18. Rumah

3.8K 174 12
                                    

Aku membasuh wajahku dengan air dingin beberapa kali, berharap mataku yang sembap karena menangis bisa langsung kembali normal. Aku lupa, seharusnya kubiarkan saja airmataku mengalir agar mataku tidak bengkak seperti ini. Aku mematut diri di cermin, wajahku kacau sekali. Aku malu hendak bertatap muka dengan Ethan lagi. Ia benar-benar membiarkanku menangis sepuasnya tadi. Tapi aku tidak mungkin mengurung diri di kamar mandi sampai mataku kembali normal.

Aku menggigit bibir, bimbang. Lima menit kemudian aku memutuskan untuk keluar. Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi. Aku membuka ikatan rambutku, merapikan poni dan menyisirnya, berharap poniku bisa menyamarkan sembap di mataku. Tapi kelihatannya tidak ada gunanya. Aku mendesah pasrah dan keluar.

Ethan sedang duduk bersandarkan bantal dengan kedua kaki terjulur di atas kasur, menonton. Tangan kirinya memegangi remote. "Kemarilah." Ethan menepuk kasur, mengajakku duduk di sebelahnya.

Aku menggigit bibir, ragu.

"Aku tidak akan melakukan apapun padamu." Ethan menatapku dengan kesungguhan hati. "Aku akan menunggu, sampai kamu siap." Janjinya.

Aku menurut, mendekat padanya dengan kepala tertunduk, berusaha menyembunyikan mataku. Aku hanya duduk diam di samping Ethan, menemaninya menonton. Sayang, kami hanya menonton bagian akhirnya saja.

"Ada yang ingin kamu tonton?" Ethan memindah-mindahkan channel, tampak tidak tertarik.

"Tidak." Acara tivi di pagi hari tidak ada yang seru, kebanyakan hanya berita.

Ethan mematikan televisi, menaruh remote diatas meja nakas. "Mau minum?"

Aku menggeleng.

Ethan berbaring miring menghadapku, dengan tangan kiri menopang kepala dan tangan kanannya meraih tanganku. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Aku tidak tahu," jawabku jujur.

"Tadinya aku mau mengajakmu berjalan-jalan keluar, tapi kamu tidak akan mau keluar dengan mata seperti itu, kan?"

Aku menundukkan kepala semakin dalam.

"Please, don't get me wrong." Ethan terburu-buru bangun, duduk bersila di hadapanku. "Kamu tetap terlihat cantik, sangat cantik." Ia mengecup telapak tanganku dan meremasnya lembut. Ibu jarinya mengusap pergelangan tanganku.

Aku diam saja, membiarkannya memainkan tanganku. Aku merasa sangat risih sebenarnya, tapi Ethan suamiku. Aku mati-matian menahan diri untuk tidak menepis tangannya. Aku tidak mungkin menolaknya lagi. Ethan suamiku. Ia hanya memegang tanganku. Aku membatin berkali-kali.

"Aku penasaran," Aku memulai setelah kami hanya berdiam diri selama beberapa menit yang terasa bagai sehari. "Apa yang membuat Kakak tertarik padaku?"

"Kamu cantik." Ethan mengusap pipiku. Mata birunya menatapku hangat.

Aku mendesah pelan. Sejak kemarin Ethan selalu memuji kecantikanku. Mungkin ia buta. Aku tidak merasa diriku jelek, tapi aku juga tidak merasa aku secantik itu hingga membuatnya begitu menginginkanku. "Bukankah banyak gadis cantik di luar sana? Kakak tampan dan kaya, pasti banyak yang mengejar Kakak."

"Tapi tidak ada yang secantik kamu," katanya sungguh-sungguh.

Aku mendesah lagi. Ethan jelas-jelas buta.

Ethan merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang besar-besar. "Aku tidak berbohong, kamu gadis tercantik di dunia ini."

"Kakak salah," bantahku. Aku tidak menuduhnya berbohong. "Aku gadis paling cantik di mata Kakak saja."

Ethan menaikkan alisnya, ekspresi wajahnya seperti baru menyadari sesuatu. "Aku turut berduka ada seseorang yang menganggapmu tidak menarik."

"Seharusnya Kakak bersyukur, dengan begitu aku jadi melihat Kakak."

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang