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karla
RomanceWarning! 18+ Tolong, pilihlah bacaan dengan bijak Part 33, 35, dan beberapa part berikutnya mungkin akan ada yang di-private. Silakan follow dulu. Bagaimana jika orang yang kamu cintai memintamu untuk menikah? Bukan, bukan dengannya, jangan senang d...