25. Suamiku

3.8K 178 6
                                    

Sebenernya, update part sebelumnya itu kesalahan teknis. Aku lupa hari 😭😭😭

Ngeliat suami pagi-pagi masih santai (baca: belom mandi) dan malah ngajak keluar anak beli sarapan, aku pikir kemarin lusa itu hari Sabtu. Jadilah aku buru-buru update. Resiko jadi ibu rumah tangga, cuma kenal dua hari keramat, Sabtu dan Minggu 😅

Tapi ga apa-apa, deh. Mumpung aku lagi baik, jadi hari ini tetep update sesuai jadwal. Anggap aja yang kemarin bonus untuk pembaca setia 😘

Selamat membacaaa...
_____________________________________

Kami baru selesai mengerjakan tugas kelompok di café dekat kampus. Ary dan Linda sudah pulang duluan, menyisakan aku dan Merry. Aku memang meminta Merry menemaniku menunggu Ethan, mengajaknya makan malam. Tadinya Ary juga mau ikut menemani—penasaran mau melihat suamiku—tapi aku menyuruhnya pulang. Aku tidak mau membuat Ethan kesal hanya karena melihat Ary berada di dekatku.

"Suamimu masih lama?" Merry menyeruput ice blend cappuchino-nya. Ia terlihat lelah.

Sejujurnya, aku juga sudah mulai lelah. Ini sudah pukul delapan malam. Biasanya aku sudah bersiap-siap untuk tidur di rumah. Ethan sudah untuk menjemputku sejak tadi sore, tapi tugas kelompok kami belum selesai dan besok sudah harus dikumpulkan. Aku menyuruh Ethan pulang duluan, tapi ia menolak. Ethan lebih memilih menunggu di kantornya. Jarak kampusku dan kantornya hanya tiga puluh menit.

Aku melirik jam di tanganku. "Seharusnya tidak, mungkin sebentar lagi sampai." Aku memanjangkan leher, memandang ke luar café. Mataku tertumbuk pada mobil BMW putih yang baru saja memasuki parkiran café. "Sudah datang." Aku berseru senang.

"Mana?" Merry langsung memanjangkan lehernya, ikut menatap pintu kaca café. Ia penasaran sekali dengan sosok 'Suami Karla'.

"Itu, bule yang baru keluar dari mobil putih." Aku menunjuk dengan dagu.

"Oh, my, god. Itu, suamimu?" Merry berbisik dengan suara tergagap di sebelahku. Matanya menatap Ethan tanpa berkedip. Bahkan dari jarak sejauh ini, Merry sudah terpesona melihatnya.

Aku mengangguk sambil meringis dalam hati. Kapanpun dan di manapun, Ethan selalu mampu menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Aku masih belum terbiasa menghabiskan waktu di tempat umum bersamanya. Aku tidak pernah suka menjadi pusat perhatian.

Ethan menghampiriku sambil tersenyum. Ia mengecup pipiku sekilas dan duduk di hadapanku. "Sudah lama menunggu?"

"Tidak juga." Aku menyikut pinggang Merry yang masih melongo menatap Ethan, terpesona.

Merry tergagap sebentar dan langsung menundukkan kepala, menutupi wajahnya yang merona karena malu.

"Kakak sudah makan?" Aku meraih tangan Ethan, melipat lengan kemejanya yang digulung asal-asalan. Ini jadi rutinitas sekarang. Ethan seperti sengaja melakukannya, tahu aku tidak suka melihat lengan kemejanya kusut berantakan.

"Belum." Ethan mengambil jus alpukatku dan meminumnya. "Mau menemaniku makan?"

"Tentu." Merry langsung menjawab dengan sigap.

Ethan melirik Merry dengan alis terangkat, lalu tersenyum sopan. Sepertinya ia lupa kami tidak hanya berduaan saat ini. "Kalian belum makan?"

"Sudah." Aku buru-buru menjawab, sebelum keduluan Merry lagi. "Katanya kamu mau pulang, Mer? Aku sudah tidak sendirian, kok."

Merry mendelik padaku, sebal.

Ethan menunduk dan membekap mulutnya dengan telapak tangan, menyembunyikan senyum.

"Oke, aku pulang." Merry berkata ketus. Ia memakai tasnya dan berdiri. "Assalaamu 'alaykum." Tanpa menungguku menjawab salam, ia langsung pergi meninggalkan kami.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang