30. Acuh tak Acuh - 2

2.8K 139 19
                                    

Aku terbangun pukul tiga dini hari, masih berpakaian lengkap dengan kerudung dan kaus kaki. Aku masuk ke kamar mandi untuk mandi, lalu shalat. Selesai shalat aku baru sadar Ethan tidak ada. Aku keluar dari kamar, melihat ke bawah. Ethan meringkuk di sofa, tidur dengan membiarkan televisi menyala. Padahal banyak kamar kosong. Jika ia tidak mau tidur denganku, kenapa malah tidur di sana? Aku turun ke bawah, mematikan televisi, lalu kembali naik.

Aku menghabiskan waktu dengan shalat tahajud dan membaca Qur'an hingga subuh menjelang. Setelah shalat subuh, aku melanjutkan bacaan Qur'an-ku. Pukul lima, Ethan masuk ke kamar. Ia berwudhu, lalu shalat tidak jauh dari tempatku mengaji. Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa ia tidak shalat di masjid seperti biasanya? Tumben sekali ia terlambat bangun.

Setelah shalat, Ethan kembali masuk ke kamar mandi untuk mandi. Ia kembali mengabaikanku. Sepertinya aku sudah keterlaluan semalam. Seharusnya aku tidak sekasar itu padanya. Mungkin, Ethan semalam ingin bicara untuk memperbaiki keadaan. Aku menggantung mukena di dalam lemari. Ethan masuk ke dalam lemari untuk berpakaian. Aku keluar, memberinya waktu untuk berpakaian.

"Maaf," Aku memulai saat melihatnya berdiri di depan cermin, menyimpulkan dasi. "Aku keterlaluan semalam, aku minta maaf."

"Bukan salahmu," ucap Ethan tanpa memandangku. Ia memakai jasnya, menyisir rambut, lalu berjalan menuju meja nakas. Ia memasukkan dompet ke dalam saku celananya, mengambil kunci mobil dan tas, lalu pergi meninggalkanku, tanpa memandangku, tanpa mengucapkan salam, tanpa mengatakan apapun lagi.

*****

"Neng, berantem, ya?" Bi Isah menegurku yang sedang sarapan. Ia baru datang beberapa menit yang lalu, langsung membereskan dapur sambil mengajakku mengobrol.

Aku meringis. "Kelihatan, ya?"

"Sudah lima hari ini Bapak sering tanya, 'Karla sudah berangkat belum, sudah pulang belum, pulang jam berapa, ke mana saja?' Biasanya Bapak tidak pernah tanya Bibi."

Aku terdiam mendengar penuturan Bi Isah. Ethan memang tidak bisa berhenti memedulikanku. Seperti yang pernah dikatakannya, ia terlalu mencintaiku.

"Maaf, Neng, Bibi bukan bermaksud untuk ikut campur. Bapak juga melarang Bibi bilang pada Neng Karla. Tapi, Bapak sakit."

Aku terkejut, membalikkan badanku menghadap Bi Isah. "Sakit apa, Bi?" Tanyaku cemas.

"Demam, Neng. Muntah-muntah. Bibi pulang jam sembilan malam, Bapak belum makan. Katanya mau makan sama Neng Karla."

Aku tertegun mendengarnya. Jadi, Ethan memang sengaja menungguku pulang, dalam keadaan sakit. "Jadi Bapak seharian di rumah, Bi?"

"Iya. Kemarin Bapak cuma pergi ke bengkel sebentar."

Allah, apa yang sudah kulakukan? Aku menghela napas dalam-dalam. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. "Saya berangkat dulu, ya, Bi. Assalaamu'alaykum."

*****

Kuliahku selesai pukul tiga sore. Setelah shalat ashar, aku menuju kantor Ethan dengan menumpang taksi. Aku memandangi gedung setinggi dua puluh lima lantai di hadapanku sebelum masuk. Lima belas lantai teratas gedung ini sudah dibeli Ethan. Dad memberikan pinjaman lunak sebanyak seratus juta Dollar untuk membeli gedung ini. Ethan membayarnya secara kredit setiap bulan selama lima tahun.

Aku tidak perlu lagi melapor ke receptionist. Seorang satpam yang mengenaliku langsung menggunakan kartu aksesnya dan membukakan pintu untukku. Aku berterima kasih sambil tersenyum sopan dan langsung menuju lift. Aku menekan tombol dengan angka dua puluh lima. Saat pintu lift akan menutup, seseorang menahannya dengan tangan.

"Karla? Mau bertemu Ethan?" Raihan tampak terkejut melihatku. Ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lima belas.

Aku mengangguk kaku. Jantungku mulai berdebar-debar. Aku sama sekali tidak siap bertemu dengannya.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang